Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
SETELAH menerbitkan beberapa cerita pendek beraliran thriller psikologis di sejumlah media, penulis Abi Ardianda merilis debut novelnya pada Juni lalu.
Dengan menggandeng penerbit Bentara Aksara Cahaya (Baca), novel berjudul Kelab dalam Swalayan hadir dengan 283 halaman. Kesan misterius dihadirkan sejak dari bagian muka hingga bagian desain pembuka setiap bab.
Novel ini secara singkat menceritakan perempuan bernama Sonja yang menyimpan banyak misteri dan masa lalu kelam di kehidupannya. Besar dalam keluarga yang tidak harmonis membuat Sonja terjebak dalam kehidupan yang tidak bahagia.
Perjalanan hidup Sonja yang penuh tanda tanya mulai terkuak setelah ia tak sengaja mengunjungi sebuah kelab atau bar privat. Tak seperti kebanyakan bar mewah yang terletak di perkotaan, bar itu bertempat pada bagian dalam sebuah swalayan kecil di daerah pinggiran.
Perkenalannya dengan sosok penari di bar bernama Mega membawa Sonja pada fakta-fakta kelam tentang kehidupannya yang selama ini tak sadar ia alami. Satu per satu misteri mulai terpecahkan dan Sonja mulai bisa menemukan jati dirinya.
Dengan bergenre thriller psikologis, novel ini hadir dengan alur cerita menegangkan. Sedari awal buku, penulis mengajak pembaca ikut sibuk menebak apa sebenarnya yang terjadi dalam kehidupan Sonja, sang perancang busana ternama.
Cerita disajikan dengan mengambil sudut pandang Sonja sebagai orang pertama dan tokoh utama novel. Rentetan monolog dalam pikiran Sonja yang dihadirkan penulis membuat pembaca secara tidak langsung akan bisa memiliki penilaian yang beragam terkait dengan sang tokoh utama.
Sonja diceritakan sebagai sosok pemikir yang tak mau ambil pusing terhadap hal-hal di sekitarnya. Ia terjebak dalam kehidupan yang telah disusun matang oleh sang ibu dan terpaksa mengikuti tuntutan budaya patriarki untuk bisa menikah dan memiliki seorang anak.
Isu-isu sosial memang banyak diangkat dalam novel ini. Pada hampir setiap bab, penulis kerap menyelipkan buah pikirannya terkait dengan berbagai isu itu dalam dialog atau narasi cerita. Mulai isu patriarki, tradisi sunat terhadap perempuan, fenomena dunia digital yang menggerus media konvensional, hingga kehidupan sosialita yang disibukkan kebiasaan pamer kekayaan meski sejatinya mereka kesepian.
'Sebagai orang tua tunggal, Ibu merasa memiliki kuasa penuh menentukan segalanya. Termasuk menjalankan sunat perempuan bagi ketiga putrinya. Pada tahun kami lahir, belum ditetapkan undang-undang yang melarang ritual tersebut. Aku pernah membaca di internet, nasib kami juga menimpa bayi-bayi perempuan di tiga puluh negara lain. Itu mencengangkan, terlebih saat kutahu bahwa baru tahun 2030 PBB akan menghentikan praktik semacam itu. Aku tidak mengerti mengapa masyarakat perlu menunggu sekian lama untuk menghentikan penderitaan yang berlangsung hanya demi melangggengkan tradisi', halaman 32.
Bagi pembaca yang ingin menikmati bacaan sekadar thriller, ramainya novel ini dengan pandangan kritis penulis terhadap beragam isu sosial mungkin dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Namun, di sisi lain, kehadiran opini penulis terhadap isu-isu tersebut juga bisa jadi sarana edukasi dan pemancing pikiran kritis dan keingintahuan pembaca terhadap isu-isu tersebut.
Melalui novel debutnya, penulis sepertinya ingin memaksimalkan peran sastra sebagai salah satu sarana penyampai pikiran kritis dan pendapat dengan cara lebih luwes. Novel ini seakan menggambarkan betapa dalam kehidupan nyata manusia, setiap orang, keluarga, hingga profesi memiliki kisah sendiri yang tak jarang begitu tak terduga.
Selain isu-isu sosial, sesuai dengan genrenya, thriller psikologis, penulis juga menyelipkan beberapa informasi mengenai masalah psikologi yang kerap muncul pada diri manusia. Ia juga menggunakan salah satu masalah psikologi tersebut sebagai inti cerita yang dialami sang tokoh utama.
“Kamu sedang menjelaskan bahwa hidupmu persis seperti salah satu peserta Milgram Experiment?”
“Milgram Experiment?”
“Itu merupakan studi observasi kepatuhan yang dilakukan Stanley Milgram, seorang profesor psikologi dari Universitas Yale. Dia menganalisis sejauh mana seseorang mematuhi figur otoritas ketika mereka diperintah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nurani, atau bahkan berbahaya,” (halaman 154).
Penulis sedapat mungkin selalu menyelipkan penjelasan dari masalah psikologis yang tengah dihadapi tokohnya. Baik di dalam percakapan antartokoh atau dalam narasi monolog yang dilakukan sang tokoh utama. Agaknya ia benar-benar ingin menunjukkan minatnya dalam genre thriller psikologis.
Pada akhir cerita, pembaca akan disuguhi dengan plot twist atau jalan cerita tak terduga yang menegangkan. Meski begitu, sebenarnya ketika mengingat-ingat dengan saksama setiap detail cerita, penulis telah menyebar beberapa petunjuk mengenai kondisi yang dialami sang tokoh utama dan juga menjadi kunci jawaban di akhir cerita.
Bagi pencinta novel ataupun film bergenre thriller psikologis, jalan dan akhir kisah Kelab di Swalayan mungkin sudah bisa ditebak sejak bagian tengah novel. Akan tetapi, ketegangan yang terkandung dalam cerita tetap secara baik dihadirkan.
Kelab dalam Swalayan merupakan novel yang dapat menjadi pilihan menarik para pecinta fiksi psikologis yang menegangkan. Meski diwarnai dengan plot maju mundur dan tak jarang membingungkan, novel ini berhasil menghadirkan imajinasi maksimal bagi pembaca.
Deskripsi yang kaya pada setiap adegan membuat pembaca seakan ikut menyelam ke dalam latar cerita. Percakapan yang dijalin antartokoh juga sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari dan tak terkesan mengada-ada atau berlebihan. (Pro/M-2)
Judul: Kelab dalam Swalayan
Penulis: Abi Ardianda
Penerbit: Baca (cetakan I Juni 2021)
Tebal: 283 halaman
ISBN: 978-602-6486-58-5
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved