Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
Amarta, negeri baru yang dulunya daerah antah-berantah dan kerap disebut ‘tempat jin buang anak’ sebelum Pandawa membangunnya jadi negara adidaya, mendadak kacau balau. Situasi jadi tidak aman, perekonomian tak stabil. Harga minyak sayur naik, tahu-tempe naik, berita hoaks disuka, dan jadi santapan hari-hari masyarakat. Cekcok antarkampung, dan kejahatan terjadi di mana-mana. Kacau pokoknya…!
Semua ini gegara Mustika Layang Jamus Kalimusada ‘Pancasila’, lambang negara Amarta, hilang dicuri Jarasanda, raja teror dari Magada. Uniknya, para petinggi negeri, Dewan Rakyat dan Majelis Tinggi Negara, seperti tak tak peduli ancaman bahaya itu. Astrajingga pun menggugat. Aksi tanpa kekerasan yang mulanya disikapi banyak petinggi hanya sekadar usaha ‘cari panggung’ sosok jelata.
Astragingga memang bukan siapa-siapa. Ia adalah Cepot, putra sulung Ki Lurah Semar Badranaya. Abangnya ialah Dawala atau Udel, dan si bungsu Gareng. Dalam tradisi wayang Jawa (Tengah, Timur) dan Yogyakarta, urutan persaudaraan anak-anak Semar ini terbalik. Bagong (Cepot/Astrajingga) justru bungsu, yang berabang Petruk dan si sulung Gareng,
Itulah pertunjukan wayang golek Astrajingga Gugat oleh dalang Ruben Lesmana dari Paguyuban Budaya Sunda – Sekar Darma Pusaka (PBS-SDP) yang digelar pada 26 Februari 2022 di Kampung Pasir Eurih, Desa Cinangka, Ciampea, Bogor. Dalang berusia 24 tahun itu memainkan lakon carangan wayang purwa Mahabharata dengan apik, menghibur, mengapresiasi penonton ihwal sebentuk teater tradisi lisan Sunda.
Dalang Ruben laris ditanggap. Seminggu sebelumnya, misalnya, dia dan PBS-SDP tampil dalam satu paket pertunjukan di Gang Palem, Desa Cibeureum, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Paket pertunjukan? Ya, PBS-SDP tak cuma siap mempertunjukkan seni wayang golek, tapi juga paket-paket pertunjukan seni lainnya, bahkan siap jadi event organizer atau pelaksana ritual adat Sunda.
“Zaman sekarang, tontonan seni tradisi susah buat berdiri sendiri. Kudu bergabung satu sama lain, menjadi paket komplet, atau satuan-satuan yang bisa dipilih calon penanggap sebagai hiburan dari hajat seni yang digelarnya,” kata Ruben yang saat di Pasir Eurih juga diorder mempertunjukkan gendang pencak dan tari Jaipong di pagi dan sore harinya sebelum dipungkas pertunjukan wayang golek semalam suntuk.
Ruben adalah putra kedua (dari tiga bersaudara, laki-laki) Yaya dan Lina. Yaya adalah guru kendang dan Lina seorang pesinden, juru kawih dan dukun pengantin, sekaligus pimpinan PBS-SDP yang merupakan warisan kakek Lina. “Baheula namanya Darma Pusaka. Buyut, pendiri, dikenal sebagai Abah Saip bin Inan,” cerita Ruben ihwal cikal-bakal PBS-SDP yang dibangun buyutnya dari pihak ibu.
Sepeninggal sang buyut, anak-cucu meneruskan kiprah Darma Pusaka sebelum kemudian mati suri karena berbagai sebab. Para anggota Darma Pusaka, yang rata-rata masih terikat dalam mata rantai keluarga besar, hidup berkesenian dengan kemampuan masing-masing. Lina, misalnya, selain sebagai sinden ‘cabutan’ dalam berbagai pertunjukan wayang golek, juga guru kawih dan dukun pengantin.
Pada 2011 paguyuban seni Darma Pusaka kembali dibangun Lina (dan Yaya) dengan nama PBS-SDP. Berbagai potensi berkesenian di antara keluarga besar dihimpun lagi. Pertunjukan gendang pencak, pentas tari Jaipong, dan sebagai pelaksana ragam upacara adat merupakan bentuk-bentuk tradisi lisan Sunda yang siap ditampilkan. PBS-SDP kian klop oleh hadirnya Ruben dan kedua saudaranya. Mereka tumbuh di tengah aktivitas berkesenian yang dilakoni ibu dan ayahnya, baik sebelum maupun sesudah lahir PBS-SDP. Bukan sekadar saat segenap anggota grup berlatih di Cikalancing, kampung mereka di Desa Cinangneng, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mereka juga ikut serta saat PBS-SDP ditanggap berbagai pihak di berbagai tempat.
Sejak kecil
Berlatih silat dan mempertunjukkannya sebagai seni gendang pencak, menabuh gendang, tampil sebagai bagian dari nayaga orkestra gamelan, mengiringi sang ibu melantunkan tembang dan kawih, mengiringi para sepupunya menari tradisi, serta membangun dan melatih kelompok pesilat adalah bagian dari aktivitas keseharian Ruben dan saudara-saudaranya.
PBS-SDP juga kerap diikutsertakan dalam pertunjukan wayang golek oleh dalang-dalang terkenal di Bogor. Tak mengherankan bila sejak kecil Ruben tertarik pada kiprah panggung para dalang. Selulus SMA, kedua orangtuanya mendukung Ruben belajar mendalang ke Abah Ujang (almarhum) di Kampung Maja, Kabupaten Lebak, Banten. Sohorlah Ruben Lesmana sebagai dalang wayang golek dari Cikalancing.
Apakah ini merupakan garis hidup? Entahlah. Yang pasti bagi Ruben, PBS-SDP bukan sekadar warisan leluhur yang tetap layak diteruskan, tapi sekaligus juga wadah berkumpul dan belajar bagi para sedulur dan tetangga, peminat bentuk-bentuk tradisi lisan Sunda yang banyak mengandung nilai-nilai untuk tetap dilestarikan dan dilakoni, dipertunjukkan, dan diapresiasikan kepada masyarakat luas.
Di tengah gempuran modernisasi dan maraknya bentuk-bentuk seni media baru, kelompok-kelompok seni tradisi memang kian tersudut. Sebagian besar kembang kempis, hidup enggan mati tak mau. Namun, upaya menghidupkan tradisi memang tak boleh berhenti. Masyarakat dan pemerintah bisa ambil bagian sebagai maesenas, menanggap (syukur-syukur rutin), sehingga kelompok seperti PBS-SDP tetap hidup. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved