Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
SANDUR merupakan pertunjukan bocah angon atau anak gembala untuk menghibur diri dan masyarakat. ‘Lare angon sesandhuran kangge nglipur ati para sedulur’ (Anak gembala bermain sandur untuk menghibur hati saudara semua). Sandur bisa diartikan sandhing luhur, yakni berdampingan dengan leluhur, atau sandhangan dhuwur, yakni busana luhur.
Kata dhuwur dan luhur berkaitan erat dengan leluhur atau yang dimuliakan, dijunjung tinggi. Maka itu, pertunjukan sandur merupakan aspirasi spiritual bagi leluhur yang berjasa ‘mbabat alas dadi desa sing reja dadi dukuh sing makmur’(membabat hutan menjadi desa mulia dan dukuh yang makmur). Sandur juga diartikan sebagai beksan ngedur, yang artinya menari semalam suntuk.
Secara kontekstual sandur memiliki pertalian erat dengan pedhayangan, yakni tradisi penghormatan leluhur desa dengan ritual nyekar di tempat yang diyakini dhayang bersemayam. Biasanya pertunjukan sandur dilakukan pada beberapa pedhayangan secara berurutan, pentas di tanah lapang, maupun pelataran rumah.
Sandur hadir dan berkembang di dalam masyarakat petani daerah Jawa Timur, terutama Tuban, Lamongan, dan Bojonegara, yang disajikan sebagai aktivitas ritual, mencerminkan peralihan budaya, dan kesenjangan terhadap modernitas. Sandur memiliki dimensi sosioreligi terkait pranata budaya serta fakta sosial budaya dalam sistem nilai kehidupan masyarakat. Dalam tatanan sosial masyarakat petani, marginalitas dan egalitarian memunculkan spontanitas, improvisasi, dan juga permainan yang terkait dengan religiositas (tindakan magis, kamuflase, dan penyelesaian simbolis).
Sandur menyajikan permainan dramatik yang menampilkan empat tokoh utama, yaitu Balong, Petak, Tansil, dan Cawik, dengan berlatar cerita kehidupan masyarakat agraris. Sandur mengungkap kebijakan ekologi bertani, perburuan, perdagangan, bahkan sampai pada budaya urban yang ditengarai tumbuhnya peluang mencari pekerjaan di kota.
Permainan disajikan dengan berbagai atraksi ritual cukup magis yang menyertai cerita sebagai bentuk hiburan. Permainan dramatis yang ditampilkan lewat garap medium gerak, vokal, permainan musik, citra busana, maupun penokohannya merupakan citra estetika masyarakat petani. Model estetika ini menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat untuk menjaga kesadaran refleksi, fakta penipuan diri, hidup dengan tetap mengacu pada kebenaran hidup, dan mendialogkan langsung keberadaan manusia.
Tahapan pertunjukan
Tahap pertama ialah menentukan pemain Balong, Petak, Tangsil, dan Cawik. Pemilihan pemain diambil dari kelompok bocah angon yang belum khitan karena dianggap masih suci sehingga dapat menjadi media masuk dan turunnya roh leluhur. Para pemeran Balong, Petak, Tangsil, dan Cawik harus bertirakat, tidak boleh keluar rumah selama 7 hari, dan pada penghujung tirakat mereka berpuasa ngebleng.
Selanjutnya ialah ritual nyetri sandur, yakni berziarah ke tempat-tempat keramat (makam leluhur, punden) agar pertunjukan lancar. Juru kunci menuntun para perziarah, diikuti oleh Balong, Petak, Tangsil, dan Cawik, serta tambahan panjak hore (pemimpin pertunjukan). Semua peralatan penting dibawa, yakni busana sandur, ebeg (jaran kepang), tali (kentheng), kendang, dan gong bumbung, agar mendapatkan kekuatan sehingga pertunjukan berjalan dengan baik. Nyetri dilakukan selama tujuh hari dari makam satu ke makam lainnya.
Sebelum sandur dimulai, juru paes sandur dan tukang sajen mempersiapkan sesajen, meliputi tumpeng beserta lauk pauk, cobek, uleg-uleg, daun keluwih, dupa, merang, ketupat, lepet, dan berbagai jenis jajanan yang merefleksikan citra serta cita rasa kemakmuran yang diinginkan masyarakat.
Tahap pertama pertunjukan dinamai gambuh kalangan, yakni menyajikan lagu-lagu pembukaan oleh panjak hore untuk memberikan isyarat supaya penonton datang. Para pemain siap, panjak hore duduk mengelilingi gagar mayang yang dipancangkan di tengah arena berukuran sekitar 6 x 6 meter. Pada tiap sudut dipancangkan tiang (patok) yang dihubungkan dengan tali sehingga membentuk arena. Ada hiasan janur kuning, kupat, lepet pada sisi kễnthễng/tali pembatas disertai lantunan mantra; ‘Bismillahhirrohma nirohim/lale lo lahraselolah/lolalela lolelala lo la lelalolalo lela/a lelaloyakelolalalolalelalo/yakelolaraselollah’.
Kemudian dilanjutkan dengan melantunkan syair berikut; ‘kembang ketupuk kanca Sandhur pada mlumpuk/yak elolah raselolah/ lolelelalolelalalo lalela lo lalolela/ lalelalo yak elolala lolalelalo nyak elola raselollah’.
Gambuh kalangan selesai, dilanjutkan gambuh pedanyangan, berupa permohon an izin kepada leluhur. ‘Kembang trenie njauk idhi danyang kene/yake lolah raselolah/lolelelalolelalalolalelalo lalolela/lalelalo yak elolallolalelalo/yak elola raselollah’. Lagu ini dinyanyikan berulangulang, syair untuk baris pertama yang diganti sesuai dengan kebutuhan, sedangkan empat baris selanjutnya tetap.
Urutan berikutnya ialah bendrong lugasan. Proses diawali panjak hore melantunkan lagu sorak hore muncul dari belakang kerumunan penonton. Prosesi meliputi tukang oncor, diikuti tukang umpet, sesaji Balong, Tangsil, Petak, Cawik, tukang kandut, dan paling belakang tukang oncor. Prosesi menari mengelilingi gagar mayang tiga tali untuk menuju tempat paras yang telah disediakan. Adegan ini disebut bendrong lugasan karena para pemain belum memakai busana sandur, masih lugas, memakai pakaian sehari-hari.
Adegan selanjutnya gambuh paras. Para pemain dirias dan mengenakan busana lengkap. Mereka dituntun memasuki dunia sakral dan magis sandur. Selesai paras, pemain sandur diarak kembali memasuki kalangan pada urutan gambuh lugasan, yaitu terdiri atas paling depan tukang oncor dan diikuti Tangsil, Petak, Cawik, dan Balong, serta tukang kandut, tukang umpet, dan paling belakang tukang oncor.
Prosesi menari mengelilingi panjak hore tiga putaran sampai di sisi timur. Mereka berjongkok menghadap panjak hore dan gagar mayang. Adegan ini disebut gambuh sandur, pemain berbusana lengkap tetapi masih berkerudung.
Bagian inti
Pertunjukan diawali dengan tandhuk, yaitu resitasi atau pembacaan mantra` memasuki inti pertunjukan ritual sandur. Setiap dua bunyi vokal sebelum akhir kalimat dibaca dengan suara memanjang. Setiap akhir pembacaan kalimat-kalimat mantra disahut dengan kata inggih tanda mengiyakan/dikabulkan--secara serentak oleh pemain sandur dan penonton.
Berikutnya adegan golek gawean. Pertunjukan diawali dengan perjalanan hidup Petak mencari pekerjaan kepada Wak Germo dan Balong. Petak diterima Balong, membantu menggarap. Namun, Balong tidak punya modal sehingga Petak disuruh menggadaikan bedil (senapan) ke Wak Germo. Uang hasil gadai sebagian untuk nanggap sindhir (tayub) dan sebagian untuk ‘babat alas’ membuka ladang.
Pada adegan ini, Petak disuruh Balong menjual bedil. Hasil penjulan bedil digunakan untuk nanggap sindir dan sebagian untuk babat alas. Babat alas dilanjutkan dengan mengolah tanah/lahan pertanian. Adegan selanjutnya, adegan lucu menceritakan Wak Kaji mencuri babi hutan, yang sebelumnya sudah dicuri oleh Cina Dengklang. Adegan merupakan sindiran bagi seseorang yang berbuat tanpa melihat kepatutan perbuatan dengan keduduk an yang disandang. Setelah lawakan, makanan kemudian disajikan lanjutan adegan bercocok tanam yaitu
undhoh-undhoh menceritakan petani memanen tanaman di ladang.
Berikutnya ialah pertunjukan yang menggambarkan kehidupam sosial dalam berumah tangga. Adegan pertama ilah bancik dengkul dan bancik pundak. Dalam bancik dengkul, para pemain sandur bergantian naik di atas lutut tukang tandhuk sebagai simbol manusia setengah dewasa dan punya pengalaman luas. Bancik dhengkul juga berarti mening galkan bumi, simbol pendekatan diri kepada Tuhan.
Selanjutnya ialah pertunjukan yang menggambarkan masalah sosial dalam kehidupan sehari-hari, dalam mendapatkan martabat dan kemuliaan hidup. Adegan pertama ialah madeg ratan, yakni mencari tempat untuk dijadikan jalan, dilanjutkan Petak minggat tentang keinginan Petak untuk menikah, tetapi tidak diizinkan oleh orangtuanya.
Manten-mantenan merupakan kelanjutan dari adegan Petak minggat, menceritakan pernikahan Petak dengan Cawik. Berikutnya besan-besanan, kisah tentang Cawik yang seolah digoda oleh Balong, yang menyebabkan kemarahan Petak. Kemarahan Petak terhadap Cawik menyebabkan retaknya pernikahan, tapi akhirnya rujuk kembali setelah orangtua menyetujui pernikahan.
Bagian akhir
Bagian akhir pertunjukan berupa kalongkingan, pemain menari dengan mengelilingi gagar mayang. Ketika seorang anak sandur tidak sadarkan diri, juru kunci melepas seluruh aksesori busana sandur. Anak tersebut digendong mengelilingi gagar mayang, diikuti para penari. Suasana magis mulai terasa saat anak itu diikat erat-erat dan dimasukkan ke kolong meja yang ditutup kain. Dalam hitungan detik anak tersebut bebas dari ikatan tali dan keluar dari kolong meja.
Kalongkingan merupakan adegan trance di penghujung pertunjukan. Pemeran kalongking menaiki tali yang direntangkan pada dua tiang pancang bambu. Pada ketinggian sama dengan pohon bambu, diterangi obor dari bawah; dimensi gelap terang, tampak dan tidak tampak, jelas dan samar, bumi langit, atas dan bawah. Adegan merupakan kode simbolik kehidupan.
Pencapaian pencerahan tersebut sangat dekat dengan isbat padhang kalingan peteng atau sebaliknya peteng kalingan padhang, terang tertutup oleh kegelapan atau kegelapan tertutup oleh cahaya terang. Ruang tafsir yang dilontarkan merupakan dimensi ruang batin masyarakat dalam mencari pencerahan melalui kedalaman ego memahami dimensi ruang sufi yang suci dan imanen. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved