Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
PENINGKATAN produksi beras perlu digenjot dalam beberapa tahun seiring dengan peningkatan populasi penduduk Indonesia.
Namun, peningkatan produksi tidak bisa lagi bergantung pada penambahan luasan lahan persawahan yang terus menyempit. Pilihan yang tersisa ialah memacu produktivitas hasil pertanian dengan benih padi hibrida
Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) memaparkan benih padi hibrida memiliki produktivitas hingga 10 ton per hektare (ha). Bandingkan dengan benih padi konvensional atau inbrida yang selama ini digunakan, yang hanya mampu memproduksi rata-rata 5,15 ton per hektare.
Meski begitu, hingga saat ini, Kementan seakan tak meng-anggap pengembangan padi hibrida sebagai prioritas.
“Kami tidak menemukan program ini dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024,” ujar peneliti senior CIPS, Indra Krishamurthi, di Jakarta, Selasa (6/8).
Bukti abainya Kementan terhadap ketahanan pangan di masa mendatang, ucap Indra, juga terlihat dari rasio pengembangan padi hibrida yang saat ini baru sebesar 1% dari total luas tanam yang mencapai 15 juta ha.
Kementan mengalokasikan dana yang sangat kecil untuk penelitian padi hibrida. Penelitian padi hibrida hanya ada di Balai Besar Penelitian Padi di Jawa Barat dan itu hanya ditangani tiga peneliti.
“Bandingkan dengan Tiongkok yang memiliki pusat penelitian padi hibrida di seluruh provinsi. Ini kan menggambarkan betapa tidak seriusnya pengembangan padi yang modern,” tuturnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggi-lingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso berpendapat bahwa sudah saatnya menaikkan harga pokok penjualan (HPP) gabah dan beras.
“Melihat situasi sekarang, HPP harusnya sudah naik,” kata Sutarto.
Menurut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, harga pembelian petani untuk gabah kering panen (GKP) dipatok Rp3.700/kg, gabah kering giling (GKG) Rp4.600/kg, dan beras Rp7.300/kg.
“Kalau harga beras tetap dipertahankan seperti 2015 padahal UMR naik, petaninya tidak mendapatkan nilai tambah. Makanya petani cenderung menjual sawah, makin miskin,” ujarnya. (Pra/E-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved