Ibu Kota Baru Perlu Konsep Forest City

TESA OKTIANA SURBAKTI
10/9/2019 01:00
Ibu Kota Baru Perlu Konsep Forest City
Foto udara kawasan Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (30/8).(MI/PIUS ERLANGGA)

PEMERINTAH perlu memahami karakteristik Kalimantan sebagai paru-paru dunia dalam pembangunan permukiman dan perkantoran baru di wilayah Kalimantan. Karena itulah, dalam pemindahan ibu kota negara, konsep forest city perlu dibahas secara matang.

"Jangan sampai pemindahan ibu kota negara malah menggeser fungsi hijau di Kalimantan. Jadi, konsep forest city harus dibahas matang sehingga pembangunan ibu kota negara baru bisa mengedepankan aspek lingkungan," kata Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Andy Simarmata, di sela-sela Kongres Perencana Dunia (International Society of City and Regional Planners/ISOCARP) ke-55, di Jakarta, kemarin.

Menurut Andy, konsep forest city yang dimaksud, pemerintah harus memikirkan kondisi vegetasi hutan di Kalimantan. Konsep forest city dimaksud bukan hanya meningkatkan persentase lahan hijau, melainkan juga distribusi dan penataan jalur hijau di ibu kota negara baru.

Dalam hal ini, terang dia, pemerintah bisa belajar dari New York, AS, yang menghadirkan taman berskala besar, yakni Central Park, di tengah kota. Selain itu juga perlu melihat pengembangan jalur hijau di pinggiran kota di London, Inggris.

"Di sini paling penting ialah letak jalur hijau, bukan persentasenya. Bagaimana suhu kota dapat distabilkan dengan penjagaan jalur hijau. Dengan begitu, tidak terjadi kenaikan suhu signifikan ketika terjadi pergerakan angin dari tinggi ke rendah. Apalagi, ekosistem Kalimantan didominasi rawa. Jadi, perspektif pembangunan harus terkait dengan lingkungan," ujar dia.

Beberapa aspek lainnya berkaitan dengan konsep forest city serta perlu diperhatikan ialah populasi hewan dan tanaman, serta teknologi pendukung ramah lingkungan. Dengan kata lain, bukan hanya memperhatikan populasi manusia yang mengisi wilayah ibu kota negara baru.

"Kota berskala besar itu tak selalu berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penduduk. Tidak selamanya kota besar itu penduduknya banyak. Di berbagai penjuru dunia, banyak kota besar justru kota menengah dengan penduduk sekitar 500 ribu-1 juta jiwa. Washington DC sebagai ibu kota AS, memiliki populasi kurang dari satu juta jiwa. Bonn di Jerman hanya 600 ribu orang, padahal pertumbuhan ekonominya tinggi," tutupnya.

Namun, Andy mengingatkan, skenario pembangunan ibu kota negara mestinya memproyeksikan pertumbuhan wilayah pada rentang waktu tertentu. Dengan kata lain, penataan ruang ibu kota negara baru turut menyiapkan potensi pertumbuhan alami serta daya dukung seperti pemindahan populasi.

Perencanaan ruang

Kongres Perencana Dunia (ISOCARP) ke-55 yang berlangsung sejak kemarin hingga 13 September 2019 dihadiri 30 wali kota, serta 500 pakar dan perencana tata kota dari 44 negara.

Menurut Chairman Local Committee ISOCARP dan Ketua Umum IAP Bernardus Djonoputro, kongres tersebut merupakan upaya untuk memberikan masukan kepada pemerintah terkait dengan perencanaan serta pembangunan kota, termasuk ibu kota negara baru yang mengutamakan aspek keamanan, kenyamanan, dan berkelanjutan.

Bernardus menyampaikan tantangan pembangunan ke depan harus diatasi dengan perencanaan tata ruang nasional yang fokus pada harmonisasi daya dukung ruang, ketersediaan lahan, dan target pembangunan.

"Ke depan sebaiknya diarahkan pada perencanaan ruang yang mumpuni yang berpihak pada kebutuhan masyarakat. Tata ruang dapat menjadi penjamin investasi berkelanjutan, bukan penghambat," tutup Bernardus. (S-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya