BUNYI tambur terdengar ditabuh berulang-ulang dari Kampung Tarung. Sejumlah pengendara sepeda motor yang melintas di jalan memperlambat laju kendaraan. Mereka menoleh ke arah kampung yang terletak di tengah Kota Waikabubak, Kecamatan Loli, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. "Bunyi tambur itu tanda dimulainya ritual wulla poddu yang akan berlangsung selama satu bulan," ungkap Dima Nono, 58, tokoh adat setempat. Dalam bahasa Sumba, wulla diartikan sebagai bulan dan poddu berarti pahit, sehingga secara harfi ah wulla poddu merupakan bulan pahit atau bulan suci. Berbagai ritual digelar selama satu bulan penuh, yakni begitu bulan baru terlihat di langit. Biasanya dimulai pertengahan Oktober dan baru berakhir pada November untuk memuja roh leluhur dan sebagai rasa syukur terhadap hasil pertanian yang melimpah.
Wulla poddu merupakan upacara yang hanya digelar suku (kabisu) Lotalaya Lotalara, satu dari tujuh suku penghuni pertama Pulau Sumba. Enam suku telah menggelar ritual secara bersamaan mulai Januari hingga Oktober, yakni Tarsau Loloiau, Wano Kalada, Wola, Tanabi, Natarwatu, dan Sili Taku Bungu Logi Kasih Ina Paji Wula Taru. "Ritual di November itu miliknya Lotalaya Lotalara," ujarnya. Selain itu, tambur yang ditabuh sekaligus membawa pesan kepada anggota suku tetap menaati larangan yang berlaku agar terhindar dari malapetaka. Larangan tersebut, antara lain, tidak menggelar pesta di rumah, tidak meratapi anggota keluarga yang meninggal, dan tidak menguburkan jenazah.
Jika jenazah terpaksa dikuburkan, tidak boleh diberangkatkan melalui pintu depan rumah, dan tidak boleh diketahui orang. Larangan lain seperti tidak boleh membunyikan alat musik, berteriak di malam hari, membangun rumah, dan anak perempuan dilarang berpacaran. Adapun Kampung Tarung terletak di Waikabubak, ibu kota Sumba Barat, Sekeliling kampung terdapat pohon menjulang tinggi yang mengelilingi 38 rumah adat Sumba yang mewakili seluruh suku. Bagian tengah dijadikan lokasi upacara. Karena Tarung masuk wilayah Kecamatan Loli sehingga tidak jarang mereka diberi sebutan 'orang Loli'. Rumah adat dijaga perwakilan tujuh suku yang bertugas menjaga peralatan upacara dan peralatan sakral lainnya. "Setiap rumah adat dijaga petugas yang berasal dari suku," kata Domi.
Namun, Tarung bukan satu-satunya di wi layah itu. Masih ada kampung lainnya di wilayah itu yang menggelar wulla poddu seperti Kampung Gollu, Bodomaroto, Wae Bongga, dan kampung induk Tabela. Masa penyucian diri Dima mengatakan di rumah adat Tabela tersimpan barang-barang sakral yang baru diambil untuk kebutuhan upacara pada puncak wulla poddu. Barang-barang tersebut diambil setelah ritual menyucikan diri dari pemuda anggota suku berakhir. Ritual itu dimulai dari para pemuda berusia 17 tahun dikumpulkan di rumah adat untuk selanjutnya disunat. "Jika pemuda yang akan disunat gelisah atau ketika disunat ia pingsan, itu pertanda belum siap," kata pengamat budaya Sumba Deni Kadiwano. Mereka yang disunat akan pergi meninggalkan rumah untuk mengasingkan diri di gua yang sudah ditentukan di hutan selama tiga hari.
Di sana, pemuda-pemuda tersebut diwajibkan berburu binatang yang akan disembelih pada puncak ritual wollu poddu. Selama masa berburu, mereka diperbolehkan menangkap ternak milik warga. Menurut Deni, pemuda yang menjalani masa penyucian tersebut diberi kebebasan mengambil ternak warga. Pemilik ternak pantang melarang. Karena itu, selama ritual warga menyembunyikan ternak piaraan me reka agar tidak diambil. Adapun ternak hasil perburuan itu yang dibawa pulang setelah masa penyucian berakhir. Kepulangan mereka bersamaan dengan para tokoh adat kembali dari kampung induk. Mereka pulang membawa barang-barang pusaka yang akan digunakan pada ritual pamungkas seperti pedang antik, tombak, manik-manik, kain, dan sa rung. Tak lupa membawa benih padi, ja gung, dan umbi-umbian untuk didoakan