Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Perhatikan Empat Pemangku Kepentingan ini Sebelum Putuskan Regulasi PLTS Atap

Mediaindonesia.com
16/8/2021 16:35
Perhatikan Empat Pemangku Kepentingan ini Sebelum Putuskan Regulasi PLTS Atap
Pemasangan PLTS Atap di gedung perkantoran(Antara/Aditya Pradana Putra)

DIREKTUR  Eksekutif Center for Energy Security Studies  Ali Achmudi Achyak  mengatakan rancangan Permen ESDM tentang PLTS Atap sebagai pengganti Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 harus memperhatikan  semua pemangku kepentingan. 

Pemangku kepentingan yang dimaksud adalah konsumen, industri, PT PLN (Persero), dan negara

Apalagi, salah satu klausul dalam draf permen baru tersebut mengatur tata niaga PLTS Atap, yaitu mewajibkan PLN membeli 100 % dari sebelumnya 65% sisa daya yang tidak terpakai oleh konsumen yang ikut mengembangkan PLTS Atap.

“Kita harus mencermati klausul ini dari berbagai sisi,” ujar Ali, Senin (16/8).

Pertama dari sisi konsumen listrik, khususnya rumah tangga, komersial dan industri. Mereka selama ini menjadi konsumen murni yang menggunakan listrik dari PLN   dan membayar sesuai tarif yang berlaku sesuai peruntukan. Kalaupun ada sektor yang bergerak mandiri menyediakan listrik (Independent Power Producers/IPP), jumlahnya tidak banyak. 

“Ketergantungan ketiga sektor ini terhadap PLN sangat tinggi, maka ketika terjadi gangguan, seperti blackout, kerusakan jaringan, dan lainnya, bisa sangat merugikan. Ketergantungan berlebihan terhadap satu pemasok listrik ini tentu tidak sehat bagi kelangsungan bisnis,” katanya.

Oleh karena itu, menurut Ali, peluang adanya PLTS Atap akan menghadirkan sedikitnya dua manfaat bagi konsumen, yaitu mengurangi ketergantungan total pada listrik PLN dan memproduksi listrik yang sisanya bisa dijual untuk menambah pemasukan atau setidaknya mengurangi biaya listrik. 

Ali mengatakan adanya pergerakan konsumen murni menjadi konsumen semi produsen (hibrid) ini positif dan perlu didorong dengan memberikan kepastian hukum yang berujung pada kepastian bisnis yaitu sisa listrik akan terjual. 

Pihak lain yang juga perlu diperhatikan adalah industri atau  produsen perangkat listrik, khususnya produsen dan pemasok panel surya dan baterai untuk PLTS Atap. Sebagai catatan, PLTS Atap ada yang dilengkapi batere penyimpan daya (biasanya off-grid) dan ada pula yang tidak (terutama yang on-grid dengan sistem PLN). 

Menurut Ali, industri bidang EBT (khususnya PLTS Atap) juga harus didorong sehingga bisa berkembang dan mampu melakukan inovasi teknologi untuk menghasilkan produk yang handal, efektif dan efisien dalam penggunaan EBT. Sebagai entitas bisnis, pastinya butuh juga kepastian hukum dan terbukanya peluang usaha yang berkelanjutan. 

“Di sinilah peran pemerintah mengatur tata niaga PLTS Atap yang efektif, implementatif dan berkeadilan. Hal yang harus dihindari adalah monopoli dari industri tertentu yang pastinya tidak sehat dalam jangka panjang,” kata dia. 

Pihak ketiga adalah PLN.  BUMN di sektor ketenagalistrikan ini adalah aset besar bangsa yang harus dijaga, ditumbuhkan, dan dikembangkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. PLN mengemban dua tugas utama dan mulia, yaitu entitas bisnis (BUMN) dan pelayan publik. 

“Sebagai entitas bisnis, PLN harus sehat dan untung agar bisa berkontribusi bagi keuangan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Demikian pula sebagai entitas pelayanan publik, PLN juga harus sehat sehingga bisa melayani masyarakat secara optimal,” katanya.

Oleh karena itu, terkait pengembangan PLTS Atap, PLN harus dilibatkan secara aktif menjadi aktor utama dalam pengambilan  kebijakan. 

“Jangan sampai PLN hanya menjadi tukang ‘cuci piring’ dan ‘sapi perah’ dari kebijakan pemerintah yang tidak adil dan hanya menguntungkan pihak tertentu saja,” kata Ali.

Ali mengatakan semua pihak harus mendukung  target pengembangan EBT tersebut, salah satunya pengembangan PLTS Atap yang terbukti bisa dikembangkan secara massif  dan partisipatif (melibatkan semua rantai bisnis energi listrik yaitu konsumen, industri, PLN dan negara), potensinya cukup besar (sekitar 32 GW), teknologinya semakin ‘mature’ dan ‘proven’. 

“Tinggal yang harus dipikirkan adalah aspek keekonomian dan keadilan dalam bisnis sebagai syarat utama keberlanjutan (sustainability),” tegas dia. 

Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov,  menilai target capaian bauran energi memang penting untuk dicapai. Namun, menurut dia, ada yang lebih penting yakni sejauh mana kesiapan dan rasionalitas dalam mencapai target tersebut. PLN sebagai satu-satunya BUMN kelistrikan jangan sampai mengalami masalah fundamental akibat kebijakan yang tidak tepat.

“Pemerintah harus hati-hati. Ibaratnya orang naik mobil, lalu ngebut malah mogok atau bahkan kecelakaan di jalan. Jadi, harus dipersiapkan secara matang dari sisi teknis dan lainnya,” papar Abra.

Menurut dia, mengembangkan investasi di sektor EBT boleh saja, tapi bukan berarti mewajibkan semuanya harus diserap oleh PLN. Pasalnya, saat ini PLN sudah dalam kondisi oversupply, terutama dengan masuknya sejumlah PLTU dari program 35 ribu MW.

 “Di sini, PLN bisa dikatakan sudah berkorban karena harus menyerap listrik dari IPP yang kebanyakan PLTU dan harus mengesampingkan PLTU nya sendiri. Jangan sampai kebijakan yang sama terulang untuk PLTS. Boleh saja menggelar karpet merah investasi untuk PLTS, tapi jangan mengorbankan PLN,” tegasnya.(RO/E-1)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya