Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Perpajakan Masuk UU Cipta Kerja, Ini Tujuan Pemerintah

M. Ilham Ramadhan Avisena
12/10/2020 16:52
Perpajakan Masuk UU Cipta Kerja, Ini Tujuan Pemerintah
Foto udara kawasan Semanggi, Jakarta.(Antara/Galih Pradipta)

KLASTER perpajakan masuk dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja sebagai dampak pandemi covid-19. Mengingat, pandemi telah menekan sektor perekonomian dan membuat kinerja penerimaan perpajakan menyusut.

Itu sekaligus melengkapi ketentuan perpajakan dalam Perrpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah diubah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.

"Kita perlu memanfaatkan instrumen pajak. Mulai dari menjaga kondisi kesehatan dan mendorong bisnis berkembang. Paling tidak membuka peluang lapangan pekerjaan baru," ujar Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo dalam diskusi virtual, Senin (12/10).

Baca juga: Presiden: UU Ciptaker Hilangkan Pungli dan Korupsi

Setidaknya ada empat tujuan utama masuknya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja. Pertama, meningkatkan pendanaan investasi yang diharapkan berimplikasi pada perbaikan ekonomi.

Tujuan ini dapat dicapai melalui lima kebijakan dalam klaster perpajakan. Seperti, penghapusan PPh atas dividen dalam negeri dan penghasilan tertentu, termasuk dividen luar negeri, agar tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia.

Kemudian, ruang penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga, penyertaan modal dalam bentuk aset tidak terutang PPN, serta non-objek PPh atas bagian laba/SHU koperasi dan dana haji yang dikelola BPKH.

Lima poin kebijakan itu melengkapi dua ketentuan perpajakan yang tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2020, yakni penurunan tarif PPh Badan secara bertahap 22% pada 2020 dan 2021, kemudian sebesar 20% pada 2022. Penurunan tarif PPh Badan Wajib Pajak Go Public tarif umum minus 3%.

Baca juga: BKPM: Demo UU Cipta Kerja tidak Surutkan Minat Investor

Tujuan kedua ialah mendorong kepatuhan Wajib Pajak dan wajib bayar secara sukarela. Dalam hal ini, dengan dua kebijakan seperti relaksasi pengkreditan pajak masukan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), serta pengaturan ulang atas sanksi administratif pajak dan imbalan bunga.

Adapun tujuan ketiga, yakni meningkatkan kepastian hukum melalui kebijakan penentuan subjek pajak orang pribadi, termasuk WNI dan WNA, yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia. Kemudian, pengenaan PPh bagi WNA yang merupakan subjek pajak dengan keahlian tertent, hanya atas penghasilan dari Indonesia.

"Ini berlaku juga bagi WNI berada di Indonesia kurang dari 183 hari, dapat menjadi subjek pajak luar negeri dengan syarat tertentu. Penyerahan batu bara termasuk BKP (Barang Kena Pajak) dan konsinyasi bukan termasuk penyerahan BKP," jelas Suryo.

Baca juga: Soal UU Cipta Kerja, Ini Jaminan Pemerintah pada Korban PHK

Tujuan ketiga ialah melengkapi kebijakan non-objek PPh atas sisa lebih dana badan sosial dan badan keagamaan. Berikut, pidana pajak yang telah diputus, tidak lagi diterbitkan ketetapan pajak. Penerbitan STP kadaluwarsa lima tahun dan STP dapat diterbitkan untuk menagih imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan.

Selain itu, tujuan keempat ialah menciptakan keadilan iklim berusaha di Tanah Air. Melalui kebijakan pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) pembeli yang tidak memiliki NPWP dalam faktur pajak.

"Ini didorong satu ketentuan perpajakan yang tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2020, yaitu pemajakan transaksi elektronik atas penunjukkan platform memungut PPN dan pengenaan pajak kepada subjek pajak luar negeri atas transaksi elektronik di Indonesia," terangnya.(OL-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya