Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
SEPENGGAL deskripsi tradisi suku Mentawai, muturuk, menjadi pembuka setiap bab dalam novel Burung Kayu. Seolah, Niduparas Erlang, sang novelis, mengajak pembaca untuk ikut menari dan memberi penghormatan kepada kisah yang akan dituturkan dalam novel antropologis ini.
Dengan menyaru sebagai narator, kojah yang disampaikan penulis berhasil mendetailkan peristiwa ritual yang dilakukan oleh para sikerei (dukun) sebagai purwaka cerita.
Membaca halaman-halaman awal novel ini, rasanya sukar tidak mengerutkan kening. Sebab, Niduparas banyak menggunakan katakata (istilah) dalam bahasa lokal. Dengan sengaja tidak disertakannya catatan kaki atau glosarium untuk menjelaskan kata-kata tersebut dalam bahasa Indonesia. Namun, ia punya motivasi tersendiri.
“Seolah kalau tidak mencantumkannya dianggap aneh, atau tidak layak. Justru bahasa daerah mestinya berkontribusi memperkaya kosakata bahasa Indonesia, yang saya pikir sampai hari ini masih belum memadai untuk menampung berbagai khazanah pengetahuan lokal yang kita miliki di berbagai daerah,” tuturnya dalam satu perbincangan dengan @klubbukunarasi di platform Instagram, baru-baru ini.
Tak dimungkiri, kenekatan Niduparas itu, berikut alur plot yang nonlinier, membuat pembaca butuh tenaga ekstra untuk memahami Burung Kayu. Tapi, ketika pembaca mulai dapat ‘meraba’ konteks istilah-istilah lokal yang digunakan, tarikan magis dari jawara Kusala Sastra Khatulistiwa 2020 ini berangsur terasa.
Perlahan tersingkap gambaran utuh tentang kompleksitas persoalan hidup yang dihadapi komunitas masyarakat tradisional Mentawai, yang terwakilkan oleh tokoh Saengrekerei, Taksilitoni, dan Legeumanai, tatkala menghadapi berbagai konflik dalam hidup mereka.
Secara garis besar, Burung Kayu berupaya mengisi keterbatasan literasi daerah, khususnya Mentawai, dalam kesusastraan Indonesia. Dengan mengusung pendekatan antropologis yang bersumber dari pengalaman penulis saat bersinggungan langsung dengan masyarakat adat Mentawai, novel ini cukup berhasil memotret konflik multidimensional yang mereka (suku Mentawai) alami.
Pertama, konflik kultural yang dikisahkan menjerat para tokoh utama dalam novel ini, yang terpaksa harus hidup dalam warisan dendam yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kemudian, ada pula konflik struktural yang mereka alami saat harus berhadapan dengan gempuran modernitas oleh korporasi dan pemerintah.
Seluruh aspek ini dituturkan oleh Niduparas dalam perspektif pelaku (subjek) sehingga tetap berada dalam koridor keautentikannya.
Potret masyarakat
‘Sebatang pohon katuka, pohon tinggi besar yang tak lagi berdaun tak lagi berdahan di bantaran sungai roh-kunang-kunang, tegak menjulang dalam kesendirian. Menunggu Aman Legeumanai menenggerkan seekor burung kayu yang hampir rampung ditetaknya itu’ (halaman 14).
Bagi masyarakat Mentawai, burung kayu adalah perlambang dari ‘kemenangan’, pahatan-pahatan kayu yang dibentuk burung ini biasanya akan muncul saat suatu uma (suku) terlibat dalam pako’ (perseteruan adat) dengan uma lain. Simbol burung ini menjadi pralambang atas gengsi dan kebanggaan dari tiap uma yang berkonflik. Peletakannya pun tak sembarangan. Burung pahatan itu harus dipancangkan pada batang pohon katuka (sejenis pohon berkayu keras) yang paling tinggi di wilayah tiap-tiap uma.
Burung kayu itu pulalah yang menandai titik awal pusaran cerita. Saengrekerei, dari Uma Baumanai, penghuni kawasan hulu Sungai Rereiket di pedalaman Pulau Siberut, merasa bersalah atas kematian kakaknya, Bagaiogok. Sang kakak tewas sebagai akibat dari perseteruan dengan Uma Babuisiboje, yang kali itu dipantik ulah Saengre kerei.
Rekonstruksi perseteruan antarsuku yang tinggal berdekatan di hulu sungai tersebut apik tersaji di bab-bab awal novel. Membacanya membuat kita dapat merenungkan fenomena konflik dan kekerasan sosial yang sempat menjadi bagian dari sejarah kelam masyarakat Mentawai.
‘Semua uma, dulu, tinggal di Simatalu. Tetapi perseteruan antara satu uma dan uma lain yang tinggal tak berjauhan sering juga terjadi. Apalagi ketika terlalu banyak orang dalam sebuah uma, terlalu sedikit daging yang dapat dibagikan sebagai otcai, dan terlalu banyak perselisihan. Begitu pun dengan leluhur kita Baumanai, yang terlibat pertengkaran dengan Babuisiboje’ (halaman 28).
Taksilitoni, istri mendiang Bagaiogok, sangat terpukul sepeninggal sang suami yang menjadi korban pako’. Layaknya perempuan suku Mentawai lainnya yang terkekang oleh sederet aturan adat, ia seharusnya kembali ke uma asalnya karena sudah tidak memiliki ikatan lagi dengan keluarga sang suami. Anak semata wayangnya pun, Legeumanai, harus ia serahkan kepada uma suaminya.
Namun, perempuan tersebut memilih untuk mengakali adat agar bisa tetap bertahan di uma sang suami. Ia ingin mewariskan dendam kematian suaminya kepada Legeumanai. Untuk memuluskan niatnya, Taksilitoni pun menerima pinangan Saengrekerei yang merasa prihatin atas kondisi ipar dan kemenakannya.
‘Betapa berat duka perempuan janda. Bahkan, anak lelakinya pun akan direnggutdiceraikan darinya. Taaakkk... Taksilitoni tak akan pergi, tak berniat kembali ke uma orangtua dan saudara-saudara lelakinya. Ia akan bertahan di uma keluarga mendiang suaminya. Demi anak lelakinya, demi Legeumanai yang akan mewarisi segala yang dimiliki maenya dan kelak membalaskan kekalahan uma mereka oleh uma seberang’(halaman 68).
Namun, niat tersebut akhirnya kandas. Saengrekerei justru tak ingin meneruskan dendam turun-temurun yang telah menewaskan kakaknya. Ia memutuskan untuk keluar dari uma dan pindah ke barasi (dusun) baru yang dibuat pemerintah, untuk menghindari percekcokan yang kelewat panjang antarkeluarga se-uma-nya pascakematian sang kakak.
Lompatan plot
Jika pembaca cukup awas, tak perlu membolak-balik halaman untuk mengingat korelasi antarplot, yang dalam novel ini terkesan melompat-lompat. Semisal, narasi tentang kepindahan keluarga kecil Saengrekerei ke barasi yang menjadi narasi klimaks dari Burung Kayu, justru sengaja penulis letakan di bab pertama novel ini, seakan menghadirkan kesan bahwa penulis sengaja melompati episode tersebut.
‘Sampan sepanjang lima repa itu terus melaju, mengikuti aliran air keruh cokelat yang meluap. Saengreke rei sesekali mendayung, mengendalikan arah sampan, menghindari batang-batang kayu yang merintang.
Sebagaimana ia menghindari percekcokan di dalam uma yang kelewat panjang. Ah, sebetulnya, ia tak pernah menyangka akan terlepas dari ikatan keluarga se-uma dan mengarungi nasibnya sendiri di batang sungai ini. Seperti para leluhurnya dahulu, seperti kisah buah sipeu itu, seperti kisah babi sigelag itu’ (halaman 6).
Di barasi, mereka memulai hidup baru. Tidak ada lagi adat yang mengekang seperti ketika di uma. Saengrekerei seakan menemui peradaban yang benar-benar berbeda. Orang-orang makan beras, memeluk agama-agama baru, dan yang membuatnya senang adalah ketika melihat anak angkatnya, Legeumanai, berkesempatan mengenyam bangku sekolah hingga ke perguruan tinggi.
Ia pun mau tak mau harus mengikuti budaya baru yang ada di hadapannya; sebagian besar penghuni barasi tak memiliki ikatan saudara sesuku atau se-uma. Mereka berasal dari suku-suku yang berbeda. Di barasi, untuk mempererat hubungan pertemanan para lelaki berkumpul di sapou (rumah) milik kepala dusun. Di sana mereka membicarakan berbagai hal tentang keseharian masing-masing.
Namun, suatu peristiwa memaksa sebagian warga di barasi, termasuk keluarga Saengrekerei, meninggalkan tempat tersebut. Di kediaman baru, Saengrekerei ditunjuk sebagai kepala desa. Lewat penunjukan tersebut, sekali lagi pembaca kembali dipaksa untuk memahami lompatan alur cerita yang disajikan oleh Niduparas saat menggambarkan babak baru perjalanan hidup Saengrekerei.
Di babak itu pula, pembaca dapat menyimak secuplik persoalan akar rumput setempat lewat konflikkonfl ik nan dramatis yang menimpa Saengrekerei. Dari terkena tuduhan korupsi hingga ia rela melakukan Tippu Sasa (upacara pemanggilan roh sebagai pengadil) untuk membuktikan dirinya sampai berurusan dengan salah satu perusahaan pemegang konsesi hutan yang terlibat konflik lahan dengan warga barasi. Akibat konflik tersebut, warga yang ia pimpin terpecah. Ada yang berpihak kepada perusahaan dan bersedia jika tanahnya disewa oleh perusahaan karena diimingimingi uang. Sebaliknya, ada yang memilih untuk melawan dengan merusak fasilitas milik perusahaan yang ingin merampas tanah-tanah mereka.
Titik balik
Titik balik dari novel ini terjadi dalam plot akhir yang diawali dengan Muturuk (3), yang lagi-lagi memaksa pembaca untuk melompat ke plot dan tokoh lain, yaitu Legeumanai muda (anak angkat Saengrekerei) yang mendadak demam tanpa sebab. Menurut ilmu medis, tak ada penyakit yang bersarang di tubuhnya.
Legeumanai sendiri telah cukup lama meninggalkan kedua orangtuanya yang semakin renta di barasi. Ia tinggal di kota, melanjutkan sekolah, berganti agama, dan bekerja seperti layaknya orang-orang kota. Namun, kesakitan yang teramat sangat itu memaksanya untuk kembali ke barasi.
Ia sempat kaget lantaran sang ibu, Taksilitoni, ternyata juga telah lama tak sadarkan diri. Ayah angkatnya yang tampak putus asa kemudian menceritakan kisah lama tentang tanah kelahirannya. Menurut Saengre kerei, penyakit yang diderita Legeumanai akan sembuh jika ia mendatangi tanah kelahirannya di hulu Sungai Rereiket.
Maka, bak menggenapi suatu siklus, dimulailah perjalanan ‘pulang kampung’ yang dilukiskan oleh penulis sama seperti ketika keluarga Saengrekerei meninggalkan uma besarnya.
Dalam perjalanan pulang tersebut, pemuda Mentawai yang telah tercerabut dari akarnya itu berusaha mengingat beberapa penggal lagu yang pernah ia nyanyikan semasa kanak-kanak, saat masih tinggal di uma leluhurnya. Pikirannya menggerayang menyusuri kemungkinankemungkinan yang ia bayangkan akan jadi masa depannya.
‘Legeumanai merasa bahwa ia hanyalah sebuah anak panah tanpa racun yang begitu jauh dilontarkan dari busur para roh leluhur dan daun-daun penghidupan para sikerei. Telah begitu jauh ia mengembarai rantau, mengembarai semesta yang bukan milik leluhurnya’ (halaman 141).
Novel perdana Niduparas ini tampaknya tak cukup untuk menampung luapan kisah yang ingin ia ceritakan. Banyak narasi yang terasa masih menggantung dalam 14 bab yang dibubuhkannya. Namun, harus diakui, Burung Kayu berhasil menyuarakan tentang masyarakat adat Mentawai yang tengah sempoyongan menghadapi gempuran peradaban mengatasnamakan kesejahteraan. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved