Menimbang Baik Buruk-nya Kerja dari Rumah

Abdillah Marzuqi
06/7/2020 12:49
Menimbang Baik Buruk-nya Kerja dari Rumah
ilustrasi Work From Home(Unsplash.com/Andrew Neel)

SELAMA pandemi covid-19, sebagian kaum pekerja dituntut tetap kerja dari rumah (WFH). Begitu juga dengan para eksekutif yang berada di pucuk organisasi bisnis. Sayangnya, tidak semua senang melakukan itu.

Dalam sebuah survei di Australia,  sebagian besar warga di negeri itu ingin kerja jarak jauh menjadi rutinitas harian. Banyak dari mereka menikmati fleksibilitas dalam mengatur jadwal harian sesuai keinginan, mulai dari jalan-jalan pagi dilanjut yoga hingga menikmati senja sore hari. Berita baiknya, pekerja tetap produktif seperti sebelumnya. Di sisi lain, pemimpin bisnis hanya membuang sedikit waktu  melakukan perubahan yang diperlukan untuk mengakomodasi pekerjaan jarak jauh.

"Sebelum covid-19 sekitar 10% dari staf memiliki jam kerja fleksibel. Dalam jangka panjang saya perkirakan akan lebih dari 40%," kata head of people and culture Metlife Australia Allyson Carlile sebagaimana dilansir The Guardian.

Selama ini, pola kerja yang kaku memaksa para pekerja menghabiskan jam kerja yang panjang. Seringkali mereka harus rela mengorbankan keluarga dan kesenangan pribadi. Namun, pandemi telah mengubah pola itu, tak terkecuali sektor yang sebelumnya bertumpu pada kehadiran fisik seseorang, seperti urusan hukum.

"Secara historis, ada pandangan bahwa kerja jarak jauh tidak sesuai untuk firma hukum. Sektor ini agak terpaku pada aspek kehadiran. Pandemi telah mengubahnya," kata Andrew Pike dari firma hukum Herbert Smith Freehills (HSF).

Menurut Pike, sebagian besar karyawan menikmati WFH. Mereka lebih mudah menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan suasana damai dan tenang.

Bekerja dari rumah juga berarti lebih banyak waktu dengan orang tersayang. Survei Salesforce mengungkap 60% responden mengatakan WFH membuat mereka lebih dekat dengan keluarga.

Namun, tidak semua orang setuju pola kerja ini.

“Bekerja dari rumah bisa sangat membebaskan, tetapi bisa juga menjadi penjara,” ungkap Direktur RMIT’s Centre for People, Organisation and Work, Sara Charlesworth.

Bekerja dari rumah berpotensi memengaruhi jam kerja dan pertimbangan masuk kerja. Hal itu bisa dilihat pada izin sakit sebelum covid-19. Beberapa penelitian menunjukkan banyak pekerja tidak merasa nyaman mengambil cuti atau izin sakit saat bekerja jarak jauh.

Charlesworth juga menyoroti risiko terlalu banyak bekerja. Ia mengambarkannya dengan istilah intensifikasi dan ekstensifikasi. Pekerja akan meningkatkan produktivitas untuk mengimbangi kurangnya visibilitas serta meyakinkan atasan bahwa mereka benar-benar bekerja. Charlesworth memperingatkan bahwa itu adalah berbahaya..

"Banyak orang tidak berhenti pada pukul 6 sore, mereka terus bekerja," sambungnya.

Menyusur pemisalan yang berlaku di Metlife Australia, pihak atasan perusahaan mendorong karyawan agar bekerja sesuai batas.

"Kami mendorong orang-orang untuk mengatur tempat kerja yang tepat di ruang khusus, jika memungkinkan. Sehingga mereka dapat meninggalkan pekerjaan saat jam kerja berakhir, dan menetapkan batasan, seperti mematikan komputer,” kata Carlile.

Kerja jarak jauh tidak hanya untuk meningkatkan produktivitas dan etos kerja tetapi juga mengurangi biaya operasional di tengah gejolak ekonomi semasa pandemi covid-19. Itulah yang menyebabkan raksasa energi Worley memangkas 1.900 pekerjaan dan merubah pola kerja beberapa divisi perusahaan menjadi kerja jarak jauh. Begitupun perusahaan terkenal lainnya di Australia seperti Westpac dan Optus untuk mengumumkan perubahan serupa untuk pekerjaan jarak jauh.

Beberapa perusahaan terdampak pandemi juga memilah kembali pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah, bahkan mengganti tenaga manusia. Pergeseran itu nyata adanya. Misal, Woolworths memangkas 1.350 pekerjaan di gudang. Pemutusan hubungan kerja (PHK) dijelaskan sebagai upaya membangun pusat distribusi otomatis yang efektif.

Kerja jarak jauh adalah salah satu cara untuk memotong biaya, sedangkan otomatisasi adalah perkara lain. Meski demikian, persamaannya, keduanya bisa berjalan seiring rencana perusahaan untuk bertahan.

"Semakin banyak perusahaan yang mengeksplorasi teknologi otomasi, dan semakin banyak perusahaan yang mendigitalkan bisnis mereka dengan cepat," kata André Dua dari McKinsey.

Semasa kebijakan pembatasan, perusahaan Metlife Australia dan HSF menemukan sebagian besar operasional dapat dilakukan jarak jauh dan bisa dilakukan dengan 5% -25% lebih sedikit karyawan. Andre menandaskan, otomatisasi tidak hanya memengaruhi pekerja gudang tetapi juga pekerja kantoran. McKinsey mengidentifikasi beberapa jenis pekerjaan kantor yang berisiko terkena otomatisasi di antaranya  sekretaris dan  asisten administrasi. Otomatisasi ada bahkan sebelum covid-19, pandemi hanya mempercepat tren.

Andre mengajukan saran untuk menghadapi pergeseran pola kerja pasca-pandemi yakni pelatihan inklusif. Jika perusahaan mengadopsi pendekatan digital, upaya pelatihan harus fokus pada pekerja yang paling rentan terhadap pemutusan hubungan kerja dan otomatisasi. (M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya