Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Rhenald Kasali: Era Dunia Artifisial

Putri Rosmalia
23/1/2022 05:25
Rhenald Kasali:  Era Dunia Artifisial
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) yang juga pendiri Rumah Perubahan, Prof. Rhenald Kasali PhD(Dok.Pribadi)

MESKI kehidupan belum pulih benar, memasuki tahun ke-3 pandemi, tren keuangan dan investasi tetap muncul bahkan menjadi fenomena. Di Indonesia, fenomena non-fungible token (NFT), membuat geger di awal tahun ini karena akun Ghozali Everyday bisa menjual 932 foto selfie-nya dan meraih pendapatan Rp1,7 miliar.
Di luar itu beragam tren lain juga semakin mengemuka selama pandemi ini, termasuk penggunaan kecerdasan buatan (AI), mata uang kripto, bahkan teknologi metaverse. Lalu bagaimana semua tren ini memengaruhi bisnis, kebijakan negara, bahkan perkembangan dunia pendidikan? Untuk menjawabnya berikut wawancara Media Indonesia dengan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) yang juga pendiri Rumah Perubahan, Prof. Rhenald Kasali PhD., di Rumah Perubahan, Bekasi, Rabu (19/1).

Bagaimana Anda melihat tren bisnis dan sosial di 2022 ini?

Kita akan menuju ke dalam dunia baru yang disebut dunia artifisial. Ini sebenarnya dimulai sejak 1780-an sampai sekarang, kita memasuki dunia 5.0. Dari membuat pemanis dan pewarna buatan untuk makanan, buat mesin, hewan peliharaan buatan, bedah plastik, hingga kecerdasan buatan.
Tujuannya membantu manusia, tapi lama-lama juga bisa menggantikan manusia. Nah, gabungan dari itu semua jadinya muncullah sekarang yang disebut metaverse. Tren jangka panjangnya mengarah ke metaverse (interaksi kehidupan secara virtual) dan spaceverse (interaksi kehidupan ruang angkasa).
Jadi intinya, orang akan semakin banyak yang meninggalkan dunia real dan masuk ke dunia imajinasinya. Tahun ini akan dimulai fenomena escape atau kabur karena jenuh selama pandemi.
Jadi bisnis yang akan berkembang juga yang mendukung ke fenomena escape itu, misal rekreasi yang ada di daerah yang masih dekat dari Jakarta seperti Bandung, Bogor, Yogyakarta akan semakin bangkit. Restoran juga semakin banyak yang membuka di pinggiran dengan konsep lebih sederhana, bisnis pakaian juga ke arah yang mendukung kebutuhan untuk escape tersebut, yang mudah digunakan.

Untuk adaptasi ke dunia digital sendiri bagaimana, khususnya sektor bisnis?

Ada yang sudah oke, tapi banyak juga yang masih struggle. Oleh karena itu, pemerintah daerah memegang peranan penting. Pertama tentu saja yang terkait dengan tempat, tidak semua bisa bangkit. Seperti Bali itu masih belum bisa bangkit karena tempatnya agak jauh dari Jakarta, sedangkan konsentrasi uang banyaknya di Jakarta.
Di situlah semestinya peran pemerintah daerah membantu. Seperti yang dilakukan pemerintah Yogyakarta bekerja sama dengan PT Pos. Jadi, kalau ada pesanan UMKM secara digital, ongkos kirimnya ditanggung oleh pemprov dikirim melalui PT Pos dan dibantu juga oleh PT Pos dengan harga subsidi. Itu membantu agar UMKM bisa tertolong dengan shifting maksimal.
Namun, saya melihat ada pemerintah daerah yang sibuknya hanya retorika padahal harus spending lebih cepat. Misalnya, dengan apa pun yang melibatkan UMKM, dukung organisasi-organisasi yang ada di daerahnya untuk melakukan kegiatan pelatihan dan sebagainya. Spending harus dilakukan agar terjadi pergerakan ekonomi.

Kalau kebijakan pemerintah pusat, bagaimana Anda melihatnya?

Kebijakan di tingkat pusat itu memang harus berubah-ubah. Dalam pandemi harus cepat beradaptasi, kalau mereda ya harus dilonggarkan lagi. Namun, pemerintah sepertinya belum memiliki algoritma dalam menghadapi situasi seperti ini. Mereka harus juga bisa berpikir secara eksponensial, harus sudah punya perhitungan matematikanya kapan peningkatan akan sangat cepat dan kapan angkanya akan bisa turun lagi. Itu bisa diperhitungkan secara eksponensial sehingga kebijakannya juga bisa lebih dipersiapkan, termasuk dalam hal ekonomi.

Di awal tahun ini Anda juga sudah menyebut fenomena techlash (reaksi negative atau backlash ke perusahaan teknologi) di beberapa negara. Apakah di Indonesia juga sudah terjadi?


Iya, kita juga sudah mengarah ke situ bahkan sudah mengarah ke terjadinya kekuatan besar yang bisa memonopoli. Saat ini mulai terjadi pemusatan keuangan pada sejumlah perusahaan tertentu. Perusahaan yang besar jadi semakin besar sendiri dan membuat yang lain tidak bisa bersaing. Itu membuat bermunculan tekno billioner atau orang-orang sangat kaya karena berbisnis mengandalkan teknologi. Kalau dibiarkan, bisa terjadi plutokrat dan pemusatan kekayaan di mereka bahkan bisa mencapai 1% penduduk menguasai 90% kekayaan negara. Itu berbahaya sekali karena negara jadi tak lagi memiliki kekuatan.
Sekarang juga banyak sekali bermunculan startup baru yang menggunakan metode bakar uang. Itu sangat tidak baik karena akan sangat mengganggu bisnis sejenis yang tidak memiliki modal besar untuk membakar uang. Akibatnya usaha lain, khususnya UMKM yang menjual dengan harga normal jadi tidak bisa bersaing dan mati. Ini sudah banyak sekali.
Ada juga misalnya perusahaan teknologi yang selama pandemi mendapat proyek kartu prakerja atau ada pengenaan pajak makanan di ojek daring sebesar 22%. Itu perusahaan teknologinya yang untung besar, UMKM-nya menjerit.

Berarti sudah perlu dilakukan kebijakan penertiban perusahaan teknologi seperti di Tiongkok?


Ibaratnya menanam pohon kalau sudah tumbuh besar, daunnya sudah mulai banyak, ya strateginya harus dipapras, atau namanya trimming. Maka benar sekali pemerintah harus mulai trimming karena perusahaan-perusahaan teknologi yang sangat besar ini hidupnya sudah sangat enak. Sudah mulai tidak karuan.
Pemerintah harus memaksimalkan undang-undang anti monopoli, ditertibkan lagi undang-undang anti monopoli-nya agar industri ini menjadi sehat. Buat aturan pendukung baru yang bisa memaksa per­usahaan teknologi besar untuk bersaing dengan kompetitif dan tidak membuat aturan sendiri yang merugikan konsumen dan pengusaha kecil. Lakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi yang benar tentu saja.

Bagaimana mengenai pergerakan aset digital, mata uang kripto, NFT, hingga metaverse di tahun ini?

Tahun ini akan menjadi tahun yang penting bagi dunia digital, khususnya terkait aset kripto, NFT, dan metaverse pada masyarakat kita. Banyak sekali orang yang FOMO (fear of missing out) atau tidak mau ketinggalan, jadi mereka ikut-ikutan untuk mencobanya.
Misalnya saja banyak yang berpikir bisa melakukan seperti Ghozali sehingga mengunggah hal yang aneh-aneh di NFT. Padahal, Ghozali itu tidak semata-mata begitu saja. Menurut saya Ghozali itu adalah simbol dari ketekun­an dan kecerdasan karena mengambil foto selama bertahun-tahun setiap hari dan dia cerdas bisa melihat celah di NFT. Kemudian dia juga beruntung karena endorsement dari tokoh-tokoh terkenal.
Intinya, banyak orang yang ikut-ikut­an meski tidak semua akan beruntung di sana. Banyak juga yang mencoba tanpa sadar akan resikonya. Seperti menjual foto KTP, itu bahaya sekali sebenarnya.

Dengan berbagai tren ini yang membuat beragam cara untuk menghasilkan uang dan terkenal, bagaimana penga­ruhnya ke dunia pendidikan?


Sistem pendidikan dan masyarakat kita masih sebatas peduli pada gelar. Orang sekolah hanya mengejar lulus dan mendapatkan gelar untuk menjadi kebanggaan sendiri. Di kampus pun banyak hanya fokus ke materi saja sehingga banyak mahasiswa yang hanya fokus ke IPK. Lalu nantinya komplain mengapa IPK tinggi, tapi sulit dapat pekerjaan.
Padahal sekarang sudah tak banyak peng­usaha yang terlalu memedulikan itu. Orang mencari karyawan yang penting bisa kerja cepat, bisa menyesuaikan diri, tidak penting ijazah. Kecuali memang untuk bidang tertentu seperti misalnya kedokteran atau yang sejenisnya. Sistem upah kita juga hanya mengandalkan sistem UMR. Tak ada pengklasifikasian upah untuk lulusan atau jenjang pendidikan tertentu. Apalagi sekarang banyak pekerjaan yang bisa digantikan robot. Di pandemi ini, pengusaha yang menggunakan robot tidak perlu memikirkan social distancing.

Jadi pendidikan formal tak lagi perlu diprioritaskan?


Pendidikan formal tetap dibutuhkan karena ada bidang yang juga sangat membutuhkan gelar, misalnya dokter. Tapi yang perlu diperhatikan adalah harus adalah agar di perguruan tinggi jangan hanya fokus pada intelektualitas saja tapi harus membangun kecerdasan agar lulusannya lebih siap menghadapi dunia kerja.
Berikan ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan atau basic principle seperti hadirkan materi tentang metode-metode matematika dasar yang pasti akan berguna bagi setiap orang. Perkuat kemampuan bahasa setiap anak sebelum lulus agar memudahkan dunia kerja, kemampuan untuk berpikir kritis, menyelesaikan masalah. Bangun kecerdasan mereka agar bisa memecahkan masalah. Jangan hanya memberi pengetahuan saja.
Materinya harus lebih kontekstual juga.

Apakah harus lebih perbanyak materi atau muatan seperti yang ada di prog­ram vokasi?


Iya bisa juga, karena di vokasi itu kan lebih banyak praktik langsung. Lebih banyak langsung memegang alat lebih siap untuk dunia kerja. Ada kerja lapangan dan sebagainya. Itu bisa jadi cara yang juga digunakan untuk membuat para lulusan universitas ini lebih siap kerja.

Kembali ke era artifisial, secara keselu­ruhan, apakah masyarakat kita siap untuk menghadapi segala perubahan ini?


Orang kita cepat belajar kok, tapi belajarnya pemaknaannya yang kurang. Ikut-ikutan yang banyak jadi yang menang adalah yang pintar. Jadi harus pintar. Menurut saya pintar itu artinya mampu mempersiapkan diri, punya etos kerja, punya kecerdasan. Jadi Jangan berpikir bahwa bisa langsung sukses secara instan.
Jadi saya pikir masyarakat kita umumnya sudah siap. Hanya mungkin yang perlu ditingkatkan ialah pemaknaannya dan ketekunannya, serta etos kerjanya agar tidak mudah menyerah dan hanya berpikir untuk mendapatkan kekayaan secara instan. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya