Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
MENJADI penyandang disabilitas bukanlah halangan untuk berprestasi. Hal itu pula yang ditunjukkan Rayhan Naufaldi Hidayat. Meski menyandang ketunanetraan sejak kelas 6 SD, ia tetap mampu berprestasi hingga lulus summa cum laude dari Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rayhan meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,94 dan dinobatkan sebagai wisudawan terbaik tingkat program studi Ilmu Hukum. Bersama temannya, Rayhan juga sudah menghasilkan karya tulis ilmiah yang terbit di jurnal bereputasi dan terakreditasi Sinta (Science and Technology Index).
Ketika hadir sebagai bintang tamu Kick Andy bertajuk Sukses Menggapai Mimpi, yang tayang malam ini di Metro TV, Rayhan bercerita bahwa ia dilahirkan normal. Namun, saat sibuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional di kelas 6 SD, ia terserang oleh penyakit tifus dan guillain-barre syndrome (GBS). Penyakit langka tersebut mengganggu sistem imun dan menyerang beberapa bagian sarafnya, seperti pengecap, pendengaran, penciuman, hingga penglihatan, semuanya menurun drastis.
Saat masih dirawat di rumah sakit, saraf penglihatannya mendadak mengecil sehingga ia mengalami kebutaan total. Meski ditawari orangtuanya untuk istirahat sekolah sementara, Rayhan menolak. Meski masih kecil, ia telah memiliki mental baja dan memilih beradaptasi.
Rayhan yang kelahiran Surabaya dan besar di Tangerang Selatan belajar huruf Braille di Yayasan Mitra Netra. Rayhan juga menggunakan teknologi dan bantuan teman serta gurunya sehingga tetap dapat lancar belajar di sekolah umum.
Rayhan melanjutkan pendidikan ke madrasah sanawiah (MTs) dan madrasah aliah (MA) di Madrasah Pembangunan (MP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. "Kita harus memanfaakan semua yang kita punya. Teknologi berkembang pesat dengan segala macam fiturnya dan lingkungan sosial yang adaptif, itu harus kita kerahkan semua," ungkap pemuda yang kini berusia 22 tahun itu.
Selama ia menjalani pendidikan di sekolah umum, ia mengaku tidak pernah mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari lingkungan. "Alhamdulillah, enggak ada (diskriminasi). Jadi, memang lingkungan pendidikan kita sudah terus-menerus progres menuju pendidikan inklusi," ujar anak kedua dari dua bersaudara itu.
Rayhan menuturkan, ia dan orangtuanya juga berdiskusi tentang sistem belajar dan metode yang tepat saat memasuki perkuliahan. Kendati harus mempelajari banyak buku hukum tata negara yang tidak jarang tebal, ia mengaku tidak terbebani dalam menekuni pelajaran karena menyenangi ilmunya. Ia bercerita, sepulang kuliah, ia mendalami lagi materi yang diajarkan dosen dan menulisnya.
Tantangan yang dirasakan Rayhan saat berkuliah terkait dengan pada literatur. Buku digital ilmu hukum jauh lebih sulit ditemukan ketimbang buku teks sekolah. Untuk melengkapi keterbatasan sumber belajar, ia harus minta tolong dibacakan teman atau kakak kelasnya. Di kampus, ia mengaku bersyukur terbantu dengan lingkungan yang kondusif bagi penyandang disabilitas di UIN Jakarta.
Rayhan yang kini berstatus mahasiswa S-2 hukum kenegaraan Universitas Indonesia itu mengakui peran orangtua sangat besar dalam kesuksesannya. Orangtua yang sabar dan bersikap positif membuatnya mampu percaya diri dan teguh dalam menghadapi segala keterbatasan.
Rayhan pun berpesan kepada generasi muda lainnya untuk tidak mudah berputus asa dan tetap menjaga harapan dan semangat. "Jagalah harapan dan semangat karena di situlah kita memulai mimpi besar kita," pungkasnya. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved