Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
PEMERINTAH didesak untuk segera merealisasikan penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi 3 miliar batang agar celah untuk menikmati tarif cukai rendah yang dilakukan pabrikan besar asing dapat diminimalisasi.
Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesi, Abdillah Ahsan, mengatakan, pabrikan besar asing yang menentang penggabungan ialah mereka yang membayar cukai yang lebih rendah.
"Pengusaha rokok yang protes adalah mereka yang diuntungkan dari kebijakan saat ini. Mereka membayar cukai lebih murah padahal sama-sama menjual rokok yang menyakiti dan tidak banyak menyerap tenaga kerja," kata Abdillah di Jakarta, Selasa (6/8).
Ia menjelaskan, penggabungan SKM dan SPM juga akan mengoptimalkan penerimaan cukai. Pasalnya, pabrikan yang memiliki volume produksi segmen SKM dan SPM di atas 3 miliar batang harus membayar tarif cukai golongan I pada kedua segmen tersebut.
"Kalau saya pengusaha rokok SPM, saya produksi 2,99 miliar batang SPM. Walau (tarif cukainya) lebih murah beberapa rupiah saja, tapi kalau dikali 2,99 miliar batang? Yang harusnya disubsidi itu UKM. Industri rokok tidak perlu disubsidi," tegasnya.
Abdillah mengataka, jika penggabungan SKM dan SPM berlarut-larut, maka hal ini dapat meningkatkan angka perokok di Indonesia. Pasalnya, rokok semakin mudah diakses oleh masyarakat karena harganya terjangkau.
"Semangat penggabungan SKM dan SPM ini sebenarnya untuk mengurangi perbedaan harga rokok sehingga konsumen tidak bisa beralih ke rokok murah. SKM dan SPM sama-sama buruk untuk kesehatan, sepatutnya digabung," katanya.
Senada dengan Abdillah, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susanto, mendorong pemerintah untuk tidak menunda penggabungan batasan produksi SKM dan SPM, lantaran hingga saat ini pabrikan rokok besar asing masih menikmati tarif cukai murah.
Baca juga: Investasi dan Ekspor Jadi Tumpuan
Tarif cukai di segmen SPM, dicontohkan Heri, memiliki ketimpangan sosial sehingga menekan pabrikan kecil. Pada golongan I di segmen rokok mesin SPM, Marlboro (Philip Morris Indonesia) menggunakan tarif cukai Rp625 per batang. Namun untuk golongan IIA, produk rokok mesin SPM Mevius milik Japan Tobacco Indonesia, memakai tarif Rp370 per batang atau 40% lebih rendah dari tarif golongan I.
"Formasi melihat bahwa ini ada ketimpangan sosial. Jika dikatakan Mevius tidak memakan pangsa pasar kami, itu sudah sangat keterlaluan karena pasar kita juga menggunakan tarif Rp370 per batang. Sama tarifnya, kita kalah, kan mereka raksasa," tegasnya.
Tak hanya Mevius, produk SPM milik perusahaan besar asing lainnya turut menikmati tarif murah. Lucky Strike dan Dunhill yang diproduksi oleh Bentoel Grup atau British American Tobacco serta Esse Blue yang dibuat oleh Korean Tobacco Group Indonesia juga menggunakan tarif Rp370 per batang.
"Itu juga perusahaan asing dan golongan gede. Perusahaannya multinasional bermodal kuat," ujarnya.
Permasalahan tarif murah juga terjadi di segmen SKM. A Mild (HM Sampoerna), Djarum Super (Djarum), dan Gudang Garam Surya (Gudang Garam) yang masuk dalam golongan I, menggunakan tarif Rp590 per batang. Namun, produk SKM milik Korean Tobacco, Esse Mild, memakai tarif golongan II sebesar Rp385 per batang. (RO/OL-11)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved