Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SEKELOMPOK manusia terus berlari. Meski hanya tampil dalam kumpulan sosok, cukup mudah dibayangkan mereka berlari kencang. Begitu saja terus. Sebelum visual manusia berlari, ada beberapa gambar yang menjadi penanda Jakarta.
Ya, kota itu selalu menjadi medan yang tak pernah habis untuk dikulik dan dimaknai ulang. Perkembanganya sebagai sebuah kota yang berisi manusia beserta dimensi sosialitasnya. Tato Kastareja mengambarkan manusia-manusia metal yang tengah berlari tanpa henti seperti mesin. Baginya, sesungguhnya mereka adalah manusia biasa yang dipengaruhi dan mendewakan teknologi. Secara fi ik dan mental, mereka diterpa peradaban dunia modern, dan Jakarta adalah pusatnya.
“Manusia-manusia metal Jakarta. Berlari mencari dan menuju hari depan penuh makna dalam kehidupan ini,” terang Tato.
Tangkapan itu lalu diterjemahkannya dalam karya Cyber Man (2020). Karya itu salah satu dari 40 karya yang dipamerkan dalam tajuk JE|JAK|KARTA secara daring di galnasonline.id, mulai 28 Oktober. Pameran diselenggarakan Galeri Nasional Indonesia (GNI) bersama Perupa Jakarta Raya (Peruja) serta dikuratori Citra Smara Dewi dan Heru Hikayat. Pameran itu bakal menampilkan 40 karya berupa lukisan, patung (3D), video art, dan sketsa, dari 39 perupa yang tergabung dalam Perupa Jakarta Raya (Peruja).
Menurut Heru Hikayat, Jakarta menjelma jadi simbol yang gagah, agung, dan militeristik. Jakarta sebagai ibu kota negara sering kali ditautkan dengan narasi-narasi besar tentang bangsa. Namun, di sisi lain, Jakarta sesungguhnya bisa dibayangkan sebagai rumah.
Berangkat dari pertimbangan tersebut, para perupa diajak berkarya dengan memaknai kembali berbagai peristiwa di Jakarta, tentu saja melalui kacamata kultural. Seperti upaya menelusuri jejakjejak sejarah (rupa) yang pernah terjadi di kota ini. Bagi Peruja, mungkin hal ini bisa diumpamakan seperti menengok kembali rumah sendiri. Menyelisik bagian-bagiannya, detail yang dikenali dengan sangat baik, atau sebaliknya detail yang cenderung terabaikan.
Kurator Citra mengungkap pameran itu juga tidak lepas dari semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan elan berkarya. Hal itu bisa ditelusuri pada kehadiran Pasar Senen sebagai ruang publik dalam geliat seni rupa di era 1950-an dan sanggar seni seperti Sanggar Gelanggang Garajas di Jakarta Selatan dan Sanggar Gelanggang Planet Senen di Jakarta Pusat pada era 1970-an. Semangat itulah yang menjadi memori kolektif bagi sebagian anggota Peruja. Dengan begitu, menurutnya, eksistensi Peruja sangat penting dalam konteks membaca ulang perkembangan seni rupa Jakarta. (Zuq/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved