Ini Aspirasi Asosiasi dan Komunitas Terkait RUU EBT

Despian Nurhidayat
19/5/2022 17:40
Ini Aspirasi Asosiasi dan Komunitas Terkait RUU EBT
Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) beroperasi di kawasan Pantai Cilacap, Jawa Tengah.(MI/LILIEK DHARMAWAN )

RANCANGAN Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) kini tengah digojlok oleh DPR sebelum nantinya disahkan. Bahkan, targetnya pada kuartal III 2022 ini, RUU EBT ini dapat rampung dan siap untuk diterbitkan.

Namun, rupanya masih terdapat beberapa hal yang masih kurang dari RUU EBT ini. Salah satunya ialah istilah EBT yang dirasa kurang tepat untuk disebutkan.

"Kami merasa RUU EBT ini harus dikembalikan lagi namanya menjadi RUU Energi Terbarukan supaya kita berfokus saja pada energi terbarukan karena tidak ada energi baru di dunia ini, yang ada itu energi terbarukan," ungkap Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar dalam acara Pernyataan Aspirasi Bersama untuk Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang digelar oleh Insitute for Essential Services Reform (IESR) di Kekini Coworking Space, Jakarta, Kamis (19/5).

Menurutnya, dengan mengembalikan nama RUU EBT menjadi RUU Energi Terbarukan, pemerintah akan fokus mendorong investasi energi terbarukan untuk mencapai target pembangunan.

Baca juga: Mulai 2035 Pembangkit Listrik Indonesia akan Didominasi EBT

Di tempat yang sama, Wakil Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Harmanto mempermasalahkan dimasukannya energi nuklir ke dalam RUU EBT. Menurutnya, nuklir bukanlah energi baru dan bahkan sudah digunakan sejak tahun 1950 di berbagai negara.

Selain itu, menurutnya saat ini energi nuklir sudah mulai ditinggalkan oleh beberapa negara karena satu dan lain hal.

"Teknologi PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) yang kontoversial di dunia ini nyatanya mulai ditinggalkan. Sejak tahun 2002 jumlah PLTN di dunia terus menurun. Mulai dari 438 reaktor nuklir di 30 negara di dunia dengan kapasitas 420 giga watt (GW), menurun menjadi 415 pada 2021 dengan kapasitas 369 GW. Ini menunjukkan PLTN tidak berkembang, tapi justru menurun," kata Harmanto.

Lebih lanjut, Harmanto menuturkan bahwa ditinggalkannya energi nuklir disebabkan oleh mahalnya biaya pembangunan PLTN baru. Tingginya biaya operasi, dan mahalnya biaya penonaktifan PLTN saat sudah mencapai usia ekonomis.

"Mungkin secara umur PLTN bisa mencapai 30-40 tahun, tapi pada saat pensiun, rakyat juga yang menanggung biaya penyebaran limbah dari pembongkaran reaktor PLTN. Risiko PLTN juga sangat tinggi, terutama yang berkaitan dengan aspek alam. Ini akan berdampak panjang dan tidak semua negara punya kemampuan, kapasitas industri, tata kelola yang tinggi, serta dapat menjamin pembuatan PLTN secara aman," tegasnya. (A-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya
  • Menhan Rapat Kerja ke-2 dengan Komisi I DPR Bahas RUU PSDN

    01/7/2019 10:14

    Rapat kali ini untuk mendapatkan kesepakatan, baik muatan maupun rumusan substantife pasal-pasal yang ada dalam Rancangan Undang-Undang.

  • Pemerintahan dan RUU Cipta Kerja

    26/12/2016 08:23

    RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja semakin banyak dibicarakan belakangan ini karena pemerintah menggunakannya sebagai konsep aturan perundang-undangan

  • Perlukah Haluan Ideologi?

    26/12/2016 08:23

    Khusus kepada DPR, mohon kaji ulang secara mendalam RUU HIP ini agar kita tidak mengalami distorsi sejarah dan salah konsep mengenai ideologi dan haluan.

  • Jalan Ganjil Revisi UU Desa

    26/12/2016 08:23

    TAKHTA itu menggoda. Sama halnya dengan wanita dan harta. Karena itu, ada kearifan lokal di negeri ini yang mewanti-wanti hati-hati dengan perkara tiga 'ta' (takhta, harta, dan wanita).

  • Perlindungan Data Tanggung Jawab Bersama

    11/11/2016 18:17

    RANCANGAN Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP)masih dibahas oleh Komisi I DPR RI

  • Jokowi Tidak Setuju Empat Poin RUU KPK

    10/11/2016 15:05

    Tidak semua usulan DPR dalam  revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disetujui pemerintah. Jokowi menegaskan tidak ingin KPK diperlemah.