Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Pak Weng Menawar Isyarat

Furqon Ulya Himawan
11/12/2021 07:30
Pak Weng Menawar Isyarat
Cover buku Urip Mung Mampir Ngguyu 60 Tahun Butet Kartaredjasa(Dok. Buku Mojok)

SUATU hari, di penghujung 2017, seniman serbabisa yang tak lain ialah Butet Kartaredjasa (BK), menerima telepon. Kala itu dia sedang menyiapkan pameran tunggalnya di Galeri Nasional Indonesia (GNI) yang bertajuk Goro-Goro Bhinneka Keramik. Temannya sesama perupa, Ong Hari Wahyu dan Andy Eswe yang sedang bersamanya, diam mendengarkan obrolan Butet.

Seusai menerima telepon, Butet mengabarkan kepada mereka kalau lukisan keramiknya yang akan dipamerkan laku. Orang yang bicara di ujung telepon itulah yang membelinya.

“Nah piye, aku ming dodolan kereweng, loh,” kata Butet.

Kereweng adalah istilah untuk cuwilan atau pecahan benda yang terbuat dari tanah liat, seperti pecahan keramik. Dan sejumlah karya Butet, memang ada yang keramiknya sengaja dibikin pecah, terbelah. Seperti karya berjudul Panakawan Unfriend Semar, Panakawan Unfriend Bagong, atau Semar Munafik.

Andy lalu iseng menghitung angka rupiah yang didapat BK dari menjual karya lukis yang disebutnya kereweng. Jika laku semua, angkanya banyak sekali, dan pastinya untung besar. Padahal cuma kereweng, tapi laku. Sejak itu, mereka memanggil Butet dengan sebutan Pak Weng alias Pak Kereweng. Butet pun asyik-asyik saja dengan panggilan itu, tidak marah.

 

“Nah kuwi lucu kan. Pak Weng,” kata Ong sambil tertawa.

Mungkin sebagian orang yang mendengarnya akan menilai Butet orang yang beruntung, alias bejo. Cuma melukis di kereweng, laku dengan harga mahal. Pun banyak media lokal dan nasional, bahkan internasional yang mengulasnya.

Mengenai Butet yang selalu untung, Sujiwo Tejo, budayawan yang pernah menjadi wartawan salah satu media nasional, curhat. Menurutnya, saking beruntungnya, dehamnya Butet saja bisa dimuat di media nasional. Sebaliknya, Tejo yang juga bergelar Presiden Jancukers, jangankan deham, sampai jumpalitan bikin karya yang oleh publik dianggap sebagai karya besar, tak bakalan media yang pernah menjadi tempatnya bekerja, mengulasnya.

“Dibanding aku, Butet lebih beruntung,” katanya.

Tentunya sudah banyak yang tahu, Butet ialah anak nomor 5 dari seniman kondang, Bagong Kussudiardja dengan Soetina. Butet memiliki 6 saudara, yakni Ida Manutrenggana (kakak), Elia Gupita (kakak), Rondang Ciptasari (kakak), Otok Bima Sidharta (kakak), Purbasari Ayuwangi (adik), dan Djaduk Ferianto (adik).

Hoki memang selalu menyertai Butet, dan itu sudah kelihatan sejak Butet masih kecil. Saudara-saudara Butet pun berbagi kisah. “Saat masih kecil, Butet sudah banyak fan,” kata Ita, sapaan Elia Gupita.

“Mereka ya mbak-mbak yang sekolah di SMKI, dulu namanya KONRI,” imbuhnya.

Sari, sapaan Purbasari Ayuwangi, urun cerita. Katanya, Butet memang punya hoki bagus sejak kecil. Jika mengikuti sayembara, Butet sering menang dan mendapat hadiah. Rondang Ciptasari yang karib disapa Oni menambahkan, kalau dahulu orang-orang sering bertanya kepada Butet soal berapa nomor yang akan keluar dalam judi buntut atau nalo.

Begitulah secuil kisah keberuntungan Butet Kartaredjasa. Cerita-cerita itu ada dalam buku berjudul Urip Mung Mampir Ngguyu. Sebuah buku yang diluncurkan sekaligus menjadi kado ulang tahun ke-60 Butet pada 21 November lalu, di Sangkring Art Space.

Bisa jadi, faktor hoki yang menyertainya sejak kecil, ikut berperan menentukan garis kehidupan seniman kondang yang juga dijuluki Raja Monolog itu. Namun, sebagaimana dalam setiap kisah sukses, tentunya ada kisah terpendam yang jarang diketahui, yakni kisah sedih dan muram yang pastinya Butet pun mengalaminya.

 

 

Menawar Isyarat

Buku Urip Mung Mampir Ngguyu mengisahkan perjalanan kesenimanan Butet Kartaredjasa. Mulai Butet kecil yang juga nakal lazimnya anak-anak, seperti suka mencuri tebu dari truk yang melintas dekat rumahnya atau bermain di sungai dan berantem dengan saudaranya, sampai kisah Butet yang menjadi selebritas seperti sekarang.

Agus Noor, cerpenis yang juga penulis naskah-naskah drama, menjadi koordinator penulisan buku ini. Menurutnya, selain sebagai kado ulang tahun Butet, juga sebagai ungkapan niat baik.

“Sebagai doa dan harapan agar Butet terus sehat dan bahagia,” tulis Agus dalam pengantar buku.

Namun, Agus di awal kata pengantar, membukanya dengan babak kematian. Dia mengaku tak pernah sebegitu berdebar seperti saat menggarap buku ini. Pasalnya, Agus selalu teringat pada ucapan Butet yang tidak ingin dibuatkan buku. Butet konon mau dibuatkan buku kalau dia sudah meninggal.

“Beberapa kali saya menyaksikan Butet Kartaredjasa berhadap-hadapan dengan maut,” tulis Agus. “Kami kerap bercanda, bahwa seorang yang sudah diberi hadiah atau dibuatkan acara menandai proses kreatifnya, biasanya tak berumur panjang,” imbuhnya.

Namun, suatu hari, pada awal September 2021, pikiran Agus Noor berubah. Dia makjegagik ingin sekali membuatkan buku untuk Butet sebagai hadiah ulang tahun yang ke-60. Perubahan 380 derajat itu, lantaran novelis, Puthut EA, menghubunginya dan mengatakan kalau Butet ingin sekali dibuatkan buku.

Soal isyarat, tulis Agus, Butet meyakini bila ada firasat buruk, maka harus dinyatakan, disampaikan, agar firasat (bisa) dibatalkan dan tak menjadi kenyataan. Ketika Butet sudah ingin dibuatkan buku, berarti ia telah membatalkan omongannya yang lampau: tak ingin ada buku tentangnya selama dia masih hidup. Ibarat nazar, telah dibatalkan, dinetralkan, dan ditawar.

“Butet, seakan menawar isyarat,” kata Agus.

Butet pun pernah bilang kepada Agus, memasuki usia 60 tahun ialah masa-masa ndrawasi, mendebarkan, dan mesti penuh kewaspadaan. Tapi, Butet tak ingin mati dulu. Masih banyak tanggung jawab yang belum dia selesaikan. “Butet ora pingin modar disik,” tulis Agus.

Maka, tekad Agus untuk mewujudkan buku semakin bulat. Dia langsung membentuk tim. Orang-orang yang dia hubungi untuk menyumbang tulisan, semuanya merespons dengan sukacita dan luar biasa. Semuanya ikut mendoakan kesembuhan dan kesehatan Butet yang menjelang hari ulang tahunnya, jatuh sakit.

“Buku ini bukanlah akhir dari proses kreatif Butet. Buku ini, semoga justru menjadi titik awal bagi proses kreatif selanjutnya,” tulis Agus. “Di dalamnya, terangkum doa dan cinta dari para kawan dan sahabatnya yang ingin melihat Butet gembira dan bahagia,” imbuhnya.

Butet, saat peluncuran buku, tepat di hari ulang tahunnya, gembira dan bahagia mendapat kado berupa buku, sekaligus pameran lukisan dari para seniman dengan tajuk 60 Menawar Isyarat.

“Ini energi dari kawan-kawan semua. Energi untuk menyemangati hidup saya,” kata ayah tiga anak itu dengan mata berkaca-kaca.

Orang nomor 1 di Indonesia, Presiden Joko Widodo, pun memberikan ucapan, doa, dan energi baik kepada Butet di hari ulang tahun sekaligus peluncuran buku Urip Mung Mampir Ngguyu.

“Mas Butet, selamat ulang tahun ke-60 tahun. Selamat juga untuk peluncuran buku yang ditulis para sahabat, Urip Mung Mampir Ngguyu. Jangan pernah lelah untuk berkarya, dan terus optimistis. Semangat dan sehat selalu,” kata Jokowi.

 

 

Mencetak keajaiban yang Intim

Buku yang tebalnya 500 halaman lebih ini terbilang ajaib karena prosesnya sangat singkat. Hairus Salim, penyelia konten buku Urip Mung Mampir Ngguyu, mesti berjibaku menyiapkan naskah dalam waktu sangat mepet. Sektiar 3 minggu. Awalnya, dia ragu bisa merampungkannya. Tapi, akhirnya buku dapat tercetak dan terbungkus sebagai kado ulang tahun Butet.

“Pengalaman bikin buku, inilah buku ajaib karena saking cepatnya. Asuwok!” kata Hairus saat peluncuran buku, menirukan pisuhan khas Butet.

Meski dalam waktu singkat, membuka lembar demi lembar buku ini, seolah membaca satu generasi yang penuh pergolakan dalam suatu era. Di dalamnya menyuguhkan Butet yang bermula dari perupa, tapi akhirnya secara apik berakting di atas panggung, serta piawai menirukan suara-suara para tokoh dalam pentasnya.

Ada juga ulasan mengenai inspirasi awal monolog yang ternyata Butet dapatkan dari kegiatan forum teater anak-anak muda. Waktu itu di sebuah pertemuan, forum itu sedang ngobrol tentang monolog dan bagaimana monolog dipraktikkan. Butet yang turut hadir tertarik mempraktikkannya. Tanpa naskah, Butet ngomong sendiri. Ternyata, ia menikmati sensasi sebuah monolog.

Mungkin jarang yang tahu, kalau Butet juga pernah menjadi jurnalis dan banyak menulis tentang seni dan kebudayaan. Dalam hal ini, Butet belajar langsung kepada Ashadi Siregar di kantor Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y). Itu dia lakukan agar bisa menulis bagus dan sesuai kaidah jurnalistik.

Menariknya, Butet tidak perlu membayar. Padahal, kelas-kelas kursus di LP3Y itu berbayar. Dia hanya memosisikan diri sebagai pesuruh. Jadi, kalau ada kelas, dia datang dan ikut bantu-bantu. Sungguh ide yang cerdas.

Isi buku kado untuk ulang tahun Pak Weng terbagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama menyuguhkan sosok Butet dalam berbagai perspektif: perannya di atas panggung, sosoknya sebagai penulis, Butet yang berawal dari perupa, dan pilihan politik-politik kebudayaannya.

Mereka yang menuliskan kisahnya di bagian itu, antara lain Menteri Koordinator Polhukam Moh Mahfud MD, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Siafuddin, peneliti teater dan pengajar di Monash University Barbara Hatley, aktor dan sutradara teater Landung Simatupang, Hamid Basyaib, dan Marzuki Mohammad Kill the DJ.

Di satu bagian lainnya, sejumlah teman-teman Butet turut menulis dengan memberikan kesan, kesaksian, dan kenangan tentang Butet. Antara lain seperti Ashadi Siregar, Sujiwo Tejo, Slamet Rahardjo, Handoyo, Happy Salma, dan Inayah Wulandari Wahid, putri Gus Dur.

‘Om Butet adalah salah satu orang yang kami minta urun rembuk dalam membaut manifesto Gus Dur’, tulis Inayah. Menurutnya, prinsip dan pemikiran Butet tentang kebudayaan nyambung dengan Gus Dur.

Ada juga bab-bab yang mengisahkan hal-hal yang jarang diketahui publik. Keluarga Butet dan perempuan asal Samarinda, Rulyani Isfihana, istri tercintanya Butet, ikut berkisah. Menurut Ruly, dia menerima cinta Butet lantaran orangnya tidak neko-neko, tidak pencemburu, dan tidak pernah mengekangnya.

“Itu yang paling membuat nyaman bagi perempuan,” kata Bu Ageng, sapaan khas istri Pak Weng.

 

 

Nilai kemanusiaan

Tak hanya tulisan, tapi juga ada sisipan foto dan arsip-arsip tentang perjalanan Butet berkesenian. Sayangnya, foto-foto itu tak dibubuhi keterangan. Alhasil tak jelas, siapa, kapan, di mana, dan sedang apa orang-orang yang di dalam foto.

Dalam buku yang cetakannya berwarna ini, banyak tulisan yang sifatnya personal dan intim. Ini menunjukkan kedekatan pertemanan yang tingkatnya sudah seperti keluarga. Tak ada jarak antara senior dan junior, dan tak ada lagi batas agama, suku, dan ras. Semua lebur dalam ikatan persaudaraan.

Paseduluran itu akhirnya kita dapati puncaknya pada kemampuan saling menertawakan, bercanda, dan guyon,” kata Hairus dalam prolognya.

Dengan jalan kesenian, Butet membangun hubungan kekerabatan, persahabatan, persaudaraan, bahkan kekeluargaan. Seperti yang Ashadi Siregar kisahkan dalam tulisannya yang berjudul Bersaudara dengan Butet Kartaredjasa. Sementara itu, perkara Butet membangun serta merawat hubungan kemanusiaan, ada satu tulisan dari Bre Redana yang bisa menjelaskannya.

Menurut Bre, Butet selalu bisa ngemong kepada yang tua dan yang muda. ‘Fungsi punakawan ialah ngemong, menemani masyarakatnya menyusuri perjalanan sosial dari satu tempat ke tempat, dari satu waktu ke waktu, dari satu zaman ke zaman, dari satu perubahan ke perubahan’, tulis Bre Redana.

Tentang nilai-nilai kemanusiaan yang dipegang Butet dalam kisah buku Urip Mung Mampir Ngguyu ini cocok dengan apa yang dikatakan Inayah, ada kesamaan nilai dan prinsip antara Butet dan Gus Dur. Terlebih Butet memang mengidolakan sosok Gus Dur dan suka guyon dengan gojek kerenya.

Asuwokk,” kata Inayah untuk satu kata yang menggambarkan sosok Pak Weng yang memang jenaka.

Kini, Pak Weng yang selalu bejo telah melampaui angka wingit, 60. Buku Urip Mung Mampir Ngguyu menjadi semangat baginya untuk terus berkarya dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Selamat ulang tahun dan semoga sehat selalu, Pak Weng. Jangan lupa terus ngguyu. Seperti ajakan Hamid Basyaib dalam tulisannya. ‘Semakin seringlah ngguyu Pak Weng. Sebab ngguyumu adalah ngguyu kami semua’. (M-2)

__________________________________________________________________________________________

 

Judul Urip Mung Mampir Ngguyu 60 Tahun Butet Kartaredjasa

Penulis: Agus Noor, dkk

Cetakan Pertama, November 2021

Halaman: LIV+514

UKURAN: 16x24 cm

ISBN: 978-623-7284-66-6

Penerbit: Buku Mojok

Didukung Djarum Foundation

Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

ACE Hardware Indonesia



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya