Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Anak Penjahit yang Jadi Rektor

Rifaldi Putra Irianto
13/10/2024 05:30
Anak Penjahit yang Jadi Rektor
Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia Asep Saefuddin.(MI/AGUNG WIBOWO)

SIAPA sangka Asep Saefuddin yang kini menjabat Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia memiliki kisah masa kecil yang unik. Pria asal Garut, Jawa Barat, itu tidak terlahir dari keluarga pendidik. Bapak dan ibunya wirausaha.

Dalam program Kick Andy episode Kompas Kehidupan yang tayang pada Minggu (13/10) di Metro TV, Asep menuturkan bapaknya tidak mencicipi dunia pendidikan formal, sementara sang ibu hanya dua tahun merasakan sekolah. Pada masa itu bapak Asep merupakan salah satu pejuang yang turut memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah.

“Bapak itu entrepreneur, ibu juga entrepreneur. Bapak itu menjahit kemudian Ibu yang menjajakan hasil jahitan Bapak ke seluruh pasar di Kabupaten Garut. Jadi, mereka ini penjahit baju untuk anak-anak sama orang dewasa dan Bapak itu memang senang menjahit,” tutur Asep.

Baca juga : Jatuh Bangun Membangun Bisnis di Usia Muda

Bapaknya hanya memiliki satu kaki akibat ulah penjajah. Hebatnya, hal itu tak membuatnya menyerah. Kecintaan menjahit membuatnya belajar menjahit menggunakan tangan di Kota Surakarta (Solo).

“Tahun 1949 ketika agresi Belanda kedua itu datang, bapak saya itu termasuk pejuang dan dia ditembak sama Belanda, kena kakinya. Akhirnya kaki bapak saya itu dipotong yang kanan dan sisa kaki kiri sehingga beliau ke Solo untuk belajar menjahit dengan tangan. Jadi, dulu itu ada mesin jahit yang pakai tangan,” terang Asep.

Meski ia terlahir bukan dari keluarga yang memiliki pendidikan tinggi, orangtuanya selalu mendukung anak untuk memiliki pendidikan tinggi. Asep mengenang, saat kecil ia takut ke sekolah tanpa alasan yang pasti. Akhirnya, ia ditakut-takuti akan buta huruf bila tidak bersekolah.

Baca juga : Drama Kudeta di Kadin

Untuk menghadapi rasa takutnya terhadap buta huruf, Asep kecil memilih belajar sendiri dibantu kakak sampai mampu membaca koran, padahal belum masuk sekolah. Asep kembali takut untuk masuk SD negeri di Garut. Keluarga Asep berhasil membujuknya untuk sekolah. Syaratnya setiap kali sekolah diantar nenek. Nenek pun harus ikut masuk kelas.

“Keluarga kami ini sepuluh bersaudara, lima laki-laki dan lima perempuan. Meski Bapak dan Ibu tidak sekolah, mereka tetap mendorong anak-anak sekolah. Karena hal itu, sekarang kelima anak laki-lakinya itu semuanya profesor, kalau yang perempuan, ada yang jadi pengusaha,” tutur Asep.

 

Baca juga : Terus Melaju Menggapai Mimpi

Mengabdi pada universitas

Sejak SD sampai lulus S-3, Asep memang berkeinginan mengabdikan diri untuk universitas. Sejauh ini Asep pernah menjabat rektor di Universitas Trilogi (2013-2017). Universitas Trilogi merupakan pengembangan dari STEKPI (Sekolah Tinggi Ekonomi, Keuangan, dan Perbankan Indonesia). STEKPI berdiri pada 1988 dan merupakan sekolah tinggi yang sangat kuat untuk bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan.

Sehabis masa jabatan di Universitas Trilogi, Asep diamanahi menjadi rektor masa jabatan 2017-2021 di Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI). Lalu ia melanjutkan amanah sebagai Rektor UAI untuk periode kedua (2021-2025).

Baca juga : Keterbatasan Ekonomi bukan Hambatan untuk Sekolah Tinggi

“Kebetulan saya itu sudah tertarik jadi pengajar sejak SMP. Kebetulan waktu SMP kelas 2 itu ada pelajaran ilmu ukur dan saya senang ketika guru ilmu ukurnya tidak hadir, saya diminta menjadi asisten, menggantikannya mengajar. Teman-teman sekelas pada senang kalau diajar sama saya,” ucapnya.

Asep mengaku menaruh impiannya pada Kampus IPB untuk pendidikan tingginya. Ia pun menjadi salah satu mahasiswa IPB angkatan ke-13. Perjalanan perkuliahan Asep tidak mudah. Ia bahkan sempat dipenjara karena menjadi salah satu mahasiswa yang terlibat penyebaran buku putih yang isinya kisah gurita bisnis Presiden Soeharto.

Setelah Asep menyelesaikan S-1, keinginan untuk menjadi dosen semakin kuat. Ia pun mendapat rekomendasi untuk melamar di Fakultas Peternakan IPB untuk menjadi asisten genetika. Sebelum akhirnya menjadi dosen di Fakultas Peternakan, Asep juga sempat menjadi tim pengajar matematika tingkat persiapan bersama IPB.

Setelah merasakan menjadi pengajar, ia pun sadar dengan pentingnya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yakni S-2 dan S-3. Pada 1989 Asep mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S-2 melalui program PAU dengan dana Bank Dunia dan CIDA (Canadian Internasional Development Agency). Asep pun mengambil gelar S-2 dan S-3 di University of Guelph, Ontario, Kanada.

Seselesai S-3, Asep kembali ke Tanah Air, tepatnya pada 1996. Ia pun kembali ke Kampus IPB dan berkontribusi untuk melakukan riset di almamater IPB. Pada 2000 Asep menjadi ketua jurusan statistika dan wakil rektor IV sebelum akhirnya menjadi Rektor Universitas Trilogi dan berlanjut ke UAI.

“Salah satu orang yang berpengaruh untuk karier saya adalah Prof Andi Hakim Nasution. Beliau adalah guru besar statistika pertama di Indonesia di IPB. Ketika beliau jadi rektor (IPB), saya lulus, saya ingat ketika dia tanya, ‘Asep, sudah lulus kamu mau kerja di mana kamu nanti?’ saya bilang, di mana pun saya bekerja, yang penting saya jadi dosen. Dia balas ‘Kalau gitu, di IPB saja (jadi dosen)’. Akhirnya saya jadi dosen IPB,” ungkapnya.

Asep mengaku beruntung telah menemukan passion lentera jiwanya sebagai seorang pengajar sejak dini sehingga dia sudah tau arah masa depannya. Sekaligus ia merasa beruntung karena dikelilingi orang–orang yang mendukung mimpinya. (Rif/M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik