Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
PERUBAHAN skema harga beli listrik dari PLTS Atap (Rooftop) yang sedang disusun pemerintah dari semula 65% menjadi 100% berpotensi mengerek Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN.
Hal ini pada gilirannya merugikan pengguna listrik non PLTS Atap karena mereka tidak bisa menikmati potongan biaya seperti pengguna PLTS Atap yang dapat mengurangi biaya penggunaan listriknya karena mampu menjual produksi listriknya ke PLN. Sehingga ini bisa menimbulkan ketidakadilan tersendiri bagi sebagian besar pelanggan listrik PT PLN .
Pakar energi listrik dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung Nanang Hariyanto memaparkan cara kerja PLTS Atap. Beban yang ada di rumah akan mengambil lebih dulu energi yang dihasilkan dari PLTS Atap. Sisanya dari solar radiasi yang dihasilkan kemudian dikirim ke jaringan PLN. Dari jaringan PLN kemudian dikirim ke rumah-rumah yang lain. Harga listrik sisa harus dibeli PLN dengan harga yang sama dengan harga jual listrik PLN sebesar Rp1.440,7 per KWh.
“Ini yang saya lihat tidak adil. Waktu pengiriman ada susut energi karena melalui jaringan PLN. Belum lagi ada biaya pemeliharaan jaringan dan biaya pengembalian investasi jaringan PLN. Harganya harus adil,” ujar Nanang saat diskusi dengan media secara virtual, Sabtu (14/8) sore.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong pengembangan PLTS Atap secara masif. Hal ini demi mempercepat bauran energi terbarukan (EBT) menjadi 23% pada 2025. Salah satu insentif yang disiapkan pemerintah adalah revisi terhadap Peraturan ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Isi dari Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut menyatakan bahwa tarif ekspor-impor PLTS Atap akan mencapai hingga 100% atau naik 35% dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65%. Artinya, PLN harus membeli 100 persen listrik PLTS atap.
Menurut Nanang, harga jual listrik dari PLTS Atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS non-Atap. Dia mencontohkan PLTS non-Atap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah US$4 sen per KWh atau setara Rp600 per KWh. Sedangkan PLTS Atap dijual ke PLN seharga Rp1.440 per KWh. “Akibatnya, tentu saja Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN akan naik,” tandasnya.
Selain itu, lanjut Nanang, sistem kelistrikan Jawa Bali ditopang banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Namun karena ada PLTS Atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS Atap. Akibatnya, operasi PLTU di tekan kebawah. PLTU yang biasanya beroperasi 70-80%, karena ada PLTS Atap, beban turun sehingga menekan operasi PLTU hingga 50-60%.
“Karena turun, keberadaan PLTS Atap menekan operasi PLTU operasinya hingga 50-60. Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi rendah,” ungkap Nanang.
Dia mengakui saat ini adalah penggunaan energi terbarukan (renewable energy) sebuah keniscayaan yang akan ada dan berjalan ke depan. Di Vietnam misalnya, pertumbuhan PLTS Atap mencapai 2.000 MegaWatt (MW) atau 2 GW dalam dua tahun. Penyedia PLTS Atap di Vietnam inilah yang kemudian mulai bergesar ke Indonesia sehingga muncul tekanan untuk mendorong perkembangan PLTS Atap.
“Inilah yang kemudian muncul tekanan hingga mengubah aturan yang baru dari sebelumnya 65% harga jual listrik Rooftop PV ke PLN dari sisa energi yang telah dipakai menjadi 100%,” kata Nanang.
Secara terpisah, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menilai para pihak perlu pemahaman utuh jangan sampai pengembangan PLTS Atap hanya didorong upaya mencapai target 23% EBT tanpa disertai informasi lain yang utuh. Bahwa PLTS paling cepat prosesnya betul, tetapi risiko biaya yang tinggi juga harus dipahami.
“Risiko biaya yang timbul karena sifatnya yang intermiten karena hanya mampu berproduksi sekitar 4-6 jam per hari sehingga sisanya memerlukan bantuan dari jenis pembangkit yang lain yang kalau dijumlahkan biayanya tentu lebih mahal bagi PLN,” kata doktor kebijakan publik sektor energi dari Universitas Trisakti.
Komaidi berharap regulasi terkait PLTS Atap harus klir dengan memperhatikan banyak aspek. Apalagi saat ini sebagian besar komponennya masih sangat bergantung pada impor. “Pengembangan PLTS Atap perlu disinergikan dengan kebijakan TKDN agar manfaat ekonominya lebih besar lagi,” ujarnya. (RO/E-1)
Instalasi panel surya merupakan lanjutan dari proyek serupa di kantor pusat Mowilex di Jakarta pada 2022 lalu.
PRESIDEN Prabowo Subianto meresmikan sebanyak 55 pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tersebar di 15 provinsi, termasuk milik Medco.
Pabrik Ajinomoto di Mojokerto dan Karawang juga memperkuat penggunaan energi terbarukan melalui kerja sama dengan PT PLN (Persero) dengan memanfaatkan Renewable Energy Certificate (REC).
PLTS diprediksi memberikan peluang lapangan kerja bagi lebih 350.000 pekerja, paling tinggi di antara sektor EBT lainnya.
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 dinilai berpotensi menghambat momentum Indonesia dalam merealisasikan transisi energi.
Penelitian dan pilot project perlu digencarkan untuk menyesuaikan algoritma machine learning dengan kondisi geologi Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved