Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
PERTENGAHAN Agustus ini saya teringatkan pada kata-kata bijak yang pernah diucapkan Albert Einstein. Yang benar tidak selalu populer dan yang populer tidak selalu benar.
Sebermula ialah pidato kepala negara ini. Kutipan pidatonya berikut ini. “Demokrasi memang menjamin kebebasan. Namun, kebebasan yang menghargai hak orang lain. Jangan ada yang merasa paling benar sendiri dan yang lain dipersalahkan. Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri.”
Poin yang langsung menyita perhatian saya ialah ‘jangan merasa paling agamis sendiri’. Saya paham maksudnya, mengingatkan orang agar tidak bersikap merendahkan orang lain karena merasa diri lebih baik berdasarkan ukuran agama. Mengingatkan ialah hal yang baik. Namun, sepertinya ada yang kurang pas di situ.
Bukan, bukan makna bahwa merasa paling agamis sendiridilarang, sedangkan merasa paling agamis berdua, bertiga, atau lebih tidak apa-apa.
Hanya satu kata. Agamis. Tepatkah agamis dipakai dalam pidato itu?
Pertama-tama saya mengecek dulu isi Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, adakah agamis di situ. Saya harus meyakinkan diri lagi karena dengan kaidah bahasa Indonesia yang teratur, kata sifat yang terkait dengan makna bersifat agama atau religius seharusnya bukan agamis. Kata agamis seharusnya dibentuk dari kata agam dan sufiks serapan –is.
Ternyata, dari kata agamis, saya diminta kamus besar itu untuk langsung menengok agamais. Kata agamais dikategorikan sebagai kata sifat dan maknanya ialah ‘agamawi’.
Dengan makna itu, saya berpindah lema untuk mengecek kata agamawi. Kata agamawi dikategorikan sebagai kata sifat dan maknanya ialah ‘bersifat agama; religius’. Kalimat yang dicantumkan sebagai contoh ialah Bangsa kita adalah bangsa yang agamawi.
Sampai di sini sesungguhnya sudah jelas bahwa kata yang tepat ialah agamais. Kalau maksud yang ingin disampaikan ialah ‘jangan merasa paling religius’ (sendiri atau bersama-sama), kata yang digunakan seharusnya agamais atau agamawi--yang ini sangat jarang terdengar dari percakapan orang.
Bagaimana dengan kata agam? Ada tiga agam muncul dalam kamus besar tersebut. Pertama ialah agam yang berkategori kata sifat dan bermakna ‘besar, gagah, kuat, dan tegap’. Tubuhnya agam. Itu kalimat contohnya.
Yang kedua ialah agam yang juga kata sifat, tetapi maknanya ‘tidak ada akhir; larut’. Tidak ada contoh kalimatnya dan orang mungkin agak lama untuk menghubungkan konsep ‘tidak ada akhir’ dengan ‘larut’, apakah tidak ada akhir karena sudah larut? Itu mungkin ada di bidang fisika dan kimia.
Yang ketiga ialah agam berkategori kata benda dengan makna ‘bandeng’. A Djamali Burhanuddin dan AS Genisa dalam Nama-Nama Daerah Ikan Laut di Indonesia (1998) menulis bandeng disebut agam di Bugis, tapi menurut sumber-sumber lain, misalnya Buku Persyaratan Permohonan Indikasi Geografis Bandeng Asap Sidoarjo Forum Komunikasi Masyarakat Tambak Sidoarjo (2013), di Sumatra. Kembali ke ujaran Einstein, yang benar--dalam hal ini agamais--tidak selalu populer dan yang populer-- agamis--tidak selalu benar.
Kamu yang ingin mengetahui apa itu ice breaking, berikut penjelasan tentang hal tersebut!
Yuk main teka-teki lucu dan menghibur ini dengan teman.
SUDOKU atau dikenal juga dengan tebak angka (number place) merupakan teka-teki logika.
Bapak tuh KORUPTOR yang ciamik, Paling berani tapi okeeeee. Ampuuun... Jangan dipuja puji dooong..
PANDEMI covid-19 menghantam hampir seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali kesehatan jiwa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved