Headline
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta membenahi dan merespons keluhan masyarakat yang telah menjadi korban kejahatan asuransi unitlink. Penutupan sekitar tiga juta polis asuransi selama masa pandemi covid-19 sudah seharusnya menjadi sinyal agar pemerintah (DPR dan terutama OJK) mengambil peran aktif untuk melindungi masyarakat.
"Dunia asuransi di Indonesia sangat menyedihkan. Mereka begitu mudahnya menjadikan uang masyarakat sebagai bancakan para penguasa asuransi. Apakah hal ini akan dibiarkan terus berlangsung?" kata Maria Trihartati, koordinator korban Asuransi Unitlink Indonesia, saat menyampaikan aspirasinya pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (6/12).
Komunitas Asuransi Unitlink berasal dari sejumlah perusahaan asuransi seperti Prudential, AIA, dan AXA Mandiri. Maria sangat mengapresiasi undangan dari DPR untuk mempertemukannya dengan sejumlah stakeholders asuransi. Ia meminta permasalahan dan jeritan masyarakat dari korban asuransi unitlink tak hanya sekadar didengar oleh para wakil rakyat yang ada di DPR.
"Tetapi kami mendesak agar dibantu penyelesaian masalah ini. Kami tidak minta uang diganti oleh para anggota DPR dan OJK tetapi kami minta kepada DPR dan OJK untuk mendesak semua perusahaan asuransi beserta bank tempat penjualan produk asuransi untuk bertanggung jawab atas semua yang terjadi," kata ibu rumah tangga asal Lampung ini.
Maria menegaskan indikasi kejahatan korporasi asuransi berkedok investasi sudah dilakukan sejak awal. Ia menduga ada niat dari perusahaan asuransi mencari keuntungan dengan cara penjualan yang tidak jujur lewat mekanisme penyembunyian fakta yang seharusnya disampaikan secara transparan kepada calon konsumen. Hal lain, lanjut dia, bisa dilihat juga dari penjualan secara MLM yang hanya menekankan usaha mendapatkan sebanyak mungkin calon nasabah.
Lalu, dalam proses rekrutmen agen asuransi, Maria memperoleh informasi, prosesnya dilakukan tanpa ada syarat serta selama masa pendidikan/pelatihan para calon agen di kelas lebih mengutamakan komisi, bukan menggali kebutuhan konsumen dan menolong konsumen memperoleh produk yang sesuai. Semua ini, kata Maria, menjadi salah satu masalah yang banyak ditemukan di lapangan.
Maria menyarankan seharusnya dalam proses rekrutmen agen memiliki jenjang pendidikan (memadai agar calon agen dapat memahami dengan benar konten pendidikan dan pelatihan yang diberikan). Selain itu, pemasaran produk untlink tidak dijual kepada seluruh lapisan masyarakat, melainkan dibatasi kepada mereka yang telah memahami dunia investasi dan pasar modal serta seluk beluk kondisi persyaratan kondisi pertanggungan (asuransi).
"Ibarat rokok dan minuman keras tidak dipasarkan dan dijual kepada anak-anak di bawah umur. Harus dibuat POJK atau setidaknya Surat Edaran OJK yang mengatur mekanisme ini," kata Maria. Sayangnya, Maria mengatakan, tujuan dari perusahaan itu ternyata hanya untuk mengisap sebanyak mungkin dana masyarakat. "Pada akhirnya penjualan dilakukan ke semua lapisan, bahkan ke pelosok negeri. Di sini, tujuan atau marwah dari asuransi diabaikan, sementara tujuan utamanya berubah untuk mencari keuntungan perusahaan. Ini kejahatan korporasi," katanya menegaskan.
Maria yang menjadi korban asuransi AIA, Prudential, dan AA Mandiri menjelaskan produk unitlink ini merupakan produk rumit. Alasannya, kata dia, produk asuransi ini dicampur investasi. Biaya yang dibebankan kepada nasabah sangat banyak, mulai dari biaya akusisi, cetak polis, switching, manajer investasi, asuransi, administrasi, tarik tunai, cuti premi, tutup polis, sampai semua risiko investasi. "Masalah itu menjadi muncul karena semua biaya yang menanggung ialah nasabah. Bukankah ini sangat menguntungkan perusahaan?" tanya Maria.
Dari banyaknya biaya tersebut, Maria menyayangkan karena semua risiko investasi itu justru nasabah yang menanggung. Nasabah juga tidak pernah mengetahui ke mana dan siapa manager investasi yang mengelola dananya. Intinya, kata dia, hasil investasi itu tak sebanding bahkan malah berbanding terbalik antara biaya yang harus dibayar dengan hasil investasinya. Perusahaan selalu untung, nasabah selalu buntung. "Tujuan dari asuransi ialah mengurangi risiko, tetapi dengan membeli produk unit link, risiko itu justru menjadi berlipat ganda, apalagi nasabah harus membayar biaya-biaya seumur hidup," keluh Maria.
Dari banyaknya keluhan nasabah unit link semasa pandemi covid-19, Maria juga menyesalkan sikap OJK yang dinilai lalai untuk melindungi konsumen. Sudah seharusnya OJK, kata dia, menjadi pihak berwenang untuk membantu menyelesaikan semua masalah ini. "Bukankah itu tujuan pendirian OJK oleh UU Nomor 21 Tahun 2011 bahwa OJK mengumandangkan bahwa mereka memiliki Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen (EPK), tetapi nyatanya semua hanya iklan sponsor," keluhnya.
"Jadi sangat tidak perlu kalau kami harus sampai mengadu ke DPR, Ombudsman RI, Kapolri, Kementerian Keuangan, bahkan Presiden. Tetapi karena kami sudah mengadu ke OJK dan tidak mendapatkan tanggapan yang sesuai tanpa solusi, dengan berat hati kami harus melakukan pengaduan ini kepada para wakil rakyat di DPR. Kami hanya mencoba ingin membuktikan bisakah, mampukah, dan masih adakah keadilan bagi kami?" kata Maria. Ia menyarankan agar ada permintaan kepada perusahaan asuransi dan bank untuk menyebutkan produk yang mereka jual yakni unit link serta jangan disamarkan dan disarukan dengan berbagai macam istilah, seperti tabungan bonus proteksi dan atau investasi berbalut proteksi. (OL-14)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved