Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Sekjen APNI Kritik Percepatan Larangan Ekspor Bijih Nikel

Mediaindonesia.com
25/8/2019 19:33
Sekjen APNI Kritik Percepatan Larangan Ekspor Bijih Nikel
Ilustrasi: Pekerja berada di dekat tungku pembakaran biji nikel.(Antara)

SEKRETARIS Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin, mengatakan pengusaha berpotensi mengalami kerugian hingga Rp50 triliun bila larangan ekspor bijih nikel dipercepat dari semula 2022 menjadi 2021.

Kerugian tersebut di antaranya berasal dari pembangunan smelter yang terhambat karena dihentikannya ekspor nikel. Menurut dia, pengusaha masih mengandalkan hasil ekspor untuk membiayai pembangunan smelter.

Baca juga:  Warga Simalungun di Perantauan Eratkan Persatuan

“Kerugian pengusaha nasional yang masih dalam proses pembangunan smelter bisa mencapai Rp50 triliun,” kata Meidy dalam keterangan pers yang diterima Media Indonesia, Minggu (25/8).

Sampai dengan 2018, smelter yang sudah bisa beroperasi baru separuh dari target pemerintah. Dari 57 smelter yang ditargetkan, baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi.

Lebih jauh Meidy menilai, tambang nikel yang berada di sekitar wilayah smelter dapat diambil alih investor asing jika pembangunan smelter tidak dapat dilanjutkan. Selain itu juga perekonomian masyarakat sekitar di lingkar tambang seperti pemilik warung serta pekerja akan kehilangan mata pencaharian.

“Satu tambang memiliki 38 operator alat berat. Operator tersebut terdiri dari operator eskavator 200 dan 300 dozer, dan dump truck. Ada pula petugas helper maintenance, dapur, pengecekan lab, dan pekerja kantor. Jika dijumlah, pekerja tersebut berjumlah 98 orang, ini baru satu tambang ore (bijih nikel),” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan, ketika ekspor bijih nikel (ore) dilarang dan pemerintah tidak mengawasi harganya, itu membuka potensi terjadi permainan harga. Praktik ini sudah terjadi, misalnya kadar nikel 1,8% dibeli dengan harga US$ 20, sedangkan yang kadar 1,7% saja harga pasarnya US$ 32.

Dampak lainnya, menurut Budi, yakni ada potensi turunnya PNBP dari sektor minerba karena ekspornya dialihkan untuk penggunaan di dalam negeri, apalagi rencana produksi dari Freeport masih belum maksimal dalam beberapa  tahun ke depan. “Jadi belum ada substitusi devisa yang didapat dari ekspor nikel,” katanya.

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah akan mempercepat larangan ekspor ore (bijih nikel). Tujuannya ialah untuk menarik investor. “Seperti yang saya jelaskan, dalam keadaan trade war (perang dagang) seperti sekarang, kita perlu tarik investor sebanyak mungkin,” katanya di Jakarta, Selasa, (13/8).

Saat ini memang beberapa smelter Tiongkokk sudah beroperasi di Indonesia, sebut saja perusahaan asal Tiongkok Tsingshan Holding Group yang merupakan produsen stainless steel dan telah menanamkan investasi ke Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. (*/A-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing
Berita Lainnya