Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
DALAM menjalani masa perkuliahan di semester ini, Putu Martha Rindani harusnya mendapat tugas untuk mempromosikan sejumlah destinasi pariwisata yang ada di sekitar Yogyakarta. Namun, lantaran masa kuliah juga bertepatan dengan pandemi covid-19 yang meniadakan kelas tatap muka, ia memutuskan untuk mudik ke Bali.
Martha, begitulah ia akrab disapa, diperbolehkan mengerjakan tugas dari rumah. Demi menyelesaikan tugas mata kuliah, ia kemudian memilih untuk mempromosikan potensi desa wisata Jatiluwih yang terletak di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.
Sementara itu, rekan sekelasnya, Sherina Shinta Dewi, juga memilih objek wisata yang berdekatan dengan tempat tinggal Sherina, yaitu Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Baik Martha maupun Sherina menggunakan formula storynomic dalam mengemas promosi kedua destinasi pariwisata tersebut. Formula itu pada dasarnya menginterpretasikan suatu tempat dalam bentuk narasi penceritaan dan konten kreatif, termasuk dalam wujud digital, sesuai kultur setempat. Dengan storynomic, bukan keindahan suatu tempat semata yang hendak dijadikan komoditas ekonomi, melainkan juga cerita sejarah atau budaya yang bersemayam di tempat tersebut.
Hasil karya Sherina dan Martha kemudian ditampilkan dalam pameran daring. Ketua penyelenggara pameran acara bertajuk ‘Storynomic Desa Wisata: Pameran Kewirausahaan’ ini, Vianda Ardy Fernando, bercerita pameran tersebut sebenarnya sudah menjadi agenda tahunan Himpunan Mahasiswa Arsitektur (Hima Tricaka), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Akan tetapi, berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini pameran digelar secara daring.
“Tujuannya ialah ingin membangkitkan kembali ekonomi dari sektor pariwisata. Dengan melihat masa pandemi beberapa waktu belakangan ini, sepertinya salah satu yang palingterdampak ialah desa wisata. Kami bersama dosen pengampu kemudian berusaha membuat pameran sekaligus promosi agar masyarakat lebih mengenal lagi desa-desa yang selama ini sudah dikenal sebagai desa wisata,” tuturnya lewat aplikasi konferensi daring, Selasa, (1/12).
Nando, sapaannya, mengemukakan pemeran digelar selama enam hari sejak 24 hingga 29 November. Ada 30 karya yang dipamerkan baik dalam bentuk poster dan video naratif. Tim juga menyediakan hadiah untuk meningkatkan antusiasme pengunjung pameran. Uang sebesar Rp500 ribu diberikan kepada mereka yang memberikan rating dan komentar terbaik.
Dengan melihat karya yang dihasilkan mahasiswa, Nando mengatakan musim pandemi ini rupanya memang telah membuat banyak desa wisata menjadi terpuruk. Masalah utama di berbagai daerah relatif sama, yakni menurunnya jumlah pengunjung, yang kemudian memengaruhi omzet atau pendapatan desa wisata tersebut.
Nando pada kesempatan ini turut membuat storynomic. Ia mencoba mengangkat Desa Sambirejo, di Kecamatan Prambanan, Sleman. Sebagai desa wisata, kelurahan Sambirejo memiliki sejumlah atraksi seperti Tebing Breksi di desa Lengkong, atau Candi Ijo di desa Kikis, selain ada juga Watu Langit.
“Memang sebelum pandemi, tempattempat ini sangat ramai, terutama di Tebing Breksi karena ada lahan terbuka untuk pagelaran berbagai acara. Tiap minggu ada konser, event besar atau kecil, tetapi selama pandemi ini sudah tidak ada. Penyewaan tenda dan lain-lain juga berkurang karena tempat ini terkenal untuk melihat sunrise. Selain itu, jam kunjungnya juga berkurang. Kalau dulu bisa 24 jam, sekarang hanya sampai jam 9 malam,” imbuh Nando.
Mahasiswa lain yang turut mengangkat desa wisata di Yogyakarta ialah Maria Rosari Wijayanti. Dalam storynomic-nya, mahasiswa yang akrab disapa Oca ini mencoba mengangkat desa wisata Bendung Lepen, yang terletak di belakang Terminal Giwangan, atau lebih tepatnya di tepi Sungai Gajah Wong.
Oca mengatakan desa wisata ini cukup mudah dijangkau karena masih ada di Kota Yogyakarta. Dalam storynomic yang ia buat, kemudahan akses tersebut juga ditawarkan khususnya bagi masyarakat yang ingin berwisata, tetapi tidak ingin pergi ke tempat yang jauh.
“Menurut pengelola di sana, desa ini dulu sebenarnya hampir sama dengan kampung di pinggir kali pada umumnya. Akan tetapi, yang menjadi daya tarik sekarang ini ialah kebersihan, tidak lagi kumuh atau kotor. Karang taruna di sana sejak 2018 mencoba menginisiasi perubahan sehingga kampung ini menjadi bersih, memiliki lanskap yang sangat bagus, friendly, dan juga bisa menjadi percontohan dan edukasi lingkungan dengan saluran pembuangan yang bersih, bahkan bisa untuk memelihara ikan,” kata Oca.
Pengalaman
Memiliki pengalaman terjun langsung ke lapangan, memberikan kesempatan bagi Oca untuk belajar membuat kategorisasi dari materi yang didapat selama kuliah. Ia mengaku semakin dapat melihat desa wisata secara menyeluruh, mulai aspek budaya, sosial, lingkungan, hingga ekonomi.
Dalam proses identifikasi ia turut melihat, misalnya, budaya ‘srawung’ atau berkumpul. Pada aspek sosial ekonomi, ia juga bisa melihat fenomena ibu-ibu yang dulunya hanya jadi ibu rumah tangga, tapi kini dapat memperoleh penghasilan dari berjualan di lokasi wisata.
“Lalu dari segi lingkungan kita bisa melihat potensi seperti perairan dan perikanan sehingga bisa menjadi daya tarik baru dari berbagai macam hal yang sudah kita kelompokan,” katanya.
Sementara itu, Nando, dari pengalaman ini merasa lebih tahu bagaimana caranya menyusun rancangan bisnis, mulai rancangan pendanaan hingga bagaimana caranya menarik pengunjung dengan atraksi tambahan.
“Kita seperti didorong untuk lebih peka. Bukan hanya melihat, oh ini keuntungan besar berarti desa wisata itu dibilang sukses, tidak sekedar itu, tapi juga melihat potensinya apa, apa yang dibutuhkan, jadi kita harus peka dengan masyarakat dan pelestarian lingkungan dan budaya atau gaya hidup masyarakat di sana,” imbuh Sherina.
Lain halnya dengan Martha, ia merasa Jatiluwih sebenarnya sudah cukup terkenal sebagai desa wisata. Meski begitu, ia juga belajar bagaimana cara mengangkat kembali esensi atau inti dari desa itu sendiri atau dalam hal ini beras merah.
“Kalau sekarang orang ke sana mungkin hanya melihat pemandangannya, melihat sawahnya, tetapi produk berasnya sepertinya belum terlalu dieksplor. Maka dari itu kita coba angkat berasnya agar penghasilan yang didapat masyarakat tidak hanya dari sektor pariwisata tapi juga produknya,” pungkas Martha. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved