Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
DI antara doa dan selawat nabi yang tak putus dilantunkan, Kang Auh (Gusnawan) menyingkap kain pembungkus pusaka yang digenggamnya. Serentak hadirin bergumam seperti dengung lebah, menyaksikan sebilah pedang di tangan Kang Auh, pedang warisan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, khalifah Islam ke-4, kepada Prabu Sanghyiang Borosngora, Raja Panjalu pertama yang memeluk agama Islam.
Itulah detik-detik terakhir upacara Nyangku, tradisi jamas (penyucian) pusaka oleh masyarakat adat Panjalu, yang berpusat di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, di utara Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Upacara tahunan itu selalu digelar pada Senin atau Kamis terakhir bulan Maulud atau Rabiul Awal, yang tahun ini jatuh pada Senin, 1 November 2021.
Selain untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tradisi Nyangku juga digelar untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora, Raja Panjalu pertama yang belajar ke Mekah dan Madinah, memeluk agama Islam, dan menyebarkannya di wilayah timur Priangan. Bagi masyarakat, melestarikan tradisi ini ialah bagian introspeksi diri dari perbuatan tak sesuai dengan norma agama dan adat.
Menurut Kang Auh, teureuh atau petugas yang bertanggung jawab atas ragam pusaka raja-raja Panjalu yang tersimpan di Museum Bumi Alit, Nyangku berasal dari kata Bahasa Arab, yanko, yang artinya membersihkan. Namun, pelafalannya berubah menjadi nyangku, yang dalam bahasa Sunda dapat berupa akronim dari nyaangan laku atau menerangi perilaku.
Berbagai persiapan dilakukan para pemangku adat Panjalu sebelum pelaksanaan Nyangku. Kamis pagi pada 28 Oktober 2021, misalnya, digelar acara Samida oleh para keluarga Panjalu. Ini merupakan bentuk hajatan untuk memperingati apa yang telah terjadi di masa lalu, khususnya di Situ Lengkong, situ atau danau bersejarah yang terdapat di Desa Panjalu.
Jumat, sehari setelah Samida, dan saat gladi resik serta gelar pasukan upacara Nyangku, juga ada serah terima Tirta Kahuripan atau air kehidupan yang akan digunakan untuk mencuci pusaka nantinya. Air bukan sembarang air karena diambil para petugas khusus yang mendapat mandat, dari 9 (sembilan) sumber mata air berkait sejarah Panjalu. Karena itu, Tirta Kahuripan juga disebut Tirta Salapan.
Tirta Kahuripan atau Tirta Salapan memang khusus diambil dari Situ Lengkong, Kapunduhan (makam Prabu Rahyang Kuning), Ciomas, Cipanjalu (di mana Prabu Sanghyang Borosngora dimakamkan). Kubang Kelong, Pasanggrahan, Bombang Kancana, Gunung Bitung, dan dari Dayeuh Luhur di Karantenan di ketinggian pucuk Gunung Sawal, merupakan lokasi awal berdirinya Kerajaan Panjalu.
Tak kalah unik ialah tradisi menyiapkan beras merah untuk tumpeng dan sesaji yang jadi kelengkapan adat Nyangku. Semua anggota keluarga keturunan Panjalu menyiapkan beras merah, yang mesti dikupas (gabahnya) dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana beras pada umumnya. Pelaksanaan menguliti gabah dimulai pada 1 Mulud (Maulid) sampai sehari sebelum pelaksanaan Nyangku.
Siraman air zamzam
Di malam menjelang pelaksanaan Nyangku digelar acara manakib atau pembacaan Barzanji dalam rangka memperingati maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Acara ini berlangsung di Masjid Agung Panjalu, di samping Alun-Alun Borosngora. Di alun-alun dekat terminal angkot dan bus serta pasar itu, sekaligus merupakan pusat keramaian Panjalu. Namun, mengingat pandemi covid-19 belum reda, tahun lalu dan tahun ini, upacara Nyangku untuk sementara tidak dilaksanakan di Alun-Alun Borosngora, melainkan (dengan tetap memberlakukan prosedur kesehatan, dan pengetatan jumlah peserta) dilaksanakan di Nusa Larang, Situ Lengkong.
Situ Lengkong seluas 67,2 hektare dan pada ketinggian 700 mdpl, terletak di Desa Panjalu, yang karena itu lantas juga dikenal sebagai Situ Panjalu. Di tengah situ ada pulau (nusa) seluas 16 hektare yang populer sebagai Nusa Larang atau Nusa Gede (karena dulu ada beberapa pulau dan ini yang paling besar) atau juga disebut sebagai Nusa Panjalu.
Menurut Babad Panjalu, Situ Lengkong merupakan danau buatan yang sebelumnya hanya berupa kawasan legok atau lembah yang mengelilingi bukit (bahasa Sunda: pasir) bernama Pasir Jambu. Saat Sanghyang Borosngora pulang belajar dari tanah suci Mekah, Raja Panjalu itu membawa cendera mata yang antara lain berupa air zamzam dalam gayung bungbas, batok kelapa yang berlubang di atasnya.
Konon, air zamzam itu dituang Borosngora ke dalam lembah, dan jadilah Situ Lengkong. Bukit atau Pasir Jambu, yang ada di tengah lembah pun lantas menjelma menjadi pulau bernama Nusa Larang, pulau terlarang atau pulau yang disucikan, sama halnya seperti Kota Mekah yang berjuluk tanah haram, yaitu tanah terlarang atau tanah yang disucikan.
Nusa Larang dipandang spesial oleh masyarakat Panjalu kerena ke pulau itu Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan pusat kerajaan Panjalu dari pusat lama yang dibangun leluhurnya di Dayeuh Luhur, Karantenan, di pucuk Gunung Sawal yang secara geografis kini berada persis di bagian tengah kawasan administratif Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Sebagai Raja Panjalu sekaligus penyebar agama Islam yang juga pupuler dengan nama Sayid Ali bin Muhammad bin Umar, Sanghyang Borosngora melarang siapa pun mengutak-atik keasrian alam Nusa Larang dan Situ Lengkong. Pikukuh adat atau papagon dipatuhi masyarakat dan menjadikannya sebentuk kearifan tradisional yang amat sangat menjaga kelestarian alam dan budaya yang ada.
Nusa Larang tak cuma menarik peziarah karena di situ terdapat makam raja-raja Panjalu, tapi juga Dr Koorders, pendiri dan Ketua Perhimpunan Pelindungan Alam Hindia Belanda yang berdiri 1863. Berkat laporan Dr Kooders, 21 Februari 1919, pemerintah kolonial Belanda menetapkan Nusa Larang sebagai cagar alam dan mencantumkannya di peta dunia lama sebagai Pulau Koorders.
Gegara Gus Dur
Terletak persis di pinggir Alun-Alun Borosngora, Bumi Alit ialah museum yang menyimpan ragam pusaka Kerajaan Panjalu, sekaligus ‘kantor’ dari berbagai organisasi kekerabatan adat Panjalu. Dari Bumi Alit itu rombongan upacara Nyangku bergerak. Kerumunan penonton tak bisa dihindari. Petugas mengingatkan pentingnya mengenakan masker, jaga jarak aman sesuai dengan protokol kesehatan.
Diiringi irama rebana gembyung dan kumandang selawat Nabi, para Jagabaya berpakaian adat dan menggenggam golok serta tombak bersarung kulit kambing, mengawali arak-arakan menuju Situ Lengkong, sekitar 500 meter dari lokasi itu. Ada pembawa dupa mengepul, sesaji, pusaka, dan barisan perempuan (tak boleh yang sedang menstruasi) pengusung lodong bambu berisi Tirta Salapam.
Nusa Larang--Situ Lengkong dikenal sejak lama. Namun, hingga 2000, destinasi wisata ini masih dipandang sebelah mata. Cuma satu dua pengunjung yang paham sejarah Panjalu datang berziarah, menyeberangi situ dengan menggunakan sampan dayung yang diusahakan warga. Sampai kemudian Gus Dur, Presiden ke-4 RI (20 Oktober 1999–23 Juli 2001) datang ke Nusa Larang.
Almarhum Gus Dur datang pada 5 Juli 2000. Tetirah, berdoa kepada Allah SWT dan merenung sejenak di antara cungkup makam raja-raja Panjalu, yang diakui Gus Dur sebagai bagian dari sejarah dan masih ada keterkaitan darah dengan keluarganya di Jawa Timur. Sejak itu Nusa Larang dan Situ Lengkong pun kebanjiran bus-bus peziarah, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Percaya enggak percaya, kini Situ Lengkong dan Nusa Larang tampil menjadi destinasi wisata unggulan Kabupaten Ciamis, khususnya pasca-Pangandaran di pesisir selatan melepaskan diri dan menjadi kabupaten tersendiri. Tiap hari ada saja rombongan peziarah yang datang. Kian ramai kunjungan saat Ramadan dan bulan Maulud atau Rabiul Awal.
Namun, Senin pagi itu hingga pukul 10.00 WIB, berkait pelaksanaan Nyangku Panjalu 2021, Nusa Larang tertutup bagi peziarah yang (seperti hari-hari sebelumnya) memenuhi areal di seputar dermaga penyeberangan. Dikoordinasi dinas pariwisata dan budaya setempat, sampan penyeberangan dioperasikan hanya untuk antar-jemput peserta Nyangku yang memiliki tanda masuk.
Pedang Ali
Upacara Nyangku mirip Sekaten di Yogyakarta dan Panjang Jimat di Cirebon. Cuma, selain sebagai peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora atau Sayyid Ali bin Muhammad bin Umar, yang telah menyampaikan nasihat Islam untuk rakyat dan keturunannya di Panjalu dan masyarakat Priangan Timur pada umumnya.
Dikawal 20 perahu pautannya, benda-benda pusaka menyeberang dan tiba di dermaga sekaligus gerbang Nusa Larang, disambut sepasang patung harimau belang, hitam, dan putih, personifikasi dari jelmaan Bombang Larang dan Bombang Kancana, putra-putri kembar Raja Brawijaya dari Majapahit yang beribu seorang putri Raja Panjalu.
Mendaki sekitar 150 trap tangga batu, rombongan tiba di kompleks permakaman raja-raja Panjalu dan keluarganya. Ada sebuah pendopo luas dan di dalamnya antara lain terdapat makam Prabu Hariang Kancana, putra sekaligus pelanjut takhta Sanghyang Borosngora yang sengaja turun takhta, memilih jadi ajengan, penyiar agama, wafat dan dimakamkan di tlatah Hutan Cipanjalu.
Benda-benda pusaka itu kemudian diletakkan di atas alas kasur yang khusus dipersiapkan sebagai upacara Nyangku ini. Dalam lantunan selawat Nabi yang tak putus-putusnya, satu persatu pusaka dibuka dari kain putih pembungkusnya, antara lain Keris Komando yang dulu digunakan sebagai penanda bahwa pemegangnya ialah Raja Panjalu serta ragam keris pegangan para Bupati Panjalu.
Panjalu pernah punya Cis, tombak bermata dua atau dwisula, senjata pelindung dan kelengkapan Sanghyang Borosngora saat berdakwah menyebarluaskan Islam. Saat peristiwa DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo, semua pusaka Panjalu dirampas. Baru saat pemberontakan usai, pasukan TNI menemukannya di Gunung Sawal, dikembalikan ke Bumi Alit. Namun, Cis dinyatakan hilang.
Pusaka lainnya ialah senjata tempo doeloe yang disebut Bangreng dan Pancaworo; juga gong kecil untuk alat mengumpulkan rakyat serta Kujang--senjata khas Sunda peninggalan petapa sakti Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang diturunkan untuk para Raja Panjalu. Aki Garahang erat kaitannya dengan kisah harimau kembar Bombang Larang dan Bombang Kancana.
Semua pusaka dibersihkan dengan Tirta Kahuripan atau Tirta Salapan, digosok dengan perasan jeruk nipis, diistirahatkan sejenak, diolesi virgin oil--minyak kelapa murni yang dibuat secara khusus sebagai kebutuhan upacara, diberi lilitan janur, dibungkus kembali dengan tujuh lapis kain putih, dikeringkan dengan asap kemenyan, lalu diarak lagi untuk disimpan di pasucian Bumi Alit.
Upacara Nyangku selalu menarik. Namun, yang paling menarik perhatian dan rasa ingin tahu masyarakat, ialah detik-detik dimulainya pasucian pusaka yang selalu dimulai dengan menghadirkan dan memperlihatkan kepada segenap hadiri ihwal sosok pedang pusaka yang dipercaya masyarakat adat Panjalu, konon sebagai pedang Sayyidina Ali Radiatullahu Anhu yang diwariskan kepada Prabu Sanghyang Borosngora.
Ali bin Abi Thalib, sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW dan khalifah ke-4 Islam yang lahir di Mekah (Arab Saudi) 17 Maret 599 Masehi dan wafat di Kufah (Irak) 29 Januari 661 Masehi. Pertanyaan sederhana yang muncul: Apakah Prabu Sanghyang Borosngora hidup di masa yang sama dengan Sayyidina Ali Radiatullahu Anhu, hingga keberadaan pedang Ali masuk di akal?
Sejarah Indonesia memang masih banyak yang abu-abu, belum sepenuhnya terungkap hingga cenderung hadir sebagai mitos, seperti juga sejarah Panjalu. Munoz (2006) menyebut Kerajaan Panjalu Ciamis Jawa Barat ialah penerus Kerajaan Panjalu Kediri Jawa Timur, pasca-Kertajaya--Raja Panjalu Kediri terakhir, tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada 1222.
Sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itu sebabnya kedua kerajaan ini punya nama sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis ialah penerus peradaban Panjalu Kediri. Kalau benar apa kata Munoz bahwa Panjalu Ciamis hadir di Abad ke-12 dan silam di abad ke-5 Masehi, kecil kemungkinan bahwa pedang Ali adalah hadiah langsung dari Ali bin Abi Thalib.
Namun, menurut Babad Panjalu, Panjalu Ciamis merupakan satu dari belasan kerajaan yang tumbuh di Tatar Sunda pascaberakhirnya masa kejayaan Taruma Nagara di muara Ci (Sungai) Tarum di kawasan Karawang, yang sebagian lantas berhimpun dalam antara lain panji Galuh dan Pakuan Pajajaran. Bila ‘dongeng’ini benar, bisa jadi Sanghyang Borosngora memang hidup sezaman dengan Ali bin Abi Thalib.
Tentu itu menjadi tugas sejarawan atau arkeolog buat membedah tuntas apa dan siapa jati diri Pedang Ali yang dari tahun ke tahun hadir menjadi ‘bintang lapangan’ di tiap upacara Nyangku Panjalu.(M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved