Headline

Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan

Fokus

Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.

Kebijakan Tarif Cukai dan HJE Diminta Ditinjau Ulang

Mediaindonesia.com
23/9/2019 15:48
Kebijakan Tarif Cukai dan HJE Diminta Ditinjau Ulang
Diskusi bertajuk  'Masa Depan IHT Pasca Kenaikan Cukai'  di Jakarta, Senin (23/90(Istimewa)

MASA depan industri hasil tembakau (IHT) pascapemerintah mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok hingga 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% seperti berada di persimpangan jalan.

Keputusan pemerintah, yang mulai berlaku pada 1 Januari 2020 mendatang tersebut dinilai berpotensi menghancurkan industri rokok, memukul serapan hasil petani tembakau, dan meningkatkan peredaran rokok ilegal. 

Pernyataan tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk  'Masa Depan IHT Pasca Kenaikan Cukai' yang digelar Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (LPSDM YMIK) di Jakarta, Senin (23/9). 

“LPSDM YMIK melihat bahwa diskusi media ini perlu dilakukan sebagai pembelajaran untuk kita semua baik akademisi, mahasiwa, dan umum. Diskusi ini juga berkaitan dengan pembahasan menyangkut ekonomi, politik, dan sosial budaya,” kata Evert Haryanto Hilman, Direktur LPSDM YMIK.

Hadir dalam diskusi media tersebut adalah Willem Petrus Riwu (Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok/GAPPRI), Dita Indah Sari (Ketua DPP PKB Bidang Ketenagakerjaan dan Migran), Enny Sri Hartati (pengamat Indef), dan Mohamad Sobari (budayawan).

Willem mengatakan, IHT merupakan industri yang strategis, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pendapatan negara sebesar 10% dari APBN atau sebesar Rp200 triliun (cukai, pajak rokok daerah, dan PPN). IHT juga menyerap 7,1 juta jiwa yang meliputi petani, buruh, pedagang eceran, dan industri yang terkait.

"Dengan adanya keputusan pemerintah yang menaikkan rata-rata cukai 23% dan HJE 35% yang sangat eksesif, tentu akan menyebabkan dampak negatif untuk industri," ujar Willem.

Penaikan cukai 23% dan HJE 35% diperkirakan akan terjadi penurunan volume produksi sebesar 15% di tahun 2020. Akibatnya adalah terganggunya ekosistem pasar rokok, penyerapan tembakau dan cengkeh akan menurun sampai 30%, rasionalisasi karyawan di pabrik, maraknya rokok illegal yang dalam dua tahun ini sudah menurun.

GAPPRI juga kecewa karena rencana kenaikan besaran cukai dan HJE yang sangat tinggi tersebut tidak pernah dikomunikasikan dengan pabrikan sesuai amanat UU No 39/2007 tentang Cukai.

"Padahal target penerimaan cukai dalam RAPBN 2020 naik sebesar 9,5% (Rp173 triliun) sedangkan usulan GAPPRI maksimal sebesar angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi," tutur Willem.

Sementara itu, Dita meminta agar pemerintah mengurangi besaran cukai rokok agar beban petani tembakau tidak berat dan bisa tetap hidup. IHT, dalam kalkulasi Dita, menyerap lebih dari 150.000 buruh dan 60.000 karyawan. 

Di luar jumlah tadi, saat ini ada sekitar 2,3 petani tembakau dan 1,6 juta petani cengkeh yang menggantungkan hidupnya dari industri rokok. DPP PKB juga menuntut pemerintah mengatur ulang tata niaga penjualan tembakau dengan meniadakan broker, tengkulak, dan pemburu rente sehingga petani lebih sejahtera.

Menurut Dita, jika alasan pemerintah menaikkan tarif cukai dan HJE adalah mengurangi jumlah perokok, harus ditempuh cara lain untuk mencapai tujuan tersebut.

"Jika tujuannya mengurangi jumlah perokok, lakukan kampanye. Jangan dengan cara membunuh industrinya," kata Dita.

Enny Sri Hartati mengimbuhkan, peran pemerintah seharusnya sebagai pengarah, yang mengarahkan industri untuk bergerak tanpa adanya paksaan. Pemerintah juga harus melihat bagaimana kondisi pasar di indonesia, karena selera masyarakat berbeda-beda. 

Pemerintah menurutnya harus memiliki roadmap yang optimum untuk industri hasil tembakau (IHT). Jika sudah ada roadmap optimumnya, nanti dengan sendirinya kerangka kebijakan akan dilengkapi dengan kemitraan.

Pasar, menurut Enny, hanya bisa dikendalikan dengan ketepatan regulasi, karena apabila 
regulasi tidak tepat, pasti akan kalah dengan mekanisme pasar. "Rokok memang harus 
dikendalikan, namun kenaikan cukai harus penuh perhitungan, karena rokok menyumbang 
inflasi."

Simplifikasi, lanjut Enny, harus mengakomodir kedua belah pihak. Apabila kenaikan cukai 
terlalu berlebihan, justru akan semakin sulit untuk mengendalikan karena banyak yang lari ke rokok ilegal.

Untuk rokok dalam negeri, dipandang harus ada regulasi insentif dan disinsentif agar dapat memberikan kepastian terhadap industri nasional.

Menurut Moh. Sobari, tembakau adalah bagian dari budaya Indonesia dan berkontribusi dalam 
menopang ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk melindungi industri
tembakau dengan regulasi yang tepat. 

Menurutnya kalau hanya sekedar menambah penerimaan negara, industri yang sudah memberikan kontribusi nyata jangan dipersulit. Apabila pemerintah ingin meningkatkan penerimaan negara, ada potensi dari industri kelautan. 

"Di pantai-pantai Indonesia banyak sekali terjadi pencurian ikan. Harusnya, lanjut Sobari, ada penekanan pada sisi pembelaan terhadap kedaulatan pangan Indonesia, termasuk tembakau," tandasnya. (OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya