Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PEREKONOMIAN di 2023 masih akan dibayangi tantangan besar. Meskipun pandemi covid-19 diyakini sudah mereda dan masuk ke fase endemi, masalah lain yaitu perang antara Rusia dan Ukraina masih akan berkecamuk.
Hal tersebut tentu akan sangat memengaruhi kondisi perekonomian baik di level global maupun nasional.
Baca juga:
"Di 2023, pandemi akan mulai menurun dan masuk ke periode endemi. Ini akan menjadi salah satu hal yang diharapkan mengurangi beban dan tekanan terhadap masyarakat dan perekonomian. Namun, sayangnya, masih ada risiko daei perang antara Rusia dan Ukraina," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani selepas mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (14/4).
Sebagaimana diketahui, konflik geopolitik telah menyebabkan kenaikan harga-harga komoditas yang kemudian mendorong inflasi tinggi di seluruh dunia, terutama di negara-negara maju.
Guna mengatasi persoalan itu, negara-negara maju akhirnya memperketat kebijakan moneter baik dari sisi likuiditas maupun suku bunga yang kemudian menimbulkan potensi volatilitas arus modal dan juga nilai tukar serta tekanan pada sektor keuangan.
"Hal-hal tersebut kemudian menyebabkan suatu kondisi buruk yaitu pemulihan ekonomi yang melemah secara global," tuturnya.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memproyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini hanya 3,5%. Semula, mereka menetapkan angka yang lebih tinggi yakni 4,5%.
Bank Dunia juga merevisi pertumbuhan dari 4,4% ke 3,5%.
Dalam hal inflasi, Bank Dunia memprediksi negara-negara maju akan mengalami kenaikan dari 3,9% ke 5,7%. Sedangkan, di negara-negara berkembang, angkanya akan melonjak dari 5,9% ke 8,6%.
"Kondisi ini tentu akan menimbulkan dampak yang sangat rumit. Di berbagai belahan dunia tekanan atau bahkan krisis pangan akibat kenaikan harga komoditas sudah terjadi, seperti di Timur Tengah dan Afrika Utara. Mereka mengimpor 80% gandum dari Rusia dan Ukraina. Sekarang mereka menghadapi situasi tekanan terhadap supply makanan," terang Ani.
Berkaca dari persoalan itu, pemerintah pun melakukan sejumlah antisipasi salah satunya melalui penyusunan APBN 2023 yang lebih ketat.
"Dari sisi kenaikan inflasi dan pengetatan moneter, utang yang akan kita kelola pasti mengalami tekanan terutama dalam jumlah bunga utang maupun cicilan yang harus dibayar. Ini yang harus kita pertimbangkan. Jumlah kebutuhan untuk menerbitkan surat utang harus bisa diturunkan secara bertahap, namun tetap berhati-hati," tuturnya.
Pemerintah juga akan terus melakukan reformasi dalam hal pendapatan dan belanja negara. Berbagai upaya pembangunan diharapkan tidak banyak bergantung dari APBN. Artinya, skema-skema pembiayaan inovatif harus dimunculkan.
"Kita bisa sampaikan, untuk APBN 2023, kita masih akan terus mengkalibrasikan dan mempertajam pada perhitungan untuk belanja baik pusat maupun ke transfer ke daerah dan juga estimasi penerimaan negara," tandas Ani. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved