Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
ANAK-ANAK berambut gimbal masih banyak dijumpai di Dataran Tinggi Dieng. Menurut Mbah Sumanto, pemangku adat Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarngera, anak berambut gimbal atau ‘bocah gembel/gimbal’ dapat ditemui di lereng Gunung Prau, Gunung Sindoro, Gunung Slamet, dan desa-desa di sekitar Dieng. Masyarakat Dieng memercayai para bocah itu ialah keturunan Kiai Kolodete yang dititipkan kepada mereka. Sang kiai pun berambut gimbal dan untuk memberikan markah bagi keturunannya, ia menitiskan rambut gimbal kepada anak-anak di Dieng.
Kiai Kolodete dipercaya sebagai penjaga Dieng yang hingga kini masih momong atau mengasuh bocah gimbal. Kiai Kolodete juga dipercaya sebagai salah satu dari tiga kiai yang mbubag atau membuka permukiman di Dieng dan Kabupaten Wonosobo, selain Kiai Karim dan Kiai Walik.
Menurut cerita tutur yang juga termuat dalam Serat Babad Kedhu, Kiai Kolodete berasal dari Kerajaan Mataram Islam yang mengemban tugas menyebarkan agama Islam di wilayah Wonosobo, seperti ditulis N Mubin dalam Islam Bumi Kahyangan Dieng: Potret Akulturasi Kebudayaan Islam, Hindu, dan Kerajaan Lokal Masyarakat Dataran Tinggi Dieng (2010).
Menurut catatan Kantor Arsip Kabupaten Wonosobo (2014), terdapat dua versi cerita tentang keberadaan bocah gimbal di Dieng. Pertama, Kiai Kolodete memiliki rambut gimbal yang ia titiskan kepada keturunannya, yaitu masyarkat Dieng. Kedua, Nyai Roro Kidul terganggu dengan rambut manusia yang rontok dan hanyut menuju Laut Selatan sehingga memerintahkan para abdinya untuk memungut rambut-rambut itu dan menitipkannya kepada anak-anak di daerah pegunungan. Rambut gimbal akan diambil kembali oleh Nyai Roro Kidul apabila orang tua bocah tersebut memenuhi permintaan yang ia sampaikan melalui sang anak. Versi kedua ini berkembang di wilayah Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo.
Cerita tutur yang berkembang di Desa Dieng Kulon menyebutkan, Ni Dewi Roro Ronce yang merupakan salah satu putri penguasa Laut Selatan menitipkan rambut gembel kepada anak-anak di Dieng. Kiai Kolodete bertugas merawat bocah gembel. Oleh karena itu, ruwatan cukur rambut gimbal diadakan untuk mengembalikan rambut tersebut kepada pemiliknya, yaitu Ni Dewi Roro Ronce, dengan cara melarungkan rambut gimbal ke sungai yang menuju Laut Selatan.
Rambut gimbal yang dimiliki sebagian para bocah di Dieng itu tidak tumbuh sejak lahir atau muncul dengan tiba-tiba. Rambut gimbal itu tumbuh melalui proses sakit yang panjang dan terus-menerus. Umumnya, rambut itu tumbuh sejak sang anak melaksanakan cukuran rambut pertama atau bertepatan dengan 40 hari sejak ia lahir dan akan terus tumbuh sampai ia berumur tiga tahun.
Menurut Mbah Sumanto, panas tinggi dan kejang-kejang menjadi gejala umum dari awal pertumbuhan rambut gimbal. “Secara turun-temurun, rambut itu tumbuh sejak kecil. Umur satu tahun, dua tahun, pasti sakit-sakitan. Kejang-kejang. Panas. Kalau dibawa ke rumah sakit, ya, penyakit tidak ada. Tidak sembuh. Nanti tiba-tiba muncul rambut gimbal dan sakitnya sembuh. Aneh. Kalau gimbalnya dipotong, ya nanti tumbuh lagi,” kata Mbah Suminto.
Ruwatan cukur
Masyarakat Jawa lekat dengan tradisi ngruwat atau meruwat. Tradisi itu berkaitan dengan kosmologi Jawa. Dalam kosmologi Jawa, tiap perpindahan dianggap berbahaya sehingga ruwatan atau ngruwat diperlukan untuk melindungi seseorang dari bahaya itu (Kleden-M Probonegoro dalam Ritus Ruwat: Esensialisme Baru dalam Politik Kebudayaan Indonesia. Masyarakat dan Budaya, 2008).
Ruwat sama artinya dengan luwar yang bermakna ‘lepas’ sehingga diruwat dapat diartikan dengan ‘dilepaskan’ atau ‘dibebaskan’. Untuk itu, ruwatan, menurut Koentjaraningrat dalam Ritus Peralihan di Indonesia (1993), dimaknai sebagai pelepasan atau pembebasan dari kutukan yang menimbulkan memala ‘malapetaka’.
Hingga kini, masyarakat Jawa masih melaksanakan ruwatan, baik sukerta maupun sengkala. Ruwatan sukerta digelar untuk meruwat golongan sukerta agar terhindar dari bala yang dilambangkan dengan Batara Kala. Wayang lakon Murwakala atau Sudamala perlu dipentaskan untuk menggenapi ritual itu. Adapun ruwatan sengkala ditujukan membebaskan seseorang yang ditengarai kerap tertimpa kesengsaraan. Di sekitar Gunung Sindoro-Sumbing dan Dataran Tinggi Dieng, ruwatan mewujud dalam bentuk cukur rambut gimbal. Pelaksanaan ruwatan cukur rambut gimbal ditujukan untuk menghilangkan suker atau kesulitan pada bocah gembel di Dieng.
Waktu pelaksanaan ruwatan disesuaikan dengan permintaan bocah gembel. Saat mereka sudah meminta diruwat, orangtuanya menyediakan satu hari baik yang dipilih berdasarkan weton sang anak. Adapun tempat pelaksanaan ruwatan, umumnya dilaksanakan di rumah bocah tersebut dengan mengadakan selamatan. Penyaji ruwatan cukur rambut gimbal terdiri atas anak yang bersangkutan, orangtua, sesepuh desa, pengidung, pembawa perlengkapan pergelaran, pembawa sesajen, dan kelompok-kelompok kesenian tradisional. Bocah gembel menjadi pusat dari ruwatan cukur rambut gimbal.
Perlengkapan ruwatan cukur rambut gimbal ini meliputi kostum, perlengkapan pergelaran, dan sesajen. Saat ruwatan, bocah gembel mengenakan baju putih dan celana berupa jarik/kain. Adapun penyaji pergelaran lain mengenakan beskap dan jarik untuk laki-laki serta kebaya dan jarik untuk perempuan. Perlengkapan pergelaran meliputi tungku, cemeti, payung robyong, kendi, gunting, beras kapuratan. Sesajen terdiri atas sesajen untuk cukur rambut gimbal, sesajen untuk ngalab berkah, dan sesajen untuk larung rambut gimbal.
Interaksi antara penyaji dan penonton pergelaran dalam ruwatan cukur rambut gimbal tidak terlalu intens. Akan tetapi, penonton dapat menyaksikan seluruh prosesnya, mulai tapak tilas hingga larung rambut gimbal. Penonton dapat turut berdoa dan memberi uang jajan kepada bocah tersebut.
Potensi wisata
Pelaksanaan ruwatan cukur rambut gimbal secara massal merupakan bagian dari rekonsiliasi krisis lingkungan di kawasan hutan lindung Dieng (deforestasi dan alih fungsi lahan menjadi lahan garapan) yang mayoritas dilakukan para petani kentang. Aparat di 17 desa di kawasan Dieng, yaitu Desa Bakal, Desa Dieng Kulon, Desa Karangtengah, Desa Sikunang, dan Desa Surenan dari Kabupaten Banjarnegara, Desa Siglagah dari Kabupaten Batang, Desa Campursari, Desa Dieng Wetan, Desa Jojogan, Desa Patak Banteng, Desa Sembungan, dan Desa Parikesit dari Kabupaten Wonosobo bersepakat untuk merekonstruksi potensi wisata budaya di Dieng.
Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo dibantu Provinsi Jawa Tengah menjadikan ruwatan cukur rambut gimbal sebagai salah satu potensi wisata budaya masyarakat Dieng. Ruwatan cukur rambut ini mampu menjadi solusi agar masyarakat Dieng tidak hanya mengandalkan bidang pertanian sebagai mata pencarian, tetapi juga budaya. Pemerintah berharap, risiko krisis lingkungan di Dieng dapat ditekan.
Sejak 2004, ruwatan cukur rambut gimbal dikomodifikasi dan menjadi bagian dari Pekan Budaya Dieng (PBD). Ruwatan itu umumnya digelar secara individual oleh keluaraga bocah gimbal. Akan tetapi, dalam PBD, ruwatan cukur rambut itu diadakan secara massal. Ruwatan ini menjadi tontonan massa, tdak hanya oleh masyarakat Dieng, tapi juga masyarakat luas.
Festival sempat absen pada 2009, dan pada 2010 PBD diambil alih Pemda Kabupaten Banjarnegara melalui Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa. Nama PBD diganti menjadi Dieng Culture Festival (DCF) yang diadakan saban tahun pada Juli atau Agustus. Pemerintah Kabupaten Wonosobo memasukkan ruwatan cukur rambut gimbal massal dalam Festival Menjer di Telaga Menjer, Desa Maron, Kecamatan Garung.
Pergelaran ruwatan
Pergelaran diawali dengan tapak tilas yang bertujuan meminta keselamatan dan palilah atau izin kepada leluhur Dieng. Tapak tilas dilakukan para sesepuh desa di Dieng, seperti Mbah Sumanto dan Mbah Sumarsono, dengan mengunjungi berbagai tempat yang dianggap sakral seperti kompleks Candi Arjuna, Mata Air Bimo Lukar, dan Kawah Candradimuka.
Pergelaran dilanjutkan dengan jamasan pusaka, yakni memandikan pusaka-pusaka, seperti tombak dan keris, yang dijadikan sebagai pengiring bocah gimbal selama kirab berlangsung. Sehari sebelum ruwatan cukur rambut ini, masyarakat Desa Dieng Kulon akan bergotong royong memasak sesaji di rumah Mbah Sumanto. Jadilah beberapa tumpeng sesaji, yaitu buju robyong, buju kalung, buju abang, buju ireng, buju ijo, buju kuning, dan buju putih.
Jajanan tradisional disiapkan sebagai sesaji, seperti bolu cukil, jadah dan pasung, serta 26 jenis minuman seperti wedang dadap serep, wedang jembawuk, dan wedang karang kambang. Setiap sesaji menjadi simbol dan memiliki makna bagi keberlangsungan ruwatan cukur rawut gimbal.
Kirab sesaji dilaksanakan pada keesokan hari yang bertujuan nggombyong atau menyemarakkan ruwatan cukur rambut gimbal. Para bocah itu juga diarak keliling desa diiringi dengan berbagai kesenian tradisional khas Dieng, seperti tari Emblek, tari Lengger, dan tari Tapak Buta menuju kompleks Dharmasala dan Sendang Sedayu. Di sana, bocah gimbal dimandikan, termasuk rambutnya.
Pencukuran rambut digelar di kompleks Candi Arjuna dipimpin sesepuh desa. Selama cukur rambut berlangsung, pengidung terus-menerus menyanyikan Kidung Rumeksa ing Wengi. Anak-anak menyampaikan bebana, yaitu permintaan dari bocah gimbal yang wajib dipenuhi orangtuanya.
Selesai cukur rambut gimbal, sesepuh desa juga memimpin ngalab berkah. Sesaji pun menjadi rebutan. Prosesi ruwatan diakhiri dengan larung rambut di Telaga Warna dengan tujuan mengembalikan rambut gimbal ke Laut Selatan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved