Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Medium untuk Menggugat Diri

MI
24/10/2021 06:10
Medium untuk Menggugat Diri
Sineas Garin Nugroho(Dok. Pribadi)

TAHUN ini, beberapa film Indonesia mendapat sorotan di panggung internasional. Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash) menjadi ‘pembuka’ dengan meraih Golden Leopard pada Agustus silam. Golden Leopard adalah hadiah utama dari sesi kompetisi internasional (Concorso Internazionale) yang diadakan Locarno International Film Festival 2021.

Film yang disutradarai Edwin itu diadaptasi dari novel berjudul serupa karya penulis Eka Kurniawan dan diproduksi oleh Palari Film, berkolaborasi dengan Phoenix Films dan E&W Film, serta Match Factory Productions.

Bulan depannya, film Yuni membawa pulang Platform Prize dari Festival Film Internasional Toronto. Penghargaan itu setiap tahun dipersembahkan untuk film-film bernilai artistik tinggi yang juga menunjukkan visi penyutradaraan kuat.

Yuni disutradarai oleh Kamila Andini dan diproduksi oleh Fourcolours Film bersama Starvision. Film yang bergenre coming age tersebut juga baru-baru ini terpilih sebagai wakil Indonesia ke ajang The Academy Awards 2022.

Kemudian, ada pula film Laut Memanggilku yang menjadi film pendek terbaik pada Busan International Film Festival 2021 untuk bagian film pendek Korea dan Asia terbaik wide angle. Karya Tumpal Tampubolon itu diganjar Sonje Award.

Kendati mengharumkan nama bangsa, apresiasi negara terhadap kemenangan film-film Indonesia itu dianggap sebagian kalangan industri perfilman tidak semegah terhadap bidang lain, khususnya olahraga. Pengamat industri dan pelaku arsip film Lisabona Rahman, misalnya. Ia mempertanyakan tanggapan sunyi pemerintah terhadap kemenangan film-film Indonesia dalam artikelnya di Kompas, 3 Oktober lalu.

Apakah prestise kemenangan karya film kita di panggung internasional macam Locarno memang tidak sebanding dengan kompetisi olahraga seperti Olimpiade?

Menurut sineas Garin Nugroho, kedua bidang itu pada dasarnya memiliki karakter berbeda, tolok ukurnya pun tidak serupa. “Olahraga ialah milik bersama, nuansa politiknya tidak tinggi, dan nilainya jelas bisa dipegang, misal menang 15-0. Ukuran untuk dirayakannya jelas. Kalau seni, film, yang mau nonton ya masih mikir. Di olahraga, menang ya menang. Jadi, memang dua hal berbeda. Satunya nominal, satunya lebih intrinsik,” tuturnya.

Ayah dari sutradara Kamila Andini itu menambahkan, selebrasi pada seni, termasuk film, sejatinya bukan sebatas pada tepuk tangan dan upacara besar. Karya seni menjelma medium bagi seseorang, atau bahkan suatu bangsa, untuk menggugat diri. Merenung dan berkontemplasi.

Di sejumlah negara Eropa, ia mencontohkan, seni budaya menjadi suatu hal yang amat berkelindan dengan kehidupan bangsa. Pemerintahnya mengimplementasikan strategi budaya, memanfaatkan pajak untuk kebutuhan ruang publik, termasuk kesenian, film art, juga distribusinya.

“Mereka selalu bilang orang ke museum, teater, bukan untuk jadi seniman. Tapi ketika kelak jadi pemimpin, mereka yang biasa menonton tari, teater, bisa memiliki sensitivitas tinggi terhadap publik. Tujuannya itu. Maka, politik yang tidak menyukai seni, ya pasti banal,” pungkas Garin. (Jek/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya