INDUSTRI kosmetik dunia berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai orang yang menjaga kesehatan kulit dengan berbagai produk kecantikan, sudah seharusnya kita mulai menyadari produk-produk tersebut berkaitan erat dengan perubahan iklim.
Data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) tahun 2018 menyebutkan, setiap tahun Indonesia hasilkan sekitar 64 juta ton sampah plastik non-recyclable. Namun, hanya sedikit dari sampah tersebut yang dikelola dengan baik. Belum lagi bahaya dari bahan-bahan kimia sintesis yang dapat mencemari lingkungan.
Data tersebut menunjukkan salah satu kontributor terbesar sampah plastik adalah kemasan produk kosmetik, baik produk tata rias (makeup) ataupun produk perawatan kulit (skincare).
Co-Founder dan Chief Product Officer (CPO) Base Skincare, Ratih Permata Sari, menjelaskan sebagai produk perawatan kulit dan kesehatan yang berbasis vegan and clean beauty, Base mempunyai komitmen dalam menyuarakan pentingnya produk green skincare.
Base tak hanya sekadar menawarkan produk, melainkan juga mengedukasi konsumen untuk kritis dalam merespons pentingnya kesehatan kulit. Namun, tak menafikan isu lingkungan yang berkelanjutan dan perubahan iklim yang semakin mengancam kehidupan bumi.
“Ketika bicara tentang kebijakan iklim, akan selalu berhubungan dengan ekonomi atau uang. Misalnya kenapa pemerintah masih konsisten dengan batu bara yang merusak lingkungan? Karena itu menghasilkan. Kalau kita ingin membuat perubahan dari sisi regulasi, memang pada akhirnya kita harus membuat isu sustain ini menjadi bisnis yang menghasilkan,” ucap Ratih.
Ratih yang pernah menjalankan study exchange ke Korea Selatan pada 2019 melihat kekuatan dan besarnya jumlah green consumers dalam industri kecantikan mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk turut peduli pada isu krisis iklim. Dia berharap kekuatan konsumen tersebut juga bisa tercipta di Indonesia.
"Berkaca dari Korea Selatan, jika konsumen sudah sadar, kita bisa mendesak perusahaan dan berbagai supplier serta pabrik untuk menerapkan operasional yang lebih sustain dengan energi terbarukan. Pada akhirnya kekuatan konsumen bisa memaksa berbagai pihak untuk ikut peduli dengan isu lingkungan,” tuturnya.
Ratih menjelaskan proses produksi dan konsumsi produk kecantikan yang tidak menerapkan prinsip sustainability, dapat menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Semakin tinggi gas karbon yang diemisikan, semakin tinggi pula konsentrasi gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer. Hal itu akan berdampak signifikan pada perubahan iklim.
Baca juga: Tren Sustainable Beauty untuk Perlambat Kerusakan Lingkungan
“Perubahan itu bisa datang secara signifikan dari permintaan konsumen, jadi sekarang bagaimana caranya agar konsumen sadar mau beralih menggunakan produk ramah lingkungan, supaya kita punya hak speak up yang kuat untuk meminta perusahaan-perusahaan penghasil produk kecantikan membuat produknya lebih ramah lingkungan,” ungkapnya..
“Ketika perusahaan sudah mengikuti kemauan konsumen, ini akan menjadi perhatian bagi pemerintah dan bisa menghasilkan policy yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan energi terbarukan,” imbuhnya.
Ratih mencontohkan kesadaran konsumen dan tingginya permintaan produk sustain pada akhirnya mampu menuntut pihak manajemen pabrik yang masih menggunakan energi listrik untuk beralih pada sistem hybrid energi yang lebih ramah lingkungan.
"Kita dulu kerja sama dengan pabrik yang masih menggunakan energi listrik, pada akhirnya ketika ada permintaan produk sustain yang sangat tinggi dari konsumen, kita mengimbau pabrik dan para supplier untuk mengganti sistem menjadi lebih ramah lingkungan dan memperhatikan isu lingkungan," tukasnya.(M-4)