Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Enak Gak Enak jadi Anak Blasteran

Pro/M-2
21/8/2021 06:05
Enak Gak Enak jadi Anak Blasteran
Cover buku Ich Komme Aus Sewon(Dok. MI)

Di berbagai daerah, bahkan di kota besar sekalipun, masih banyak yang memandang orang kulit putih alias bule sebagai warga yang lebih superior, unggul dalam segala hal. Mulai dari perkara fisik sampai ketebalan dompet.

Anak-anak dari orangtua yang menjalani pernikahan campuran atau biasa disebut anak blasteran tidak luput dari stereotipe serupa.

Meski banyak yang menganggap menjadi blasteran sebagai suatu keberuntungan, rupanya hal itu tak selalu menyenangkan. Bahkan tak jarang membuat kesal dan membingungkan.

Pengalaman yang tak melulu enak dan menyenangkan sebagai anak blasteran Indonesia-Austria menginspirasi Katharina Stögmüller menulis buku berjudul Ich Komme Aus Sewon. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, judul buku itu kira-kira ialah Aku Anak Sewon.

Dalam buku yang diterbitkan oleh Buku Mojok ini, penulis membagikan kisah-kisahnya sebagai anak blasteran yang sejak balita tinggal di Yogyakarta, tepatnya di daerah bernama Sewon, Bantul. Ia bercerita tentang berbagai pengalamannya di lingkungan rumah, keluarga, sekolah, hingga ketika saat ini di bangku kuliah. Dengan detail penulis menceritakan pengalaman yang sering membebani tetapi tak jarang juga menjadi hiburan karena terlalu jenaka dan menggelikan baginya.

Ia menuangkan pengalaman dan pikirannya secara ringan, jenaka, dan terkadang sarkas di setiap bab. Cerita juga ditulis dengan runut sesuai babak kehidupannya sejak anak-anak, remaja, hingga dewasa.

Lantaran sejak kecil menetap di Yogyakarta, penulis banyak menyelipkan diksi dan padanan kata dalam bahasa Jawa. Namun, tidak perlu khawatir, karena padanan maknanya dalam bahasa Indonesia dihadirkan dalam catatan kaki.

Salah satu pengalaman tak mengenakkan sebagai anak blasteran berayah bule yang diceritakan penulis dalam buku ini ialah soal repotnya rutinitas pengurusan izin tinggal bagi ia, adik, dan ayahnya. Mereka harus mengurus serangkaian prosedur yang rumit untuk bisa tinggal di Yogyakarta bersama sang ibu.

‘Di pandangan orang mungkin nikah sama bule itu enak. Padahal ya, enggak sama sekali. Lebih banyak ribetnya. Belum lagi, kadang masyarakat sekitar suka memberikan stereotipe yang aneh-aneh’ (halaman 27).

Setidaknya setiap lima tahun mereka harus mengurus pembaruan izin tinggal yang tentu saja tidak murah. Sang ayah bahkan sempat harus rutin pergi ke Singapura setiap enam bulan sekali sebelum mendapat izin tinggal permanen di Indonesia. Ditaksir-taksir, katanya biaya yang dihabiskan untuk mengurus izin tinggal bisa mencapai satu unit mobil.

‘Kebanyakan sih, masyarakat mengasumsikan kalau laki-laki asing atau perempuan asing pokoknya yang serba-asing-asing itu, yang kulitnya serba-putihlah, pasti memiliki dompet tebal. Saya enggak ngerti orang-orang yang punya pemikiran ini, apa karena masih overproud dengan orang-orang kulit putih, ya?’ (halaman 25).

Pengalaman lain yang dihadirkan penulis tentang sulitnya menjadi blasteran di negeri ini ialah soal penampilan fisik. Sebagian besar orang masih menganggap menjadi blasteran menguntungkan karena memiliki fisik berbeda, seperti contohnya kulit yang lebih putih ketimbang warga lokal.

Konsep tersebut ternyata tak berlaku bagi penulis. Ia justru sempat minder dan kesal akan tampilan fisiknya yang berbeda dengan teman-teman sekelasnya ketika masih sekolah. Saat memasuki usia dewasa, ia bahkan pernah begitu heran sekaligus kesal terhadap teman sebaya yang menilainya sangat diuntungkan karena bertampang bule.

‘Kebanyakan teman-teman saya mengira bahwa menjadi anak keturunan adalah sebuah previlese. Bahkan ada seorang teman saya yang mengatakan seperti ini: kamu cuma menang bule aja, coba kalau enggak bule, mungkin enggak ada cowok yang mau sama kamu’ (halaman 64).

Penulis juga menuliskan sudut pandangnya tentang sikap warga asli Indonesia yang kerap merasa inferior ketika berhadapan dengan ayahnya. Salah satunya ia jumpai di lingkungan sekolah ketika ayahnya hendak mengambil rapor.

“Ketika Bapak mengambil rapor, guru saya sepertinya sudah terlebih dahulu panik. Sepertinya beliau takut kalau Bapak saya tiba-tiba melontarkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Padahal ya piye ya, Bapak saya saja sudah bertahun-tahun tinggal di Indonesia. Malah sekarang sih logatnya udah mirip Mbak Soimah, HOKH YHAAA HOKH YHAAA.”

Berbagai cerita lain yang tak kalah berkesan dan menggelitik juga dihadirkan dalam buku ini. Seperti pengalaman berteman dengan anak-anak di lingkungan rumah, pengalaman melewati hari raya keagamaan, hingga sikap-sikap lucu sang ayah yang sesungguhnya sangat mencintai budaya Jawa dan ekspresif, tetapi kerap dianggap sebagai lelucon oleh orang sekitarnya.

Pada akhirnya, lewat buku ini penulis ingin menyampaikan keresahan, kegelisahan, serta pandangannya tentang kehidupan seorang anak blasteran di negeri yang masih kental dengan stereotipe sosial sisa penjajahan. Namun, buku ini tetap bisa dinikmati dengan menyenangkan karena gaya penulis yang jenaka dan apa adanya. Membacanya juga mungkin membuat wawasan kita dapat lebih terbuka. Umpama, tidak beranggapan semua bule itu pintar berbahasa Inggris.

Bagi pembaca yang mahir berbahasa Jawa, membaca buku ini juga pasti akan bisa lebih menarik dan terasa dekat karena banyaknya celetukan, candaan, dan sindiran berbahasa Jawa. Gaya khas para penulis Mojok yang kritis, realistis, tetapi tetap jenaka dan menggelitik juga berhasil muncul dalam buku ini. (Pro/M-2)

 

Bio

 

Judul : Ich Komme Aus Sewon

Penulis : Katharina Stögmüller

Penerbit : Buku Mojok

: Cetakan pertama, Mei 2021

: xii + 158 halaman

ISBN : 978-623-7284-56-7

 

 

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya