Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
HUT ke-76 RI masih dilalui dalam masa pandemi. Dampak luas pandemi terhadap berbagai sektor, termasuk kesehatan, ekonomi, hingga sosial, pada akhirnya juga memengaruhi isu-isu kebangsaan.
Lalu bagaimana pandemi ini menguji nasionalisme dan persatuan kita? Apakah polarisasi kian besar atau justru panggilan kemanusiaan membuat kita bersatu?
Anita Wahid, putri ke-3 Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid, melihat pandemi semakin memunculkan kerentanan bangsa. Di sisi lain, kegotongroyongan yang terus tumbuh di berbagai tempat dan komunitas menjadi modal sosial untuk bangkit bersama.
Berikut wawancara Media Indonesia dengan perempuan yang juga merupakan wakil direktur di lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute dan salah satu penggagas gerakan Sejuta Tes Antigen ini mengenai isu-isu tersebut, Selasa (11/8).
HUT ke-76 RI ini kita rayakan masih dalam masa pandemi. Bagaimana Anda melihat kita sebagai bangsa dan negara menghadapi pandemi sejauh ini?
Sebenarnya masalah pandemi ini, kan, kompleks, ya, kalau buat saya. Permasalahan awal yang membuat kita jadi terlunta-lunta karena kita sempat denial bahwa covid-19 tidak bisa masuk. Itu memperlambat penanganan awal. Lalu saat itu kita tidak punya data baik di wilayah maupun di pusat yang terkonsolidasi dan bisa jadi acuan dan referensi kondisi di lapangan. Akibatnya, banyak sekali keraguan masyarakat untuk memercayai tindakan pemerintah di pusat maupun daerah. Meski memang harus diakui bahwa covid-19 ialah sesuatu yang baru. Seluruh dunia sedang berjuang dan belum pernah ada blue print sehingga memang perlu mencoba untuk melakukan berbagai macam hal.
Bagaimana Anda merefleksikan usia negara ini dalam kemampuan kita menangani pandemi? Apakah kita cukup baik jika dibandingkan dengan negara lain dengan usia, populasi, dan tingkat ekonomi yang mirip?
Menurut saya, daripada mengomparasi, yang paling penting adalah sebenarnya untuk benar-benar menegaskan ini (penanganan) arahnya mau ke mana. Biarkanlah negara lain melakukan apa yang mereka pikir terbaik, tetapi kita harus benar-benar tegas menangani apa yang terjadi di sini. Misalnya saja mengenai banyak masyarakat yang terpapar oleh hoaks sehingga tidak percaya covid-19. Itu tidak pernah di-address oleh yang punya otoritas. Jadinya, akhirnya di saat bersamaan mereka diminta untuk mematuhi peraturan-peraturan tanpa mereka memahami konsepnya. Jadi, kerap tidak nyambung apa yang dipercaya dengan apa yang diminta untuk lakukan dan tidak ada juga jembatannya.
Di saat yang sama penegakan peraturannya masih timpang. Misalnya ada pejabat-pejabat yang dengan cueknya mengadakan acara seperti resepsi, kelanjutan sanksinya tidak jelas, sementara kalau masyarakat ada yang melanggar, langsung heboh. Itu sebenarnya yang harus dipertegas.
Saya juga jujur tidak tahu pemerintah di tingkat pusat dan daerah itu seberapa usahanya untuk bersinergi. Komunikasinya sangat memperlihatkan ego masing-masing tanpa melihat bahwa ada hal lain yang lebih penting untuk diselesaikan bersama-sama dan harus menyingkirkan ego mereka.
Bagaimana Anda melihat kebangsaan dan persatuan kita dalam ujian pandemi ini?
Masyarakat kita itu sangat terpolarisasi. Polarisasi itu membuat masyarakat terbelah menjadi antara pendukung penuh pemerintah atau pengkritik keras apa pun kebijakan pemerintah. Akhirnya kita ribut di tingkat itu-itu saja. Akhirnya perjuangan melawan covid-19-nya itu tidak selesai-selesai. Ujungnya mau ke mana, golnya apa itu belum kelihatan. Untungnya kita masih punya anggota-anggota masyarakat yang masih mau untuk terjun membantu di berbagai bidang selama masa pandemi ini. Itu sebenarnya bisa dibilang modal sosial kita yang paling penting di tengah kondisi saat ini. Ya, itu.
Pandemi ini apakah makin memperlebar jurang perbedaan atau justru mempersatukan?
Sebenarnya saya melihatnya pandemi ini makin memperlihatkan berbagai macam kerentanan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Kerentanan akan informasi yang tidak valid; kerentanan akibat polarisasi, jadi lebih mudah terpecahnya itu makin kelihatan; kerentanan dalam mengadvokasi masyarakat supaya yang paling butuh itu yang didahulukan itu juga makin kelihatan; hingga ketimpangan dalam pembagian sumber daya makin kelihatan. Kerentanan kita di berbagai aspek jadi makin diperlihatkan dan seakan-akan di bawah mikroskop, jadi besar sekali kelihatannya.
Pandemi ini juga semakin memperlihatkan betapa parah polarisasi yang terjadi di masyarakat kita saat ini. Memang banyak juga orang-orang yang sudah lelah berada di salah satu kubu dan mulai berusaha untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang lebih kritis meski masih ada momentum atau dipakai kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak tertentu.
Sebagai bagian Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), bagaimana dalam pengamatan Anda soal tren hoaks di Indonesia?
Memang hoaks itu sudah banyak menyebar sejak sebelum pandemi dan biasanya meninggi kalau terkait dengan peristiwa politik seperti pilpres, pilkada, atau ada peristiwa terkait dengan keagamaan meskipun tidak terjadi di Indonesia. Ketika covid-19, baru bulan-bulan awal saja sudah menyamai jumlah hoaks yang muncul selama proses pilpres.
Nah, bahayanya hoaks soal kesehatan selama pandemi ini kadang, meski sudah lama munculnya, masih terus tersebar dan kadang terus terbarui lagi infonya ditambah. Daya rusak hoaks di tengah pandemi ini luar biasa tinggi. Misalnya munculnya orang-orang yang antivaksin dan percaya teori konspirasi. Mereka tidak lantang hanya di sosial media, tapi juga secara langsung di masyarakat.
Selain itu, sebenarnya penanganan hoaks di sini itu agak lambat. Jadi, orang sudah kadung termakan oleh hoaks. Penanganan ini dalam artian untuk mengintervesi informasi terkait dengan covid-19 sehingga ada kejelasan informasi yang berfungsi sebagai counter narasi dari si hoaks tersebut.
Apa yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi itu?
Literasi digital, media, pemikiran kritis mesti dibangun, juga emotional intelligence, karena kalau kita melihat hoaks, proraganda terkomputasi itu selalu menyasar emosi. Kita dibuat merasa benci, kesal, curiga, dan sebagainya. Kalau masyarakat punya kecakapan emosi yang tinggi, mereka akan mampu mendeteksi emosi yang muncul setiap kali membaca informasi. Kalau merasa ada emosi yang aneh ketika menerima info, mereka bisa mengendalikan diri. Itu penting agar kita tidak mudah diprovokasi.
Kita juga harus menekankan nilai-nilai luhur bangsa seperti persaudaraan, kemanusiaan, dan persatuan. Yang terjadi sekarang itu, kan, abuse of values. Misalnya orang ngomongin Pancasila, tapi untuk mewujudkannya malah kerap melakukan hal yang bertentangan dengan kemanusiaan seperti dengan menghina orang lain dan melakukan tindakan yang tak berkeadilan seperti persekusi. Intinya kita harus benar-benar membumikan lagi nilai-nilai ini supaya semuanya setara.
Bagaimana Anda sendiri mengartikan nasionalisme di era ini?
Kalau bahas nasionalisme itu, kan, kita bicara soal cinta terhadap bangsa dan negara. Setiap orang punya cara yang beda untuk mencintai bangsa dan negara, bisa apa pun kontribusinya. Ada yang mungkin nasionalisme diwujudkan dengan menyuarakan kritik mereka terhadap sebuah isu yang mereka dalami seperti lingkungan hidup, penegakan hukum, dan pembuatan undang-undang. Banyak sekali bentuknya. Berkontribusi lewat berbagai cara dan kegiatan di tengah pandemi ini juga, menurut saya, bagian dari wujud nasionalisme.
Satu hal yang pasti setiap orang tidak bisa memaksakan egonya dengan hanya menganggap cara mereka mencintai bangsa negara ialah yang benar karena itu yang bisa menimbulkan polarisasi. Sekarang ini kata nasionalisme gampang sekali dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, yang umumnya juga sekaligus memanfaatkan polarisasi karena memang itu yang sangat mudah dipergunakan.
Bagaimana mewujudkan kritik yang tidak terjebak dalam polarisasi?
Saya tidak mau membiarkan diri saya terjebak dalam polarisasi. Saya merasa saya butuh punya hubungan yang sehat dengan pemerintah dan unsur negara lainnya. Dalam artian kalau ada program-program yang bagus, saya perlu apresiasi, puji, bahkan kalau perlu, saya support. Tapi kalau mereka melakukan sesuatu yang menurut saya berpotensi membahayakan demokrasi dan menimbulkan banyak sekali masalah di masa depan, saya akan rajin mengkritik. Kritik itu, menurut saya, salah satu cara saya mencintai. Jadi, saya tidak akan hanya puji. Kalau ada yang tidak benar, saya ingatkan.
Mengapa Anda sendiri memilih berkontribusi menangani pandemi lewat gerakan Sejuta Tes Antigen?
Intinya saya tidak mau hanya diam meihat kondisi yang sedang terjadi. Mengapa kemudian membentuk Sejuta Tes Antigen karena dulu waktu awal masuknya covid-19 dan belum ada vaksin kami yakin bahwa testing dan tracing adalah hal sangat penting untuk dilakukan, sementara saat itu tes PCR masih sangat mahal dan lama. Setelah kami mengetahui adanya tes antigen, kami mulai menginisiasi gerakan untuk membantu testing dan tracing itu melalui Sejuta Tes Antigen. Saat ini seiring dengan perkembangan kondisinya, kami tidak lagi hanya fokus di pelaksanana tes antigen, tetapi juga memberikan berbagai bantuan bagi masyarakat rentan, open donasi, edukasi, dan juga yang sekarang jadi fokus kami ialah bantuan oksigen. Intinya sebisa mungkin kami ingin bisa membantu penanggulangan covid-19 dan dampaknya.
Bagaimana upaya yang dilakukan lewat Gusdurian?
Gerakan kami berfokus untuk melakukan berbagai aksi membantu kegiatan kebencanaan melalui Gusdurian Peduli. Mulai membantu dari sisi kesehatan untuk masyarakat di pulau-pulau terpencil, membantu korban siklon tropis di NTT, hingga membantu membuat hunian sementara bagi korban gempa. Intinya kami terus bergerak di berbagai daerah. Kami juga melakukan berbagai kegiatan edukasi di masyarakat, khususnya terkait dengan kondisi pandemi saat ini. Pada saat memberikan bantuan di sekitar 60 kota itu biasanya kami buat posko-posko kecil yang juga kami manfaatkan sebagai titik informasi kepada masyarakat mengenai informasi soal covid-19 dan edukasi lainnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved