Headline
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.
Bagaimanapun, manusia yang masih bernapas hari ini masih sebagai bagian dari semesta covid-19 dengan segala problematiknya. Tidak bisa disangkal. Bahkan sampai sekarang pun, derita akibat covid-19 masih sangat terasa. Jadi siap saja, curhat akan berasa begitu mengena.
Selalu ada pelajaran terpetik dari segala peristiwa, termasuk wabah covid-19. Sesingkat itulah pesan dari buku Wuhan, Darimu Aku Belajar, Karenamu Aku Merindu (Kisah Inspiratif WNI di Wuhan).
Buku ini memulai latar ruang dan waktu pada Januari 2020, ketika penguncian total (lockdown) diberlakukan pemerintah Tiongkok atas Wuhan. Banyak warga negara Indonesia (WNI) yang masih terjebak di Wuhan dan wilayah sekitarnya. Mereka bertahan di tengah kondisi fasilitas lumpuh layaknya kota mati. Demi cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dan bakti kepada negeri.
Pemerintah Republik Indonesia lalu menghendaki upaya penyelamatan terhadap 238 WNI dari Provinsi Hubei ke Indonesia. Dari situlah kisah bermula. Semacam bunga rampai, buku ini tidak hendak menyajikan peristiwa runtut nan rapi. Sebagai gantinya, fragmen-fragmen peristiwa disusun menjadi bagian yang berkait, bertindih, dan berkelindan.
Buku ini ditulis keroyokan oleh banyak penulis, hampir 40. Setiap mereka punya titik tolak sendiri dengan ketertarikan masing-masing. Kepedihan tentu menjadi latar dari banyak cerita para WNI.
Buku itu terdiri atas empat bagian, yaitu Kata Pengantar, Kumpulan Kisah, Salam dan Terima Kasih, serta Epilog. Beragam kisah tertuang di dalam buku 238 halaman ini. Campur-campur. Ada yang hanya mengisahkan kepedihan.
Banyak pula pelajaran yang bisa ditemukan dalam tiap lembaran buku ini. Semisal, betapa menakjubkan semangat kebersamaan dan persatuan warga di Wuhan dalam menghadapi pandemi. Tanpa politisasi, rasa perseteruan, dan pengambinghitaman. Mereka mendukung satu sama lain. Saat penguncian total menjadi keharusan, suara dari jendela rumah menjadi hiruk semangat.
“Pada 27 Januari 2020, warga Wuhan membuat gerakan solidaritas membuka jendela dan meneriakkan kata ‘Wuhan jiayou’ untuk saling menyemangati di antara mereka. Suaranya terdengar bersaut-sautan di seantero kota karena siapa pun mereka yang di Wuhan adalah senasib sepenanggungan dan tidak ada yang saling menyalahkan,” tutur mahasiswa School of Economic and Business Administration Chongqing University, Hilyatu Millati Rusdiyah (hlm 20).
Tahun 2020 adalah warsa istimewa. Ada tanggal cantik di Februari, 20-20-2020. Catatan waktu yang banyak diburu untuk menandai momentum besar pernikahan, kelahiran, jadian, hingga putus. Bagi para WNI di Wuhan, bisa jadi tidak demikian.
“Apa yang paling mengharukan pada tanggal 02.02.2020? Kalimat ‘Penerbangan ini adalah penerbangan yang akan membawa Anda pulang ke Indonesia; dan Selamat kembali ke Tanah Air’,” begitu menurut mahasiswa Central China Normal University (CCNU) Wuhan, Yulianna L Chaniago (hlm 62).
Saat berada dalam kondisi tertekan, sedikit humor menjadi sangat berarti. Detik-detik jelang evakuasi berasa sangat lambat. Ada banyak kelindan rasa yang tak mudah diurai. Kala informasi masih terbatas tentang evakuasi, ternyata masih ada yang kepikiran tentang isi perut. Butuh sedikit sentuhan guyon ala Indonesia untuk mencairkan suasana tegang.
“Kami diingatkan hanya membawa koper kabin. Ada satu dari kami kemudian bertanya, ‘Pak, apakah nanti di pusat observasi kami boleh memesan makanan kesukaan secara daring? Kami sudah rindu sekali dengan bakso, es kopi, dan semuanya’. Kami pun semua tertawa, termasuk bapak-bapak dari KBRI Beijing,” kenang mahasiswa Central China Normal University, Gerard Ertandy (hlm 29).
Proses evakuasi berjalan lancar hingga para WNI sampai di Lanud Raden Sadjad Natuna, tempat mereka akan menjalani masa observasi selama 14 hari. Dalam kurun itulah, banyak cerita yang dibingkai dalam buku terbitan Media Indonesia Publishing ini.
Salah satunya, melihat Indonesia di Natuna. Ketika orang dari derbagai daerah, suku, etnik, dan agama berada dalam satu hangar. Tak ada perpecahan. Semua menyatu. Bahkan ada satu tenda yang difungsikan sebagai tempat ibadah. Azan, pujian, dan nyanyian dari berbagai agama bergantian berkumandang. Tak ada yang protes. Semua saling menghormati dan menghargai.
Dipandang sebagai sosok pembawa virus, pasti berat. Ada ketakutan ketika bergaul dengan orang lain. Tatapan saja sudah cukup menganggu. Pandangan mata berubah menjadi tombak yang mampu menusuk perasaan. Mereka seolah menjadi pribadi yang lain dan menjadi lebih perasa dan sensitif. Apalagi saat dijemput petugas yang berpakaian APD lengkap dan duduk di pesawat yang dilapisi plastik, bisa jadi membuat orang tersinggung. Namun, bagi yang mampu melihat dengan cara berbeda, tebesit perasaan yang menganggap itu sebagai kehormatan, serasa menaiki pesawat baru.
“Dalam pesawat, aku sangat bersyukur bisa duduk serasa dalam kabin baru karena kursi, lantai, serta dinding bagian dalamnya dilapisi plastik. Tidak, aku tidak merasa tersinggung, aku malah kagum karena mereka masih sempat melapisi seluruh bagian dalam pesawat dengan plastik,” tutur mahasiswa kedokteran Yangtze University, Alfira Noviantari Belasari (hlm 90).
Ada pula yang menganggap proses evakuasi itu sebagai keistimewaan. Jarang-jarang ada orang diperlakukan spesial. Diperhatikan selama 24 jam dalam 14 hari. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai perbaikan gizi. Karena sebagai mahasiswa rantau, makanan layak 3 kali sehari boleh jadi hanya ada dalam mimpi.
“Tapi setelah sampai di Natuna, semua yang kukhawatirkan itu berubah menjadi hal baru yang kusadari tidak semua orang merasakannya. Aku pun bersyukur sekali menjadi salah satu bagian cerita Natuna ini. Ternyata observasi ini tidak seburuk seperti yang kupikirkan,” tulis mahasiswa Guangxi Normal University, Felicia Maitri (hlm 232).
Cerita cinta? Ada juga. Megawati Ashafiyah Iribaham melukiskannya dalam ungkapan pendek.
“Dua hari sejak kedatangan kita di Natuna, aku mulai mengaguminya. Aku selalu mencari cara agar bisa dekat dan melihat dia. Dia sangat baik, ganteng, dan lucu. Aku selalu keluar untuk melihat dia,” (hlm 234).
Selain inspirasi dari kisah tiap-tiap WNI itu dari Wuhan, tak kalah penting ialah pesan dari buku, yakni kehadiran negara untuk para warga negara, di mana pun mereka berada. Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR RI periode 2019-2024 Lestari Moerdijat dalam bagian awal buku.
‘Sekali lagi, pembuktian atas pelaksanaan cita-cita konstitusi, negara selalu hadir dalam menjaga keselamatan jiwa warga negaranya di Wuhan’, tulisnya di halaman 9. (M-4)
PERNAHKAH terpikir rasanya bekerja sebagai insinyur atau (engineer) di sebuah perusahaan migas besar bahkan ditempatkan di negeri orang?
Buku Ternyata Tanpamu ialah kumpulan puisi tentang perjalanan kehilangan dan perjalanan emosi.
PANDANGAN seputar kecantikan yang membawa dampak positif pada beberapa hal dalam kehidupan tertuang di buku The Essentiality of Beauty yang diluncurkan oleh perusahaan kecantikan Loreal.
Ingin mati, tapi malah mengurus penguburan jenazah. Ingin mati, tapi malah tertunda gara-gara seporsi mi ayam.
Membungkus kisah hubungan antara Indonesia-Timor Leste menjadi lebih kekinian.
BISA jadi hari-hari berlalu bersemangat dalam berkegiatan seperti sekolah atau bekerja, tanpa pernah mengerti apa itu kesepian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved