Headline
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
Pendidikan kedokteran Indonesia harus beradaptasi dengan dinamika zaman.
Sidang lanjutan dengan terdakwa Mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait percepatan kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut Tambang Riau-1 berlangsung, Senin (23/9).
Persidangan ini mengagendakan mendengarkan keterangan terdakwa Sofyan Basir. Dalam keterangannya, Sofyan yang menjabat sebagai Direktur Utama PT PLN (Persero) sejak Januari 2015 memiliki tugas pokok melakukan pengadaan elektrifikasi.
Jumlah Direksi PLN sebanyak 13 orang, salah satunya Direktur Pengadaan Strategis 2 yang dijabat oleh Supangkat Iwan Santoso. Supangkat bertugas melakukan pengadaan IPP, Gas, dan Batubara. Termasuk juga pengadaan IPP Mulut Tambang (MT).
Bahwa Direktur Perencanaan pada saat itu dijabat oleh Nicke Widayawati. Nicke memiliki tugas pokok adalah melakukan perencanaan yang dituangkan dalam RUPTL.
Dalam sidang Sofyan mengatakan bahwa apabila PLTU MT milik PLN maka PLN tidak membayar biaya apapun. Apabila PLTU non MT, pembangkitnya punya asing (non-PLN) dengan skema BOT dengan jangka waktu 20-30 tahun. PLN hanya membeli listriknya saja.
''Ada juga MT yang melalui tender seperti di Kalimantan. Pemilik tambang mengajukan kepada PLN untuk mendirikan PLTU. PLN juga hanya membeli listriknya saja dengan skema BOT,'' ungkap Sofyan.
Kemudian sejak 2015 pemerintah tidak lagi membiayai PLN dengan APBN, sehingga PLN mencari dana sendiri untuk membangun infrastruktur ketenagalistrikan. Sejak tahun yang sama, tidak ada lagi jaminan dari pemerintah untuk pembangunan proyek di PLN.
''Bahwa berdasarkan Perpres 4 tahun 2016, PLN dapat menugaskan Anak Perusahaan untuk melakukan pengadaan pembangkit IPP dengan syarat AP PLN memiliki syarat minimal 51% kepemilikan saham di pembangkit tersebut,'' tambahnya.
Dalam persidangan itu juga terungkap poin-poin berikut.
Yaitu, bahwa AP PLN membuat Terms of Reference dalam mengadakan kerja sama dengan investor. Syaratnya antara lain investor harus mencari pinjaman dan dana untuk pembangkit tersebut.
Bahwa setelah tahun ke 25, kepemilikan saham sisanya sebesar 49% milik perusahaan lain diberikan kepada PLN seluruhnya tanpa ada tambahan biaya lagi. Seluruh keputusan Perseroan (khususnya terkait pengadaan) harus disetujui oleh seluruh Direksi.
Saat menjalankan program percepatan infrastruktur ketenagalistrikan, hampir setiap hari Direksi mengadakan rapat rutin saat agenda makan bersama.
Terdakwa mengaku tidak mengetahui secara detail SOP pengadaan IPP dengan skema penugasan kepada AP PLN. SOP tersebut pada umumnya dibuat oleh direktorat terkait.
Terdakwa pernah menugaskan AP PLN untuk mengadakan seluruh pengadaan IPP MT kepada PT IP dan PT PJB. Dengan untuk Sumatera oleh PT PJB dan Kalimantan untuk PT IP.
Pengusaha/investor sudah mengetahui rancangan proyek PLN dalam RUPTL PLN.
PLTU MT Riau 1 juga termasuk proyek penugasan kepada AP PLN yaitu PT PJB.
Di lain hal, terdakwa mengakui mengenal Johanes Budisutrisno Kotjo sejak awal 2016 dengan investor dari CHEC di Kantor PLN. Terdakwa bertemu Johanes Budisutrisno Kotjo bersama Supangkat Iwan Santoso dan Nicke Widyawati.
CHEC bersama Johanes Budisutrisno Kotjo datang ke Kantor PLN pada waktu itu untuk berterima kasih karena proyek PLTU Celukan Bawang sudah COD.
Johanes Budisutrisno Kotjo kemudian mengenalkan diri dan berminat untuk menjadi investor proyek-proyek di PLN. Terdakwa kemudian mengenalkan Supangkat Iwan Santoso sebagai Direktur Pengadaan dan Nicke Widyawati sebagai Direktur Perencanaan, agar ke depannya menghubungi mereka untuk urusan teknis.
Terdakwa juga mengaku mengenal Eni Maulani Saragih sejak 2015 sebagai anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar. Juga mengenal Setya Novanto sebagai anggota DPR RI dari fraksi partai Golkar.
Awalnya Terdakwa bertemu dengan Setya Novanto di Istana Negara pada bulan Mei tahun 2016. Setya Novanto ingin membicarakan program nawa cita dengan terdakwa,
Atas ajakan Setya Novanto tersebut, Eni Maulani Saragih kemudian mengajak terdakwa untuk bertemu dengan Setya Novanto membicarakan program nawa cita.
Pada sekitar bulan Juni 2016, Eni Maulani Saragih mengajak terdakwa ke rumah Setya Novanto bersama Supangkat Iwan Santoso. Eni Maulani Saragih juga hadir pada pertemuan tersebut.
Alasan terdakwa mengajak Supangkat Iwan Santoso ke rumah Setya Novanto karena terdakwa biasa mengajak direksi yang mengetahui apabila ditanya terkait hal-hal teknis di PLN.
Pertemuan di rumah Setya Novanto awalnya membicarakan program Nawa Cita dan progress 35.000 MW. Setya Novanto menanyakan mengapa baru sekitar 10.000 MW yang terealisasi.
Setya Novanto juga menanyakan secara spesifik terkait progress PLTU Jawa 3. Supangkat Iwan Santoso menerangkan bahwa PLTU Jawa 3 merupakan pembangkit peaker yang dikelola sendiri oleh PLN.
Terdakwa menyampaikan bahwa proyek-proyek pembangkit di Pulau Jawa sudah jalan semua (sudah penuh). Seingat terdakwa, Eni Maulani Saragih menanyakan kepadanya apakah ada proyek di Pulau Jawa. Kemudian terdakwa mengatakan bahwa proyek di Pulau Jawa sudah penuh.
Eni Maulani Saragih mengatakan ke terdakwa karena dirinya sebagai petugas partai maka dirinya meminta izin kepada terdakwa untuk dapat menindaklanjuti ajakan ketua umum (Setya Novanto) saat bertemu di Istana Negara.
Terdakwa pernah melakukan pertemuan di Hotel Mulia dengan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo setelah bertemu Setya Novanto di rumahnya. Pertemuan tersebut diinisiasi oleh Eni Maulani Saragih.
Johanes Budisutrisno Kotjo berminat menjadi investor proyek PLN, namun terdakwa menjawab di Pulau Jawa sudah penuh. Apabila berminat silahkan mencari proyek di luar Pulau Jawa yang masih tersedia.
Terdakwa menjelaskan mengapa mau bertemu dengan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo di Hotel Mulia karena Eni Maulani Saragih menyampaikan bahwa Johanes Budisutrisno Kotjo sebagai teman baiknya. Di satu sisi Eni Maulani Saragih juga sering membantu institusi PLN dalam hearing di DPR RI.
Terdakwa juga menyampaikan bahwa proyek-proyek di PLN tersedia secara terbuka di RUPTL. Semua pihak yang berminat dapat bertanya ke PLN mengenai teknis pengadaannya.
Pihak swasta merasa keberatan dengan syarat-syarat kerja sama yang telah ditetapkan oleh PLN. Oleh karena itu pihak CHEC menugaskan Johanes Budisutrisno Kotjo untuk melakukan negosiasi dengan PLN.
Terdakwa menyampaikan bahwa benar terjadi beberapa kali pertemuan dengan Johanes Budisutrisno Kotjo dan Eni Maulani Saragih di BRI Lounge, Restoran Arkadia, Hotel Fairmont, dan kediaman terdakwa sebanyak 2 kali yang pertama dengan Supangkat Iwan Santoso dan yang kedua dengan Idrus Marham.
Terdakwa tidak mengingat adanya pertemuan dengan Eni Maulani Saragih, Supangkat Iwan Santoso, dan Nicke Widyawati di Hotel Fairmont pada 2017 di mana Eni Maulani Saragih meminta agar PLTU MT Riau 1 tetap masuk dalam RUPTL PLN 2017. Malah terdakwa menyampaikan bahwa PLTU MT seharusnya tetap masuk RUPTL pada tahun berikutnya karena harganya yang lebih murah daripada PLTU biasa.
Terdakwa menyampaikan bahwa benar pernah menandatangani lembar belakang beberapa PPA penugasan ke AP salah satunya PLTU MT Riau 1 pada 29 September 2017 sebelum berangkat ke luar negeri.
Terdakwa menyampaikan pada 29 September 2017 harus berangkat ke London untuk penawaran obligasi. Kemudian beberapa Kepala Divisi mencegat terdakwa agar menandatangani lembar terakhir pra-PPA sekitar 10 lembar untuk sejumlah proyek penugasan karena investor mau datang tanggal 6 Oktober 2017 dan semua AP PLN sudah menandatanganinya. Apabila investor tidak jadi menandatangani, lembar tersebut tidak jadi dipakai.
Terdakwa menyampaikan bahwa dalam pra-PPA terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh Konsorsium. Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi maka PLN mengeluarkan amanded and restated PPA sehingga berlaku efektif.
Terdakwa menyampaikan bahwa setiap saat diskusi dengan Direksi lain saat makan bersama membicarakan proyek penugasan PLTU MT, tidak spesifik namun termasuk PLTU MT Riau 1.
Terdakwa menyampaikan bahwa setiap direksi dipastikan sudah memahami konsep penugasan PLTU MT, namun untuk teknis dan detail setiap proyek tidak setiap Direksi memahami, atas pemahaman tersebut Terdakwa bersedia menandatangani pra-PPA dan persetujuan sirkuler Direksi terlebih dahulu karena Terdakwa meyakini semua Direksi pada prinsipnya setuju dengan konsep penugasan tersebut.
Terdakwa tidak mengetahui saat menandatangani pra-PPA 29 September 2017 belum dikeluarkan Letter of Intent, pemasukan proposal penawaran, dan evaluasi persetujuan harga karena Kepala Divisi IPP menyampaikan kepada Terdakwa nantinya lembar tandatangan tersebut baru akan dipakai setelah semua klausul dalam PPA terpenuhi.
Terdakwa pernah menyampaikan kepada Johanes Budisutrisno Kotjo apabila kesepakatan belum tercapai, agar mencari investor lain.
Terdakwa menyampaikan bahwa pertemuan dengan Idrus Marham di kediaman Terdakwa diminta sendiri oleh Idrus Marham pada tanggal 6 Juni 2017. Pertemuan tersebut ternyata juga dihadiri oleh Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo. Johanes Budisutrisno Kotjo meminta proyek PLTU Riau II karena proses PLTU MT Riau I segera selesai. Terdakwa menyampaikan agar menyelesaikan PLTU MT Riau I terlebih dahulu.
Terdakwa menyampaikan bahwa Kepala Divisi IPP membuat SOP internal di Divisi IPP. Pra-PPA digunakan untuk AP PLN sehingga bisa membuat posisi tawar yang lebih baik bagi AP PLN di depan Investor apabila sudah ditandatangani oleh Terdakwa sebagai Dirut PLN.
Terdakwa mengatakan proses negosiasi PLTU MT melalui penugasan berlangsung lama karena skema ini merupakan produk yang baru di PLN sehingga masih butuh pengkajian dalam setiap prosesnya. Lain hal dengan proses tender terbuka yang sudah ada prosedur bakunya.
Terdakwa menyampaikan bahwa tidak menangkap adanya indikasi yang lain saat Eni Maulani Saragih ikut hadir dalam setiap pertemuan antara Johanes Budisutrisno Kotjo dengan Terdakwa dalam membahas PLTU MT Riau 1 karena Eni Maulani Saragih juga tidak pernah ikut membahas dan bernegosiasi perihal teknis PLTU MT Riau 1.
Terdakwa menyampaikan negosiasi terakhir dengan Johanes Budisutrisno Kotjo terkait jangka waktu kontrol pembangkit.
Terdakwa mengatakan yang 'the best' kepada Eni Maulani Saragih karena PLN baru selesai melakukan RDP di DPR RI. Dalam RDP tersebut Eni Maulani Saragih sebagai Komisi VII DPR RI ikut membantu PLN dalam menentukan harga patokan batubara (DMO). Namun Eni Maulani Saragih menanggapi dengan 'pak Kotjo dan pak Sofyan juga ikut bekerja keras'.
Terdakwa tidak pernah mengatakan kepada Eni Maulani Saragih agar ''anak-anak di PLN ikut diperhatikan oleh Johanes Budisutrisno Kotjo''.
Terdakwa menyampaikan kepada Supangkat Iwan Santoso agar seluruh proyek penugasan PLTU MT diselesaikan dengan cepat karena sudah terlambat 1,5 tahun dari target semula.
Terdakwa menyampaikan bahwa kekuatan Undang-Undang dan Peraturan Presiden lebih tinggi dibanding SOP penugasan ke AP PLN.
Terdakwa menyampaikan bahwa proyek 35.000MW terdiri dari beberapa proyek. Proyak 10.000MW dibangun sendiri oleh PLN (EPC) dan 25.000MW melalui IPP (BOT) di mana termasuk 6000MW di dalamnya merupakan proyek penugasan PLTU MT kepada AP PLN.
Terdakwa menyampaikan bahwa dari 34 proyek FTP 1 yang belum selesai, sudah ada 19 proyek yang dilanjutkan pekerjaannya.
Terdakwa menyampaikan bahwa PLTU MT Riau 1 sudah masuk ke dalam RUPTL PLN, pada umumnya proyek tersebut berkelanjutan.
Terdakwa tidak mengetahui adanya surat dari PT Samantaka tanggal 1 Oktober 2015.
Terdakwa tidak mengetahui bahwa Johanes Budisutrisno Kotjo sudah menemui Setya Novanto pada awal tahun 2016 sebelum bertemu dengan Terdakwa.
Terdakwa tidak mengetahui adanya hadiah atau janji dari Johanes Budisutrisno Kotjo berupa fee kepada Eni Maulani Saragih.
Terdakwa menyampaikan yang dimaksud dengan pra-PPA adalah digunakan kepada AP PLN untuk menaikkan posisi tawar dan karena ini proyek percepatan syarat tangguh lainnya diselesaikan secara paralel.
Terdakwa menyampaikan bahwa pihak investor menginginkan agar dari tahun ke 16 sampai 25 kapasitas pembangkit tetap di atas 90%. Dikhawatirkan apabila diserahkan kepada PLN kapasitas pembangkit menjadi turun.
Terdakwa menyampaikan bahwa proyek PLTU MT Riau 1 dihentikan melalui persetujuan Direksi berdasarkan kajian legal dan resiko;
Bahwa terhadap skema penugasan IPP PLTU MT kepada AP PLN, tidak ada Direksi yang menyatakan penolakan kepada skema tersebut;
Terdakwa menyampaikan saat dirinya dihubungi oleh Eni Maulani Saragih, Terdakwa sedang bersama dengan Presiden dan Menteri BUMN sehingga fokus Terdakwa ingin segera mengakhiri sambungan telepon dari Eni Maulani Saragih tersebut.
Terdakwa menyampaikan bahwa ketika rapat saat makan siang bersama dengan Direksi, pada prinsipnya Direktur Pengadaan Strategis 2 (Supangkat Iwan Santoso) sudah setuju dengan skema penugasan IPP PLTU MT kepada AP PLN.
Bahwa karena kesibukan Direksi dan banyaknya pekerjaan yang harus segera diputus dan diselesaikan, maka hampir setiap hari Direksi mengadakan rapat rutin saat makan siang bersama, tidak jarang juga keputusan disampaikan melalui conference call.
Terdakwa menyampaikan bahwa semua Direksi sudah mengetahui filosofi proyek penugasan IPP PLTU MT kepada AP PLN karena apabila semua proyek penugasan tersebut berhasil maka akan menurunkan BPP.
Terdakwa menyampaikan minimal perlu waktu 1 tahun setelah PPA ditandatangani sampai groundbreaking pembangkit.
Terdakwa menyampaikan bahwa Eni Maulani Saragih tidak pernah membicarakan perihal teknis PLTU MT Riau 1.
Terdakwa tidak pernah menginisiasi pertemuan dengan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo.
Terdakwa menyampaikan bahwa tidak menyadari adanya kepentingan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo ketika melakukan percepatan pembahasan proyek PLTU MT Riau 1.
Menurut Terdakwa Johanes Budisutrisno Kotjo intens melakukan pertemuan karena khawatir Terdakwa akan mengganti investor lain karena kesepakatan belum tercapai sampai 1,5 tahun.
Terdakwa mengatakan bahwa inisiatif mengadakan pertemuan selalu dilakukan oleh Eni Maulani Saragih.
Dalam persidangan, Sofyan Baasir menambahkan bahwa sulit untuk mendapatkan investor dengan skema PIK (Percepatan Infrastruksi Ketenagalistrikan).
''Konsep kepemilikan saham 51% oleh PLN dengan kewajiban setor maksimal cuma 10% dari modal, membuat PLN harus melobi para investor agar bersedia dengan konsep tersebut, karena tidak mudah untuk meyakinkan investor dengan pola tersebut. Kedudukan Investor menjadi minoritas sementara harus menyediakan 90% modal,'' ujarnya. ''Melobi investor untuk proyek IPP 2x300 MW senilai Rp14T dengan konsep tersebut bukan perkara gampang. Konsep ini akan membuat PLN menjadi 'pemain' bukan lagi jadi 'penonton' yang selama ini terjadi.''
Persidangan berikutnya akan dilanjutkan pada Senin (30/09) dengan agenda mendengarkan tuntutan JPU. (RO/OL-10)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved