BADAN Kebijakan Fiskal (BKF) menyebutkan bahwa penurunan defisit dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba.
Penurunan perlu dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan guncangan terhadap perekonomian.
“Kita tidak ingin tiba-tiba defisit dari 6% terus langsung kembali ke 2% sehingga mengalami shrinking (penyusutan) dalam belanja negara,” kata Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Hidayat Amir dalam webinar di Jakarta, kemarin.
Pemerintah, kata dia, melakukan upaya pemulihan ekonomi pada 2021 sehingga besaran defisit diproyeksikan masih lebih tinggi dari batasan maksimal 3% sesuai Undang-Undang Keuangan Negara.
Besaran defisit APBN 2021 diproyeksi berada pada kisaran 3,05%-4,01% terhadap PDB. Pelebaran defisit akan berlangsung hingga 2022 dan akan kembali dalam batas maksimal 3% pada 2023.
Pelebaran defisit itu, lanjut dia, karena pemerintah harus melakukan upaya luar biasa dalam menangani dampak pandemi covid-19 di bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan kepada dunia usaha, terutama UMKM.
Untuk diketahui, APBN 2020 yang telah direvisi menjadi Perpres 54 Tahun 2020 tentang perubahan postur APBN 2020 membuat defisit diperlebar menjadi 5,07% atau mencapai Rp852 triliun.
Mencermati dampak pandemi covid-19, pemerintah kembali akan merevisi Perpres 54 Tahun 2020 itu dan menambah besaran desifit menjadi 6,34% dari PDB atau mencapai Rp1.039,2 triliun dengan tambahan belanja penanganan covid-19 mencapai Rp695,20 triliun.
Hingga Mei 2020, angka defisit baru mencapai 1,1% PDB atau mencapai Rp179,6 triliun.
Peluang pemulihan
Dalam diskusi berbeda, Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro mengatakan perekonomian Indonesia akan mengalami pertumbuhan terburuk tahun ini pada triwulan II yang diproyeksikan terkontraksi hingga 3,4%.
Namun, Andry menyatakan perekonomian Indonesia memiliki potensi pemulihan dan pertumbuhan positif pada triwulan IV mendatang dengan asumsi tidak terjadi gelombang kedua pada kasus covid-19.
“Kita melihat ada peluang pada 2020, yaitu pertumbuhan positif terjadi di triwulan IV. Namun, kalau terjadi second wave bisa saja pemulihan ekonomi domestiknya tidak lebih cepat dari kuartal IV,” ujarnya.
Ia menuturkan potensi pertumbuhan positif itu dapat dicapai melalui penerapan kenormalan baru atau new normal dengan tetap mengutamakan protokol kesehatan sehingga mampu mendorong perekonomian di beberapa sektor dan daerah.
“Menurut kami, perekonomian domestik punya peluang untuk recovery kalau protokolnya dilaksanakan dengan ketat dan tidak ada penerapan PSBB secara masif lagi,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Andry mengimbau agar masyarakat tetap dapat menerapkan protokol kesehatan dalam segala aktivitas sehari-hari. (Ant/E-1)