Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SUKA atau tidak industri baja nasional merupakan import processing industry. Artinya industri baja nasional akan mati jika tidak mendapat pasokan bahan baku baja impor. Hal itu dikatakan salah satunya developer & pemerhati perumahan rakyat yang juga merupakan Ketum ILUNI FTUI 2018-2021, Cindar Hari Prabowo dalam acara diskusi online terbatas bertema Industri Baja Terkini pada Kamis (27/1).
"Dengan data dari BPS dapat dilihat hampir 50% industri nasional memperoleh bahan baku baja dari impor karena tidak dapat dipasok dari industri hulu baja nasional," ujar Cindar.
Baca juga: Pengamat: Pemerintah Harus Lindungi Industri Baja Nasional dari ...
Menurut dia, total impor baja nasional dapat dibagi menjadi dua bagian besar yang pertama impor baja dengan tanpa Lartas (Tanpa Pengendalian Pemerintah) seperti Slab, billet dan biji ore. Dari data terlihat naik sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2019 diimpor baja tanpa lartas sebesar 4,7 juta ton dan di tahun 2021 diimpor mencapai 5,22 juta ton atau naik 11%.
"Artinya industri hulu dalam negeri hanya asik mengimpor bahan baku tersebut tanpa ada usaha yang sungguh sungguh membuat dengan berbagai alasan seperti furnacenya dengan teknologi terbatas bahkan ada yang tidak beroperasi, mereka juga beralasan jika memproses sendiri harganya lebih mahal ketimbang impor, padahal sudah banyak proteksi yang diberikan baik harga gas, BMAD, fiskal, PMN oleh karena itu Indonesia harus segera melakukan reformasi Industri Hulu Nasional agar tidak terjadi teriak teriak banjir impor setiap tahun hanya modus untuk menutupi ketidak mampuannya di depan publik," imbuh Cindar.
Sementara baja yang di Lartas (Dengan Pengendalian Pemerintah) menurut data BPS 2021, justru mengalami pengendalian terukur. Data 2019 impor baja di lingkup Lartas sebanyak 7,89 juta ton dengan program subtitusi impor terlihat baja lartas pada 2021 sebesar 6,35 juta ton atau turun sebanyak 19,5%. "Kita semua harus jujur kita acungkan jempol buat pemerintah."
Dengan demikian, sambungnya ada peningkatan produksi dalam negeri yang menggeser kebutuhan impor baja menuju penggunaan produk dalam negeri mulai dari produk antara hingga produk turunan baja ini sangat mendongkrak investasi baja nasional.
"Kalau dilihat sebaran impor memang sangat ironis. Impor justru didominasi oleh produsen di sektor hulu dan antara. Baja gulungan canai panas (Hot Rolled Coil/HRC), baja gulungan canai dingin (Cold Rolled Coil/CRC), dan baja lapis mendominasi 71,6% dari total impor baja yang dikendalikan Pemerintah. Jadi ada ketidakmampuan baja di sektor hulu baja," jelasnya.
Pada kesempatan sama, Humas Poros Maritim Dunia Nawacita, Irianto menyampaikan bahwa Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan HIPMI Anggawira salah sasaran tentang banjir impor dan terkesan memojokkan pemerintah. Seolah pemerintah tidak melakukan pengendalian baja.
"Saya menyoroti data yang digunakan Anggawira berasal dari Direksi Komersial KS, Melati Sarmita, yang juga ketua klaster flat produk Asosiasi besi dan baja Indonesia, kami punya rekam digitalnya, sebaiknya Hipmi hitung berapa jumlah impor baja dari perusahaan ini daripada menyuarakan banjir impor dan minta pemerintah mengendalikan impor bisa jadi sindiran GINSI ke perusahaan pelat merah benar, kepentingan kami hanya ingin baja baja untuk kapal nasional bisa diproduksi di dalam negeri dan bisa kompetitif," ujar Irianto.
Seluruh peserta diskusi sepakat bahwa Industri baja sebagai mother of industry memiliki peran penting dalam kemajuan industri nasional. Baja merupakan bahan baku bagi banyak industri, mulai dari konstruksi, permesinan, otomotif, elektronika, hingga peralatan rumah tangga.
Salah seorang ekonom yang ikut dalam diskusi tersebut, Iqbal, melihat pertumbuhan industri baja merupakan faktor kunci tumbuhnya industri lain pada suatu negara. Menurut Iqbal, industri baja di Indonesia sangat tergantung impor meskipun Indonesia mempunyai pabrik baja di Cilegon.
"Saya melihat produk-produk turunan baja dibutuhkan berbagai industri, mulai dari konstruksi, permesinan, otomotif, elektronika, hingga peralatan rumah tangga semuanya punya kontribusi ekonomi yang tinggi, namun jika industri hulu nasional tergantung impor tidak membuat sendiri, akan mempengaruhi neraca pembayaran nasional," tegasnya.
Dirinya melihat, pemerintah telah berupaya untuk membenahi iklim usaha dengan menjaga keseimbangan pasok dan kebutuhan baja nasional, mulai dari kebijakan pengendalian impor hingga stimulus lain untuk meningkatkan penyerapan baja di dalam negeri. Campur tangan pemerintah tersebut terlihat dari kinerja industri baja nasional yang meningkat tajam selama dua tahun terakhir.
Pada kuartal III tahun 2021, sektor industri baja tumbuh sebesar 9,82%. pertumbuhan ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2019 (4,62%), dan bahkan cukup sigifikan dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 3,51% belum lagi kinerja ekspor logam yang cukup bagus, pungkas Iqbal.
"Pertumbuhan industri baja juga didorong oleh pertumbuhan sektor penggunanya, utamanya sektor otomotif yang tumbuh sebesar 27% setelah Pemerintah memberikan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan produksi dalam negeri kategori tertentu. Masa pemulihan ekonomi pascapandemi covid-19 turut berkontribusi mendorong peningkatan kebutuhan baja," ujarnya. (RO/A-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved