Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
Sebagaimana judulnya, Kisah-Kisah Kecil & Ganjil; Malam 1001 Pandemi, novel ini akan membimbing pembacanya melewati semesta yang penuh dengan perkara ajaib. Dalam buku karya Agus Noor ini, ada banyak serpihan kisah mandiri, tetapi saling berkait. Mengantarai tiap-tiapnya menjadi sebuah kesatuan.
“Kisah-kisah ini pada awalnya ditulis di Instagram. Saya menyebutnya cerita Instagram, yakni cerita yang panjangnya disesuaikan dengan batasan karakter yang ada pada platform Instagram. Dalam kategori sastra, bisa disebut sebagai flash fiction,” terang Agus Noor dalam Secuil Pengantar (Hal 10).
Novel itu bermula ketika pandemi memaksa sebagian besar orang untuk tetap di rumah. Segera, media sosial pun seolah menjadi satu-satunya ruang sosialiasi. Itu pula yang kemudian membuat Agus beride menciptakan sebuah ruang kreatif. Ia menulis cerita pendek, lalu mempersilakan para netizen meresponsnya. Bisa diduga, pola itu memunculkan beragam kemungkinan alur cerita. Lalu, dari cerita-cerita itulah dibingkai menjadi satu kesatuan bundel berjudul Kisah-Kisah Kecil & Ganjil; Malam 1001 Pandemi.
“Saya mencoba menyusunnya, menata, dan memilih cerita-cerita yang bisa dimasukkan dalam plot besar yang saya rancang. Tidak semua cerita yang ditulis di Instagram itu saya pilih, terutama karena alasan teknis penulisan.”
Cerita yang telah dipilih, lalu dikembangkan dan disunting lagi agar bisa terjalin dalam satu kesatuan kisah. Karena itu, jangan kaget jika dalam tiap babnya, pembaca bakal menemui sensasi yang juga ganjil. Misalnya, ada cangkir sang nasib yang bisa mengubah air mata menjadi permata, peta yang hanya bisa sekali dibuka, masuk ke dubur mayat orang suci, bertemu dengan pemancing kesedihan, orang gila penjaja surga, peramal agung, bunda yang selalu perawan, sunan yang bersujud di kening seekor cacing, bahkan tarekat cacing penunggu hari kiamat.
Semuanya diaduk dalam perjalanan tokoh orang miskin yang berada dalam bayangan wabah yang tak pernah jelas. Nuansa kelam dan gelap menjadi instrumen utama. Ada kisah-kisah kesedihan yang begitu menyayat dalam selubung misteri.
Artinya, jangan lupa untuk selalu ingat bahwa novel ini disusun lewat kisah-kisah kecil. Tiap kisah seakan dunia ganjil yang menyimpan misteri, terpecah, dan terkeping-keping. Melewati tiap lembarnya akan menjadi sebuah petualangan dengan berbagai macam kesan. Kadang ajaib dan magis, kadang konyol dan komikal, sering pula penuh sindiran dan renungan. Semua berkelindan dalam kisah yang berpaut meski melompat. Ada kalimat menarik tentang hal itu yang juga tertulis di dalam novel.
“Cerita, yang segalanya menjadi jelas, hanya membuat pendengar atau pembacanya malas. Bila cerita adalah bunyi, kau harus menemukan sunyi dalam bunyi itu. Itulah gunanya imajinasi karena cerita yang menarik selalu menyediakan ruang kosong untuk imajinasi,” (hal 63).
Parodi satir
Bagaimanapun, kekhasan tutur Agus tidak luntur. Ia yang sering menyentil keadaan dan kondisi sosial tidak kehilangan warnanya dalam novel itu. Sering kali didapati kalimat menohok, seperti dalam cerita Mayat yang Berjalan ke Kuburnya Sendiri, ada sosok yang digambarkan sebagai bukan pengeluh. Bahkan, saat wabah, ia tak pernah berharap bantuan dari pemerintah. Menurutnya, pemerintah justru yang membuat repot hidupnya. Sebab itu, mengharap bantuan pemerintah justru makin merepotkan.
“Di saat susah, justru pemerintahlah yang makin membuat kita kerepotan. Membantu dirinya sendiri saja pemerintah tak mampu, apalagi membantu orang miskin seperti kita?!” (hal 25).
Novel itu disusun dari kisah-kisah kecil. Setiap cerita punya cerita tersendiri. Agus sangat piawai dalam meramu kisah yang menghanyut. Lalu dengan tiba-tiba akan membawa pembacanya terhentak saat mendapati bagian yang terasa cadas. Sastrawan yang berlatar pendidikan teater di Institut Seni Yogyakarta ini tetap tidak kehilangan gaya parodinya yang terkadang satir.
“Yang dapat bayaran itu buzzer (pendengung). Bukan cendekiawan. Meski sekarang sulit membedakan antara buzzer dan cendekiawan,” (hal 147), atau ketika sekelompok orang hendak mencalonkan keledai menjadi pemimpin kota. Jika syarat pengajuan calon ialah punya partai, tinggal buat partai keledai. “Kalau dalam politik ada cebong, kodok, kampret, unta, kadal gurun, kenapa tak boleh ada keledai?!” (hal 184).
Ada pula kisah tentang Ki Sabdo Tejo yang mengeluarkan sabda keabsahan seseorang mencintai perempuan yang telah bersuami. Memang Ki Sabdo Tejo tidak hendak menunjukkan jawaban jelas terhadap pertanyaan itu. Bukan karena sulit, melainkan karena memang tidak ada jawaban bagi pertanyaan macam itu.
Uniknya, sering kali ada kalimat yang dicetak berbeda, entah secara ukuran ataupun bentuk huruf. Jika dicermati, bagian itu berkait dengan bagian lain dalam buku, seperti kalimat berikut yang didapati di halaman 22-23, lalu muncul lagi di lembaran 214 dengan tampilan berbeda.
“Apalah artinya memiliki banyak permata kalau tak ada makanan apa pun yang bisa dimakan. Ketimbang menukar dengan permata, petani miskin lebih memilih membagikan sebutir nasi itu. Membaginya untuk semua penduduk. Dan sebutir nasi itu tak pernah habis dibagikan. Bukan permata, tapi sebutir nasilah yang menyelamatkan orang-orang dari bencana kelaparan.”
Kesimpangsiuran informasi kala pandemi juga mendapat porsi menarik. Dalam cerita berjudul Segenggam Garam Pengusir Kematian, misalnya, ada gambaran yang terasa dekat. Kebingungan oleh wabah yang tak pernah jelas entah apa penyebabnya dan apa yang sebenarnya terjadi membuat bermunculan bermacam desas-desus yang makin membuat cemas.
“Apalagi, ketika informasi-informasi pemerintah pun semangkin daripada membingungkeun. Segala macam informasi itu menjadi sama tidak bisa dipegang kebenarannya dengan bermacam desas-desus yang berembus. Sampai-sampai banyak yang bilang; omongan pemerintah dan omongan dukun sama-sama membingungkan,” (hal 50).
Ada banyak hal menarik yang bisa diulik dan dikutip dari novel tersebut. Namun, sebaiknya baca langsung saja karena Ki Sabdo Tejo berujar orang sekarang lebih terpesona pada kutipan meski kutipan itu hanya dicuplik dari internet. “Sesungguhya wabah paling mengerikan adalah wabah kegilaan. Godaan paling mengerikan adalah pujian,” (hal 140). (M-4)
PERNAHKAH Anda terpikir bahwa hidup sedemikian silang sengkarut? Tidak hanya dalam aktivitas yang tumpang tindih
Dalam novelnya, Kanaya mengisahkan menceritakan dua dunia yang terpisah di mana Kinasih dan Kareem, tokoh utama, tinggal.
KEBERADAAN suku Dayak di Pulau Kalimantan sudah sedemikian lama.
FILSAFAT tidak membuat roti. Kredo itu begitu tertanam bagi para pengkaji fi lsafat akademis.
LEBIH baik tidak terpaku pada judul. Boleh jadi isi dalamnya akan sangat berbeda. Babad Kopi Parahyangan, novel itu bukan hendak melulu fokus bercerita sejarah kopi di Tanah Parahyangan
SUDAH beberapa waktu, Indonesia didera pandemi covid-19. Setidaknya seusai kasus pertama dirilis ke publik pada 2 Maret 2020.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved