Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Menanti Revitalisasi Wayang Golek Sukabumian

BARKAH
04/4/2021 05:25
Menanti Revitalisasi Wayang Golek Sukabumian
Pertunjukan wayang golek Sukabumian kini makin langka. Ini adalah pertunjukan dengan dalang Ki Wawan Dewantara, generasi ketiga keturunan da(Dok.Pribadi)

Wayang golek Sukabumian (WGS) merupakan salah satu tradisi lisan wayang golek purwa yang menceritakan awal perjalanan manusia sejak lahir, hidup, dan kembali ke alam keabadian. Namun, wayang khas Sukabumi ini di ambang kepunahan.

Selain jarang ada lagi yang menanggap, kini bahkan hanya tersisa dua dalang. E Sutarya, salah satunya, yang nyambi menjadi pemotong rambut dan perajin kecrik (jala ikan). Sementara dalang lainnya, Wawan Dewantara mengembangkan seni pencak silat, tari klasik, dan karawitan gending.

Pergelaran wayang ini biasanya dibuka dengan Tarian Emban Geulis dan Emban Gambreng dengan gen­ding pembuka Saripolo-Adipolo, murwa (kekawin pembuka) qun dzat, dan candra (deskripsi cerita). Ciri khasnya terletak dalam sastra perdalangannya yang naskahnya berbeda dengan wayang lainnya. Selain cerita khusus dan cerita carangan, juga mementaskan cerita-cerita galur (Ramayana, Mahabrata, dan Loka Pala).

Di samping itu, juga ada lakon khas cerita Babad Islam dan Babad Banten, antara lain: karya Mama Isra (Amir Hamjah Arab, Patih Nurjaman, Sulton Maulana Yusuf Banten) dan karya Ki Emang (Jaka Pertaka, Melam, Tri Tunggal Jaya Sampurna, dan Trimurti Wianggana). Yang paling terkenal ialah Patih Nurjaman karya Mama Isra dan Trimurti Wianggana karya Ki Emang Sulaeman.

Lakon-lakon tersebut belum ditemukan teks tertulisnya atau tuturan-tuturan yang dicatat oleh pihak lain. Padahal, hal itu memiliki nilai budaya sangat tinggi karena di dalamnya mengandung ajaran kebaikan dan tuntunan hidup bagi manusia.

Pada kurun waktu 1950-1970-an kesenian wayang golek ini berfungsi sebagai media pendidikan dan pene­rangan, yakni nilai-nilai keislaman sangat kental, sedangkan fungsi hiburan hanya sebagai pelengkap. Namun, setelah 1970 kondisinya terbalik, fungsi hiburan menjadi unsur paling dominan, sementara fungsi pendidikan dan penerangan malah sekadar pelengkap.

Belakangan ini WGS sepi panggil­an. Kondisi itu diperburuk dengan masuknya hiburan modern melalui media elektronik seperti radio dan televisi, serta media digital, sementara para pelaku kesenian tradisional, seniman WGS khususnya, belum siap mengimbangi persaingan era baru jagat hiburan modern.

Faktor kedua penyebab kelangkaan ini ialah soal regene­rasi pelaku. Dua dalang yang tersisa saat ini, Ki E Sutarya, dari Kampung Tegaljambu Kota Sukabumi biasa membawakan lakon Trimurti Wiyanggana dan Ki Wawan Dewan­tara dari Kampung Cibeureum Sinarsari Kabupaten Bogor dengan lakon Patih Nurjaman. Kedua lakon ini sudah menjadi pertunjukan yang sangat langka. Para pelaku seni sudah tidak lagi merawat, membina, dan melestarikannya. Tradisi lisan ini semakin kritis.

Secara genealogi, dulu pernah ada dalang bernama Mama Isra yang memiliki murid sekaligus anak bernama Rd Entah Lirayana. Namun, sumber lain menyebutkan bahwa Rd Entah Lirayana ialah salah satu cucunya yang mewarisi bakat mendalang. Selain itu, ada cucu lainnya yang juga mewarisi bakat mendalang, yaitu Rd Andja Wasita, tetapi saat ini keduanya sudah tiada.

Kemahiran berkesenian, khususnya seni Sunda dan gaya mendalang Rd Entah Lirayana telah diwariskan kepada putranya yang bernama Wawan Dewantara. Sementara Rd Andja Wasita mewariskan ilmu mendalangnya kepada Dalang Dayat. Sedangkan dalang E Sutarya murid dari Ki Emang Sulaeman yang berguru kepada Ki Isra. 

Kaderisasi yang dilakukan Ki Wawan Dewantara kepada Atang Sasmita, anak tertuanya, sementara Ki E Sutarya telah mengajarkan ilmu mendalangnya kepada penulis.
Tuntutan masyarakat kepada dalang saat itu yang memosisikan dalang sebagai tokoh masyarakat, berdampak pada pertunjukan wayang dan perilaku dalang dalam kehidupan mereka. Oleh sebab itu, dalang WGS jumlahnya tidak banyak dan sangat lambat penambahan jumlah pewarisnya.

Kemunduran ini diperkirakan mulai terjadi setelah wafatnya para pegiat tradisi lisan tersebut, yaitu Mama Isra, Rd Entah Lirayana, Rd. Andja Wasita, Ki Tolok, Ki Pungut dan Ki Emang Sulaeman. Dari generasi itu hanya menyisakan dua dalang, yaitu Rd Wawan Dewantara (Bogor) dan E Sutarya Sukabumi). Kenyataan ini ditambah dengan berkurangnya loyalitas budaya terhadap WGS, yang ditandai dengan pergeseran haluan para pegiat wayang di Sukabumi. Mereka beralih memelajari wayang golek khas Ban­dung, lebih tepatnya Giriharjaan yang lebih disenangi pemirsa (apresiator) wayang dewasa ini.

Bila wayang golek Sukabumian ini punah, bakal berakibat berkurangnya khazanah pewayangan Jawa Barat, bahkan Indonesia. Ada nilai-nilai kearifan lokal yang juga ikut terkubur. Nilai-nilai budaya asing yang masuk ke Indonesia menjadi sumber nilai baru masyarakat yang berpotensi mengakibatkan bencana budaya. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal WGS bisa menjadi salah satu filter dan penyeimbang masuknya paham asing yang seha­rusnya diwariskan dan dimanfaatkan dalam pembangunan peradaban dewasa ini.

Perlunya pewarisan


Oleh karena itulah pewarisan menjadi penting. Pewarisan meliputi dua bagian besar, yaitu yang menyangkut pelaku atau manusianya. Perlu adanya upaya regenerasi dalang, sinden, perawit dan apresiator atau calon penanggap. Apresiator inilah yang nantinya diharapkan menjadi ‘promotor’ pertunjukan.

Pewarisan yang kedua ialah bagian tradisi lisannya, yakni perlu penguat­an tradisi lisan dengan lingkungan tuturannya. Dalam hal wayang golek Sukabumian, perlu pengemasan ulang pertunjukan dengan pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperkuat komunitas pendukungnya.

Pewarisan dalam bentuk penyebarluasan hasil penelitian melalui seminar dan diskusi-diskusi budaya, mengangkat tema tradisi lisan sebagai ikonik tertentu, serta pewarisan dalam bentuk rekonstruksi pertunjukan yang melibatkan pendidikan secara formal dan informal. Satu hal yang juga penting, pewarisan yang dibuat harus direncanakan secara matang, penganggaran melibatkan pemerintah sebagai penanggung jawab di daerah.

Keluarga pengampu tradisi lisan merupakan sasaran pertama pewarisan. Namun, tradisi lisan jangan dimiliki oleh keluarga saja, biarkanlah menjadi milik bersama, semua bagian yang ada di masyarakat. Pada hakikatnya masyarakat ialah keluarga besar yang menguatkan dan menyimpan memori secara kolektif. Tidak semua maestro tradisi lisan lahir dari kalangan keluarga.

Selain itu, diperlukan langkah-langkah untuk membangun sinergi dan kolaborasi yang baik antara pengampu tradisi lisan, lembaga pemerintahan, kalangan swasta, dan masyarakat dalam rangka melaksanakan upaya pewarisan yang terarah dan terukur.

Pengampu tradisi lisan perlu berupaya membangun citra positif pada pertunjukan dan kesehariannya sehingga keduanya saling menguatkan. Membangun loyalitas budaya dengan kerja sama yang baik antarpribadi, komunitas, masyarakat, dan pemerintah.

Pelestarian tradisi lisan WGS perlu inovasi dan pengembangan pengemasan. Pelestari dan inovator dalam mengembangkan kesenian ini harus berpatokan pada nilai orisinalitas sebagai fondasi kreasi dengan meng­adaptasi kondisi kekinian (ngindung kawaktu mibapa ka zaman). Adaptasi dengan zaman itulah yang memungkinkan WGS tetap kokoh lestari, saling memberi manfaat, dan memiliki komunitas pendukung.

Melalui upaya pewarisan yang dilakukan oleh ka­langan seniman muda di Sukabumi, WGS mulai terus direvitalisasi dan dikembangkan dalam bentuk kemasan pertunjukan wayang golek Sukabumian. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya