Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Indonesia Sambut Baik Kesepakatan Baru Pajak Internasional

M. Ilham Ramadhan Avisena
15/7/2021 19:26
Indonesia Sambut Baik Kesepakatan Baru Pajak Internasional
Ilustrasi pajak(Ilustrasi)

INDONESIA menyambut baik hasil keputusan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 terkait arsitektur perpajakan internasional. Salah satu dari kesepakatan tersebut memungkinkan negara-negara memungut pajak penghasilan perusahaan multinasional yang selama ini kerap diperdebatkan.

Kesepakatan itu berupa Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalisation and Globalization of the Economy. Tercapainya kesepakatan tersebut menunjukkan keberhasilan pendekatan multilateralisme dalam mengatasi tantangan digitalisasi dan globalisasi ekonomi, khususnya terkait mengatasi Base Erosion Profit Shifting (BEPS). 

Kesepakatan tersebut mencakup dua pilar yang bertujuan untuk memberikan hak pemajakan yang lebih adil dan berkepastian hukum dalam mengatasi BEPS akibat adanya globalisasi dan digitalisasi ekonomi tersebut. 

BEPS merupakam tantangan pemajakan yang dialami oleh negara-negara di dunia akibat adanya praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional. Praktik ini dilakukan dengan merancang perencanaan pajak secara agresif sehingga menimbulkan hilangnya potensi pajak bagi banyak negara. 

Kerugian potensi pajak negara-negara secara global diperkirakan sebesar US$100 hingga US$240 miliar, atau setara dengan 4% hingga 10% Produk Domestik Bruto (PDB) global.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu melalui siaran pers yang diterima, Kamis (15/7) mengatakan, pada kesepakatan pilar 1, Indonesia berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional.

Hal itu dengan ketentuan, perusahaan multinasional berskala besar, minimum €20 miliar dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi yaitu minimum 10% sebelum pajak. Berdasarkan batasan atau threshold tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia. 

Sebelum adanya kesepakatan pilar 1, negara pasar dapat memajaki suatu perusahaan multinasional hanya bila perusahaan tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehingga menyebabkan kesulitan atau kecilnya kemungkinan untuk memajaki. Namun dengan adanya kesepakatan Pilar 1, hak pemajakan negara pasar tidak lagi terkendala ketentuan terkait BUT tersebut. 

Selanjutnya, kesepakatan Pilar 2 ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya dengan memastikan perusahaan multinasional dengan minimum omzet konsolidasi sebesar €750 juta, membayar pajak penghasilan dengan tarif minimum 15% di negara domisili. 

Baca juga : Industri Oksigen Baru Beroperasi 74% dari Kapasitas Terpasang

Pilar 2 dengan demikian menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau yang dikenal dengan “Race to the Bottom” sehingga diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif. Dengan batasan atau threshold tersebut, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15%.

Di samping potensi manfaat, pilar 2 ini mempunyai dampak terhadap kebijakan insentif pajak penghasilan Pemerintah. Desain insentif perpajakan, khususnya dengan penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15%, harus didesain ulang menyesuaikan dengan pilar dua. 

Pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15% untuk tujuan misalnya menarik investasi. Dengan ketentuan ini, keputusan investasi diharapkan tidak lagi berdasarkan tarif pajak tetapi berdasarkan faktor fundamental. 

"Pemerintah cukup optimis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha," ujar Febrio.

Sistem perpajakan internasional yang baru tersebut selaras dengan semangat reformasi perpajakan nasional yang diantaranya bertujuan untuk meningkatkan basis pemajakan secara adil. Bagi emerging countries seperti Indonesia, hal ini penting untuk mengoptimalkan sumber penerimaan domestiknya. 

Penyebab rendah dan terus turunnya rasio pajak terhadap PDB Indonesia adalah belum mampunya sistem pemajakan menangkap peningkatan aktivitas ekonomi, salah satunya karena BEPS. Berdasarkan OECD, 60% hingga 80% perdagangan internasional merupakan transaksi afiliasi perusahaan multinasional yang ditujukan untuk menghindari pajak dengan cara memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah.

"Di Indonesia, laporan wajib pajak menunjukkan bahwa 37% hingga 42% PDB merupakan transaksi afiliasi. Bila dibiarkan, hal ini tentunya merugikan bagi perpajakan Indonesia. Dengan adanya tambahan hak atas pemajakan dalam kedua pilar, basis pajak Indonesia akan meningkat," kata Febrio. 

Persetujuan atas kedua pilar tersebut telah disampaikan oleh 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS. 

Detail teknis dari dua pilar yang ada dalam kesepakan tersebut tersebut akan dilaporkan dan difinalisasi pada pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada bulan Oktober 2021 mendatang. Kedua pilar tersebut rencananya akan ditandandatangani di 2022 dan diberlakukan secara efektif di 2023. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya