Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SEKELOMPOK remaja putri berusia sekitar 13-15 tahun tengah bercengkerama di sebuah fasilitas umum berupa taman dalam satu kompleks perumahan di bilangan Kota Bekasi. Kebetulan taman tersebut dekat dengan tempat tinggal saya sehingga secara tidak sengaja saya kerap menguping percakapan mereka.
Program belajar dari rumah yang masih diberlakukan akibat pandemi covid-19 membuat para remaja bertetangga itu punya kesempatan lebih untuk banyak bertemu meski kadang tak mengindahkan protokol kesehatan di masa pandemi.
Di antara percakapan mereka, ada satu kata yang sangat sering diucapkan para remaja itu. Boleh dibilang, dari semua ‘peserta’ percakapan itu, tak ada satu pun yang ‘absen’ mengucapkan kata ini.
Anjir (maaf bukan saya sedang mengumpat). Ya, itulah kata yang amat sering keluar dari mulut para remaja perempuan tersebut saat tengah bercengkerama.
Yang pertama kali tebersit dalam pikiran, “Kok, bisa kata itu sangat ‘populer’ di kalangan mereka saat ini.” Yang membuat saya makin terkaget- kaget, yang menggunakan kata itu ialah kalangan remaja putri.
Seingat saya, kata itu juga sangat populer di masa saya menempuh pendidikan SMP di tahun 90-an, atau bahkan mungkin sebelum itu. #Di zaman saya, biasanya remaja laki-laki lebih dominan menggunakan kata ini.
Dari perhitungan saya saja, berarti sudah tiga dekade kata itu melekat di kalangan usia tersebut.
Yang membedakan, di zaman saya SMP, kata anjir ini berdampingan dengan kata anying (terutama di kalangan penutur bahasa Sunda).
Kadang si penutur menggunakan kata anjir, kadang anying untuk konteks yang sama.
Di zaman sekarang, kata anjir kadang bertukar ‘tempat’ dengan kata anjrit atau anjay. Dulu belum ada bentuk anjay itu. Mungkin kata itu terbentuk karena terpengaruh bahasa kalangan alay.
Lalu, berawal dari mana kata anjir, anjrit, anying, dan anjay itu muncul?
Kata-kata itu sebenarnya merupakan pelesetan dari kata anjing. Karena kata anjing dianggap sebagai ungkapan yang terlalu kasar, muncullah ‘kreativitas’ untuk ‘memperhalusnya’.
Para penutur bahasa Sunda termasuk yang ‘kreatif ’ dalam ‘menghaluskan’ ungkapan yang dianggap kasar. Misalnya, anjing menjadi anying, atau bagong menjadi bagoy.
Yang juga menarik terkait dengan kata-kata tersebut ialah pemaknaannya.
Dulu, sebelum ada ‘metamorfosis’ menjadi anjir, anjrit, anying, atau anjay, kata anjing ini terasa sangat kasar, dan hanya terlontar dalam situasi konflik sebagai bentuk umpatan ketidaksukaan yang memuncak kepada lawan bicara.
Si lawan bicara pun akan sangat merasa direndahkan dengan penggunaan kata itu. Misalnya dalam kalimat, “Anjing lu, berani melawan kakak sendiri.”
Saya membayangkan kalau kata anjing di situ diganti anjir, anjrit, atau anjay. “Anjir lu, berani melawan kakak sendiri.” Sang adik mungkin tidak akan sakit hati dan menganggap si kakak bercanda.
Memang, setelah ‘menjadi’ anjir, anjrit, anying, dan anjay, maknanya bergeser menjadi lebih halus, dan bahkan bisa jadi positif. Kata anjir bahkan bisa menjadi ungkapan kekaguman kepada sesuatu.
Contohnya, “Anjir, tadi gue lihat cewek cantik banget.” Bisa juga sebagai ungkapan kekesalan (Anjrit, tadi gue dimarahin guru). Dapat pula sebagai bentuk olok-olok kepada teman (Anjay, baju lu norak banget).
Fenomena perubahan kata yang dinamis dalam kehidupan sehari-hari memang menarik dicermati, baik dari bentuk, makna, maupun penggunaannya, meskipun itu hanya berawal dari (kata) anjing.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved