Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Belajar Mendengar

H-3
28/5/2019 07:51
Belajar Mendengar
Ronal Surapradja(MI/ROMMY PUJIANTO)

PEKERJAAN paling nikmat ialah hobi yang dibayar. Hobi sekaligus bakat saya ialah bicara. Karenanya, menjadi penyiar radio ialah salah satu pekerjaan yang saya cintai. Hobi tersalurkan, uang didapatkan he he.

Akan tetapi, apa jadinya penyiar radio tanpa pendengar? Sehebat apa pun kita bicara dan semahir apa pun kita merangkai kata, jika tidak ada yang mendengarkan hasilnya percuma. Karenanya, sebelum menjadi pembicara yang baik, kita harus menjadi pendengar yang baik terlebih dahulu.

Kita diberi karunia oleh Tuhan satu mulut dan dua telinga, tujuannya agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Komunikasi bukan hanya soal menyampaikan, melainkan juga mendengar. Sebagian besar orang sudah S-3 dalam ilmu menyampaikan, tetapi masih banyak yang TK dalam mendengar.

Semakin modern zaman, semakin ramai manusia, semakin banyak orang kesepian. Untuk mengusir kesepian itu, kita mencari keramaian di luar. Kita melakukan banyak hal untuk jadi pusat perhatian. Tujuannya tentu saja supaya orang mendengar dan memperhatikan kita. Saking asyiknya kita belajar berkomunikasi kepada orang lain, kita jadi lupa belajar berkomunikasi dengan diri sendiri.

Saya teringat salah satu buku wajib ketika saja zaman mahasiswa, yakni Human Communication yang ditulis Tubbs & Moss. Di bab terakhirnya dibahas khusus mengenai 'belajar mendengarkan' atau istilahnya silent communication.

Belajar mendengarkan ialah bagian dari komunikasi karena komunikasi tidak melulu soal bicara. Belajarlah mendengarkan karena manusia juga memiliki kebutuhan dasar untuk didengarkan. Saking kuatnya hubungan dua hal itu, huruf pembentuk kata listen sama dengan kata silent. Pengin bisa listen, ya silent. Pengin bisa dengar, ya diam, he he.

Salah satu penyebab kegaduhan politik di negeri ini pun berasal dari kurangnya kemampuan untuk mendengar. Hasilnya yang kita lihat ialah aksi-aksi kelompok fanatik yang kerap menghalalkan segala cara untuk menumpas oposisinya, tanpa mau mengetahui lebih lanjut argumen orang-orang yang memiliki perspektif berbeda dan tanpa kehendak mengevaluasi keyakinannya.

Mendengarkan menjadi hal yang sulit dilakukan karena merasa lawan bicaranya kurang kredibel atau tak bisa dipercaya. Hal lain yang juga mendorong rendahnya intensi mendengarkan dengan baik ialah rasa takut dikritik pihak lain. Mengabaikan kata-kata orang ialah bentuk mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya justru menghambat perkembangan dirinya.

Bahkan, jika kita sudah mau mulai mendengar, masalah akan tetap ada jika kemampuan mendengar seseorang datang dengan pemikiran tertutup. Keyakinan bahwa hal yang benar tidak bersifat universal dan selalu ada sudut pandang lain yang mesti dihargai ialah modal utama untuk memiliki kemampuan ini. Boleh saja pada akhir perbincangan kedua belah pihak tetap tak bersepakat, tetapi niatan untuk menyerang atau mendoktrin lawan bicara dengan keyakinan pribadi pun sepatutnya tidak dibiarkan muncul.

Tonton saja acara debat di TV atau perang statement para petinggi negeri ini di media massa atau di media sosial. Semua ingin bicara, semua ingin didengar karena semua merasa paling benar.

Sesungguhnya kita tidak belajar dari berbicara, tapi kita akan belajar dari mendengarkan. Pada saat kita bicara, kita hanya akan mengulang hal yang sudah kita tahu. Namun dengan mendengar, kita akan belajar hal yang baru. Andai bangsa ini lebih banyak mendengar daripada bicara, saya yakin betapa hebatnya bangsa ini. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya