Minum Jamu, Enak dan Menjaga Tradisi

Pengantar: Pada 24 – 27 Juli 2023, Media Indonesia bekerja sama dengan Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Nonformal (Dikdasmen PNF) PP Muhammadiyah menggelar pelatihan Reporter Cilik (Repcil). Sebanyak 26 siswa tingkat SD dan 37 siswa tingkat SMP mengikuti program ini. Setelah pelatihan, para siswa membuat berita hasil liputan masing-masing. Berikut karya tulis yang terpilih sebagai peringkat 10 besar tingkat SD:

 

KABUPATEN Sukoharjo, Jawa Tengah, tempatku tinggal dikenal dengan julukan Kota Jamu. Banyak warga di sini yang memang berprofesi sebagai penjual jamu secara turun-temurun, dari nenek hingga ke anak-cucu.

 

Penjual jamu tradisional biasanya berjualan pada pagi dan sore hari. Pada pagi hari mulai pukul 06.00 – 10.00 WIB sedang untuk sore hari mulai pukul 15.00 – 17.30 WIB.

 

Mereka berjualan di berbagai tempat seperti di pasar, di depan pabrik bahkan ada juga yang berkeliling. Penjual yang berkeliling biasanya memiliki pelanggan, seperti ibu menyusui atau orang yang minum jamu untuk menjaga kesehatan.

 

Di desaku juga banyak sekali warga yang merantau menjadi penjual jamu di berbagai kota. Saat akan kembali ke perantauan, merea akan membawa jamu untuk dipasarkan.

 

Pada Sabtu (29/7) aku mewawancarai beberapa orang terkait jamu. Aku bertanya kepada Ibu Pariyem, seorang penjual jamu, soal proses pembuatan jamu tradisional.

 

Ia mengatakan jika tahapan membuat berbagai jamu hampir sama, yakni dimulai dari menyiapkan bahan, mengupas bahan, memarut, dan kemudian merebusnya hingga mendidih.

 

“Kalau jamu kunir asem, pertama kupas kunyit kemudian cuci hingga bersih. Kedua, parut kunyit terebut dengan di tambah sedikit air dan di peras parutan kunyit tersebut hingga benar-benar habis. Ketiga, rebus hingga mendidih air perasan kunyit dengan ditambahkan gula dan asam jawa. Terakhir, setelah jamu mendidih, angkat dari kompor tunggu hingga dingin kemudian saring ke dalam botol,” katanya.

 

Botol yang digunakan untuk tempat jamu pun sangat unik. Bisanya para penjual jamu menggunakan botol kaca yang juga biasa untuk tempat bensin eceran.

 

Botol itu disebut menjadi ciri khas penjual jamu tradisional di kota Sukoharjo. Apalagi jika penjual jamunya membawa bakul dan digendong di belakang punggung yang dikenal dengan sebutan jamu gendong. Namun, sekarang ini sudah banyak penjual jamu yang beralih menggunakan sepeda onthel atau sepeda motor.

 

Harga jamu di Sukoharjo tidak tergolong mahal. Jamu dengan ukuran plastik kecil dihargai Rp3000 sedangkan jamu dengan botol plastik 500ml dihargai sekitar Rp10.000.

 

Ibu Pariyem juga mengatakan jika jamu banyak mengandung zat besi. Kebiasaan meminum jamu bukan hanya membuat badan sehat tetapi juga melestarikan budaya.

 

Saya juga mewawancara beberapa anak yang gemar minum jamu, salah satunya adalah Tsabita. “Jamu yang dijual disini beraneka ragam. Mulai dari jamu kunir asem, beras kencur, jamu temulawak, jamu daun papaya dan masih banyak lagi,” Kata Tsabita yang bersekolah di MI Muhammadiyah 1 PK Sukoharjo.

 

Tsabita juga mengatakan bahwa ia senang minum jamu beras kencur, karena rasanya yang manis apalagi di minum ketika masih hangat. Jadi membuat imun semakin baik. “Aku biasanya membeli jamu beras kencur ketika berangkat ke sekolah dan melewati penjual jamu sekitar pukul 07.30 WIB,” katanya.

 

Selain Tsabita ada juga kak Vio seorang pelajar di MI Muhammadiyah 1 PK Sukoharjo yang setiap hari berlangganan jamu. “Saya setiap hari minum jamu kunir asem di mix dengan anggur, jadi rasanya agak semriwing,” ucap kak Vio ambil menunjukkan jamu yang akan diminum. (M-1)