Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
TIDAKLAH berlebihan jika Juni menjadi bulan suci bagi pencinta puisi. Setidaknya bagi para pengagum karya Sapardi Djoko Damono. Lebih dari tiga dasawarsa sejak dicipta, bait itu menjadi nyata.
Hujan hadir di Juni, tidak pernah sebelumnya. Beberapa dasawarsa lalu, hujan mesti datang pasca-Agustus, September, Oktober, dan November. Saat ini, hujan datang lebih cepat. Masih Juni pun, ia sudah uluk salam.
Hujan Bulan Juni ialah kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang diterbitkan Grasindo pada 1994. Judul itu diambil dari puisi dengan judul sama. Puisi itulah yang kini populer di mata publik. Dari situ pula publik awam.
Ya, hujan bulan Juni dulunya mimpi, kini tidak lagi. Begitu pula latar itulah yang terjadi saat Sapardi mencipta bebait itu sewaktu tinggal di Yogyakarta. Waktu itu memang Juni bukan bulan hujan.
“Hujan di Bulan Juni itu enggak pernah terjadi di sana walaupun ketika dia (Sapardi) ke Jakarta ternyata ada hujan di bulan Juni. Dan makin ke sini, hujan bulan Juni makin biasa, sudah biasa. Pada waktu itu, itu sesuatu yang amat luar biasa,” ujar aktris Marsha Timothy saat pembukaan Festival Hujan Bulan Juni 2020, Senin (8/6).
Seolah kecapekan menggapai seluruh makna puisi itu, banyak orang membiarkan puisi itu dengan semestanya. Pembaca dan penafsir hanya bisa mencapai sudut terjangkau. Padahal, seluk dan relung semesta Hujan Bulan Juni jauh lebih dalam sekaligus luas. Hanya, momentum untuk berkelana di semesta Hujan Bulan Juni ialah saat ini, Juni.
“Kesannya kalau Hujan Bulan Juni itu apa, ya? Ketulusan yang amat sangat. Rasa yang amat sangat tulus. Bisa antara manusia,” ujarnya.
Selain menyangkut perasaan manusia, puisi itu juga bisa lebih luas lagi. Bagi aktris yang akrab disapa Chacha ini, puisi itu punya makna dan arti yang sangat dalam.
“Menurut aku, puisi ini bisa perasaan antarmanusia. Bisa juga tentang alam. Ini kan dalam banget, ya. Banyak banget artinya, bisa juga tentang keluarbiasaan kuasa Tuhan,” ujarnya.
Hujan Bulan Juni boleh jadi menjadi yang pertama terbayang ketika mendengar sosok seorang Sapardi. Sedemikian lekatnya, menyebut Sapardi langsung hadir Hujan Bulan Juni.
Festival Hujan Bulan Juni 2020 merupakan sebuah persembahan dari Iluni FIB UI untuk merayakan puisi dan sastra serta apresiasi setinggi-tingginya untuk kepenyairan Sapardi Djoko Damono. Hujan Bulan Juni berisi pembacaan dan bincang-bincang seputar puisi dan turunannya serta penerbitan buku. Hampir semuanya akan diadakan secara daring (online). Ada juga yang luring (offline), tapi sedikit saja.
Ketua Panitia Festival Hujan Bulan Juni 2020 Hilmar Farid mengungkapkan festival itu juga punya maksud untuk merayakan kontribusi puisi dalam kehidupan. Puisi tidak sekadar kata yang menempel di buku kumpulan puisi. Seiring dengan inspirasi yang dikandungnya, puisi sangat
layak untuk disengaja menginspirasi di undangan pernikahan ataupun refleksi yang lebih personal.
“Saya kira kontribusinya puisi luar biasa untuk kehidupan kita. Dan festival ini bermaksud juga untuk merayakan itu,” ungkap Hilmar.
Hilmar juga mengungkap rasa senang Sapardi saat banyak pesohor publik yang terlibat dalam acara itu. Bukan karena ia merasa jemawa, lebih pada perasaan Sapardi yang senang puisinya mampu menginspirasi kalangan luas.
Sapardi dikenal sebagai penyair dengan bait simpel bermakna dalam. Ia tidak berkata yang sulit-sulit. Kalangan awam cukup mudah menjangkaunya. Tanpa harus belajar ulang, membuka kamus, ataupun merenung lama. Mengena saat pambacaan pertama, mungkin kalimat itu yang pas.
Sekurangnya, itulah yang diungkap Lola Amaria. Ia turut mengisi pembacaan puisi serta berbincang tentang puisi dan sosok seorang Sapardi. “Pas mendengar, langsung jleb (mengena),” ucap aktris Lola Amaria yang didaulat membacakan karya Sapardi.
Hujan Bulan Juni mungkin berusia tidak muda lagi sejak dicipta beberapa dasawarsa lalu. Namun, puisi itu akan kekal dalam kemudaan dan kekekalan. Layaknya hasrat mencintai dengan sederhana dalam puisi Aku Ingin.
Memang setiap orang berhak mencerna dan menginterpretasi karya yang sesuai dengan kediriannya. Saat itu, Lola membawakan puisi karya Sapardi berjudul Hatiku Selembar Daun. Menurutnya, puisi itu juga yang membawanya berjumpa penyair Sapardi kala ia hendak meminta izin agar puisi dalam fi lm berjudul Minggu Pagi di Victoria Park.
Saat itulah, ia mendapati kenyataan berbeda dari bayangan seniman dan penyair yang kerap ditakutkan sebagian orang. Justru ia mendapati sosok bersahabat nan hangat dari seorang penyair kondang.
Begitu pula seniman teater Gunawan Maryanto dalam menggambarkan sosok Sapardi. Ia lebih dahulu kenal puisi Sapardi ketimbang bertemu langsung dengan penciptanya. Gunawan mengaku pertama kali bertemu langsung dengan Sapardi saat Ubud Writers Festival pada 2006. Padahal, jauh sebelum itu, Gunawan telah akrab dengan karya Sapardi.
Di mata Gunawan, puisi Sapardi sudah memiliki lagu dalam dirinya. Ada ikatan sastra lisan dan sangat menimbang bunyi. Puisi Sapardi punya nada tersendiri, baik dalam tulisan maupun ketika dibacakan.
“Menurut saya, puisi Pak Sapardi sudah memiliki lagu dalam dirinya,” ucap punggawa Teater Garasi itu. Gunawan juga menyebut puisi Sapardi mengandung anasir pertunjukan, mulai sutradara, aktor, hingga lakon. (Zuq/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved