Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Berbeda dengan 1997, Krisis Keuangan 2018 Berlimpah Likuiditas

Fetry Wuryasti
05/9/2018 13:10
Berbeda dengan 1997, Krisis Keuangan 2018 Berlimpah Likuiditas
(ANTARA)

KURS rupiah melemah di saat indeks dolar AS tidak menguat. Banyak pihak yang mencermati kejatuhan kurs rupiah sekitar 8,5% untuk sepanjang tahun berjalan.

Direktur strategi investasi PT Bahana TCW Investment Managemen Budi Hikmat mengatakan model ekonometri yang dia kembangkan mengindikasikan indeks dolar (Bloomberg: DXY) menjadi faktor yang paling mempengaruhi rupiah terutama dalam jangka panjang.

Namun sepanjang tahun ini nampak berbeda. Seperti terlihat melalui model, rupiah nampak diserbu oleh fenomena new normal dan berbagai kompleksitas yang menyertainya.

"Sebagai akibatnya, pemulihan rupiah tidak hanya tergantung pada kecakapan dan kecepatan pemerintah menempuh jalan keluar untuk jangka pendek dan panjang, tetapi juga pada perbaikan kondisi eksternal," ujar Budi Hikmat, melalui keterangan tertulis yang diterima, Rabu (5/9).

New normal sendiri mengacu kepada berakhirnya era suku bunga rendah sebagai akibat kebijakan moneter ultra longgar yang ditempuh bank-bank sentral di negara maju.

Mereka melonggarkan likuiditas tidak hanya dengan menurunkan suku bunga yang jauh lebih rendah dibanding inflasi, namun dengan menggelontorkan dana secara volume (quantitative easing).

Kebijakan moneter ini ditempuh sebagai upaya untuk mengatasi krisis keuangan global 2008. Aksi quantitative easing atau pelonggaran berdampak pada lonjakan total asset bank sentral. Relatif terhadap PDB, posisi angka total aset bank sentral sekitar 21% (The Fed), 23% (European Central Bank) dan 101% (Bank of Japan).

Ternyata likuiditas yang digelontorkan tidak semua langsung memacu sektor riil melalui penyaluran kredit. Sebagian besar malah kembali menginap di bank sentral sebagai excess reserve.

"Bayangkan saja perbankan menempatkan dana mereka di bank sentral yang melebihi posisi yang diatur berdasarkan ketentuan rasio giro wajib minimum," katanya.

Setelah mencapai angka tertinggi US$2,7 triliun, excess reserve di AS saat ini sekitar US$1,8 triliun atau sekitar 11,5% PDB.

Sebaliknya untuk ECB angkanya terus meningkat hingga 1,2 triliun euro (9,5% PDB). Kelebihan likuiditas ini diikuti oleh penurunan tajam velocity of money/ perputaran uang (rasio PDB nominal terhadap M2/tabungan & simpanan berjangka) yang menjadi kekuatan fundamental menekan yield obligasi negara.

"Yang kini terjadi tidak seperti ketika krisis keuangan Asia 1997 yang ditandai oleh kekeringan likuiditas. Sebaliknya likuiditas saat ini melimpah ruah. Hanya saja terjadi rotasi yang memaksa negara-negara yang membutuhkan pembiayaan current account deficit harus membayar lebih mahal," ulasnya.

Namun kini dengan laju inflasi di negara-negara tersebut umumnya sudah melewati paras dua persen, bank sentral terpanggil untuk segera mengetatkan likuiditas. Inflasi di Amerika Serikat sendiri mencapai 2,9% yang menyebabkan the Fed menjadi pemimpin  pengetatan likuiditas.

The Fed tidak hanya dengan menaikkan bunga sejak akhir 2015, tetapi juga dengan aksi quantitative tightening. Itu sebabnya, kita dapat cermati suku bunga internasional seperti LIBOR melonjak dari hanya 0,5% pada pertengahan 2014 menjadi 2,84% saat ini namun masih lebih rendah dibanding 5,3% pada tahun 2007.

Berkurangnya aliran dana asing yang dulunya murah inilah yang turut menekan rupiah dan memicu re-pricing surat berharga. Pada masa lalu, memacu pertumbuhan ekonomi nasional dengan mengalami defisit neraca berjalan sebesar 2,5% PDB bisa dianggap normal. 

Sebab defisit itu dapat dibiayai oleh aliran dana asing baik melalui bentuk portfolio investment dan penanaman modal asing (PMA) di sektor riil sehingga tanpa harus menguras cadangan devisa.

Pada tahun ini Indonesia kembali harus tersengat realita refinancing risk. Untuk pertama kali dalam 9 tahun, Indonesia sempat mengalami outflow dana asing pada surat utang negara. 

Untungnya, arus dana asing kembali masuk menuju surat utang negara seperti terlihat pada peraga sebagai berikut. Namun, terus terjadi outflow dana asing pada saham yang melebihi kumulatif outflow tahun lalu.

Untuk meredam pelemahan rupiah, Bank Indonesia telah melepas cadangan devisa yang sangat besar disamping menaikkan suku bunga acuan secara signifikan.

Kompleksitas yang menyertai new normal meliputi penguatan indeks dolar sejak pertengahan April 2018 menyusul indikator ekonomi bisnis yang mengecewakan di kawasan Uni Eropa.

"Sangat bisa jadi kawasan ini akhirnya terpukul oleh dampak penguatan euro yang sangat pesat selama tahun 2017," katanya.

Di samping penguatan dolar, dunia juga menyaksikan peningkatan harga minyak yang dinilai sebagai buah keberhasilan pemangkasan produksi oleh OPEC di samping penguatan ekonomi global.

Faktor kenaikan suku bunga, penguatan dolar dan kenaikan harga minyak ini memukul negara berkembang yang banyak berutang valas dan mengimpor bahan bakar minyak.

Sentimen terhadap negara berkembang saat ini cenderung memburuk seperti ditunjukkan oleh pelebaran angka credit default swap dan JP Morgan emerging market spread. Fenomena yang kemudian terjadi adalah rotasi investasi antaraset dan antarregional menuju negara maju. (OL-3)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya