Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Jadikan Momentum untuk Genjot Produksi Migas

Jessica Restiana Sihite
19/12/2015 00:00
Jadikan Momentum untuk Genjot Produksi Migas
(ANTARA/Wahyu Putro A)
Bukan rahasia lagi kalau bisnis hulu minyak dan gas bumi di Indonesia sedang redup-redupnya. Bayangkan, pada Juli 2014, harga minyak dunia masih bertengger di atas US$100 per barel. Namun, sejak Agustus hingga saat ini, secara perlahan harga minyak terperosok hingga ke level sekitar US$40 per barel. Malahan, pada Jumat (18/12), harga minyak WTI dan harga minyak brent sempat menyentuh level terendahnya sejak 2009, yakni US$34,55 per barel dan US$36,88 per barel. Anjlok lebih dari 60% ketimbang Juli 2014.

Rendahnya harga minyak dunia ini tentu berpengaruh pada investasi di sektor minyak dan gas bumi. Para investor migas atau biasa disebut kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) berbondong-bondong mengurangi kegiatan investasinya.

Data dari Kementerian ESDM, nilai investasi di sektor migas pada tahun ini masih sangat jauh dari target. Pada Agustus 2015, tercatat sebesar US$9,6 miliar investasi yang dihasilkan oleh sektor migas nasional. Jumlah itu baru 40,5% dari target investasi migas yang sebesar US$23,7 miliar.

Pemerintah pun mengakui harga minyak dunia sangat memukul investasi hulu migas. Pada awal tahun 2015 saja, dari 21 wilayah kerja (WK) migas yang dilelang pemerintah, hanya 11 WK yang diminati dan sudah memiliki pemenang. Tahun ini, sebanyak 11 WK migas dilelang dan belum ditentukan pemenangnya.

Tidak hanya itu, banyak kegiatan pengeboran sumur minyak yang dihentikan akibat harga minyak dunia. Tercatat oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sebanyak 127 dari 175 sumur minyak yang tidak dilakukan pengeboran. Jumlah tersebut dikatakan SKK Migas dikurangi secara sepihak oleh para KKKS di dalam work plan & budgeting (WP&B) 2015 yang para KKKS susun sendiri.

Tentu pengurangan kegiatan pengeboran sumur tersebut bakal mengurangi produksi minyak nasional. Dari target lifting (produksi minyak siap pakai) minyak yang ada dalam APBN-P 2015 sebesar 825 ribu barel per hari (bph), hingga akhir Oktober 2015 baru mencapai 764,9 ribu bph. Hingga akhir tahun pun, SKK Migas memperkirakan lifting minyak hanya mencapai 790 ribu bph atau 95% dari target APBN-P. Lagi-lagi target lifting minyak nasional tidak mencapai target.

Semua pihak pun kini menyalahi harga minyak dunia. Padahal, di awal tahun, pemerintah sempat menyeletuk rendahnya harga minyak seharusnya dijadikan momentum untuk menggenjot produksi. Upaya itu semestinya dilakukan agar pasokan energi nasional bertambah dan jika harga minyak dunia kembali melambung, Indonesia sudah ongkang-ongkang kaki karena punya minyak dengan harga murah dan bisa dijual dengan harga tinggi.

Namun, banyak alasan yang menurut mereka logis di tengah harga minyak dunia yang lesu ini. Tidak ekonomis dan pendapatan menurun. Itu alasan logis bagi semua pihak, termasuk pemerintah dan KKKS untuk tidak menggenjot produksi minyak.

Supaya alasan logis itu berbuah harapan, sudah semestinya pemerintah memberikan insentif bagi para pelaku usaha migas. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) eksplorasi sudah dihapuskan agar para KKKS mau terus melakukan eksplorasi. Lalu, perizinan migas sudah disederhanakan dari 51 izin menjadi 42 izin dan sudah dilimpahkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Namun, nampaknya insentif-insentif itu belum meningkatkan nafsu para KKKS untuk menggenjot produksi migasnya. Para pelaku usaha migas yang tergabung dalam Indonesia Petroleum Association (IPA) meminta agar pajak-pajak yang dipungut kepada mereka tidak melebihi ketentuan pajak yang sudah disepakati dalam kontrak bagi hasil (PSC). Mereka mengklaim sering dipunguti pajak di luar yang sudah disepakati. Itu salah satu alasan bagi mereka enggan memperbesar investasinya di Indonesia.

Kepastian hukum, keamanan beroperasi, dan masih panjangnya izin di tingkat kementerian lain dan daerah juga menjadi pertimbangan mereka menggencarkan investasi di tengah lesunya harga minyak dunia. Hal-hal itu kini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk membenahi sektor hulu migas nasional.

Sudah saatnya, pemerintah berpikir kebijakan yang inovatif untuk mendukung sektor hulu migas. Para investor pun juga harus ikut berpikir cara yang inovatif bagaimana bisa meningkatkan produksi untuk ketahanan energi. Toh, yang bakal menikmati keuntungan dari sektor migas, tidak hanya pemerintah, tetapi juga para investor dan masyarakat Indonesia. Pasokan energi yang terjaga pasti bakal menciptakan efek berantai hingga ke pembangunan industri dan infrastruktur dalam negeri.(Q-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya