Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
BELUM ditemukannya vaksin maupun obat covid-19 membuat manusia harus menjalani kehidupan kenormalan baru.
Para siswa sekolah masih tetap menjalani pembelajaran jarak jauh (PJJ) meski tahun ajaran baru 2020/2021 akan
dimulai Juli. Sementara itu, perkantoran, seperti di DKI Jakarta, diatur hanya boleh beroperasi dengan kapasitas 50% karyawan yang masuk setiap harinya.
Hal itu membuat interaksi melalui digital masih akan diandalkan. Di sisi lain, banyak pula keluhan yang disampaikan masyarakat dalam bekerja ataupun belajar jarak jauh selama setidaknya tiga bulan ini.
Dosen yang juga mengajar mata kuliah isu-isu informasi dan masyarakat digital Universitas Airlangga, Dr Rahma Sugihartati, melihat bahwa selain karena keterbatasan akses, permasalahan yang muncul juga karena masih minimnya literasi digital di masyarakat Indonesia.
Lalu, bagaimanakah cara meningkatkan literasi digital? Berikut wawancara Media Indonesia dengan dosen yang tahun lalu membuat penelitian berjudul Dampak Sosial Penggunaan Gawai (Mobile Phones) di Kalangan Anak-anak serta Keterlibatan Orangtua dan Sekolah dalam Pengembangan Literasi Digital pada Rabu (10/6):
Sejak 2015, Anda telah banyak melakukan penelitian terkait dengan literasi digital di Indonesia, bagaimana Anda sendiri melihat proses pembelajaran digital siswa di masa pandemi covid-19 ini?
Kalau sekarang Kemendikbud menyediakan beberapa situs supaya anak-anak bisa belajar online, memang sudah bagus. Namun, sebaiknya dimungkinkan penyediaan itu terbatas. Artinya, bisa jadi siswa membutuhkan informasi lain yang tidak sekadar yang tersedia dari situs
Kemendikbud. Siswa perlu menjajaki dunia maya untuk mencari informasi belajar. Ketika mereka terus berselancar internet di banyak situs, di situlah kemudian siswa perlu literasi digital.
Pada siswa SD mungkin materi belajar masih bisa didapatkan dari situs yang disediakan Kemendikbud. Namun, bila sudah beranjak SMP dan SMA, saya kira materinya lebih banyak, beragam, berkembang, dan tidak bisa mengandalkan situs yang disediakan pemerintah. Pada
saat itulah yang namanya literasi informasi penting dipunyai oleh siswa.
Selain itu, internet pun masih sulit diakses di beberapa daerah di Indonesia. Itu namanya digital divide, kesenjangan digital. Jadi, belajar di rumah ter utama menghadapi hambatan bernama digital divide, baik dalam akses internet, kepemilikan perangkat digital, mengoperasikan, maupun pemanfaatan.
Dalam mengoperasionalkan, pengguna banyak yang gagap teknologi. Tidak sedikit guru-guru tua yang mengalami technology anxiety atau tidak percaya diri menghadapi teknologi. Makanya, ketika mereka memberikan pelajaran daring ke siswa, mereka lebih senang memberi tugas daripada memberi pembelajaran daring ketimbang guru muda yang lebih fasih teknologi.
Sementara itu, kesenjangan pemanfaatan itu artinya teknologi digital internet dimanfaatkan secara produktif atau tidak. Kalau dimanfaatkan hanya untuk sekadar pleasure, leisure, bermain gim, hingga mem-bully dan chatting tidak berguna, berarti ada kesenjangan dalam
pemanfaatan internet karena tidak digunakan secara produktif. Di Indonesia, semuanya kesenjangan digital ini terjadi.
Literasi digital yang baik itu bagaimana?
Sebenarnya literasi digital itu, menurut definisinya, tidak sekadar kemampuan mengoperasionalkan secara teknis perangkat digital, menguasai seperangkat alat digital, ataupun mahir dalam perangkat lunaknya. Akan tetapi, termasuk juga kompetensi yang berkaitan dengan keterampilan kognitif, emosional, dan sosial karena perangkat digital tidak hanya berisi aplikasi, tetapi pengguna juga berhadapan dengan informasi.
Karena itu, kemampuan memilah informasi dengan benar, mengkritisi, dan berkomunikasi baik langsung maupun melalui sosial media. Ada penjabaran dari literasi digital yang dibagi menjadi enam kemampuan.
Pertama, photo visual literacy yang merujuk pada kemampuan memahami ilustrasi visual dalam perangkat digital. Ini lebih kepada kemampuan teknis. Kedua, reproduction literacy yang artinya mengarah kepada kemampuan dia mereproduksi teks digital sendiri.
Ketiga, branching literacy, yakni kemampuan kita bisa navigasi situs-situs web yang kompleks. Ini artinya pengguna perlu mengasah kemampuan navigasi agar fokus, tidak terdistraksi dan tersesat.
Kemudian, keempat ialah information literacy yang menurut saya ini bagian yang paling penting. Itu karena literasi informasi ini mengandung pengertian bagaimana kita menetapkan kebutuhan informasi untuk diri sendiri dan bagaimana kita menemukan informasi yang kita butuhkan di internet. Lalu, setelah ditemukan, bagaimana kita bisa mengidentifikasi keakuratan informasi itu, lalu membandingkan antarinformasi. Ini yang disebut kritis terhadap informasi sehingga bisa membedakan mana yang hoaks dan mana yang tidak.
Kelima ialah social-emotional literacy. Ini berkaitan dengan kesadaran kita melihat unsur tindakan berselancar di dunia maya yang membahayakan pribadi atau tidak. Terakhir, realtime thinking literacy. Ini berkaitan dengan kemampuan pengguna untuk bisa mengabaikan
informasi-informasi dalam sebuah situs, dari iklan hingga tampilan pop-up lainnya. Kita sadar dengan berpikir realtime kita tujuannya apa. Semua ini, menurut saya, perlu dimiliki siswa mulai sekolah dasar hingga menengah ke atas.
Jika berbicara untuk siswa anakanak, penyampaian informasi yang paling efektif lewat digital itu bagaimana?
Bermacam-macam. Yang namanya teks digital tidak hanya yang berkaitan hal-hal visual, tapi foto digital juga termasuk ikon, simbol. Baik gambar statis maupun video, keduanya diminati anak-anak. Mereka suka menonton Youtube mengenai tips mengerjakan soal matematika, fisika, dan kerajinan tangan. Alasannya, mereka menyukai tutorial langkah visual. Namun, ada juga yang dengan simbol juga mudah mengerti. Tergantung minat anak.
Apa bahayanya jika kemampuan literasi digital ini tidak diasah pada siswa?
Saya sempat meneliti bagaimana siswa memanfaatkan ponsel pintar untuk pendidikan akademik. Ternyata ketika mereka membuat tugas-tugas dari guru untuk dikerjakan di rumah, mereka membuka Google, lalu soal itu diketik pada mesin pencari.
Ketika hasil pencarian keluar, dia tidak bisa memilih. Mereka hanya mengutip dari 10 situs pertama yang muncul di pencariannya, paling tidak tiga teratas. Itu artinya mereka tidak ada kemampuan meliterasi informasi. Padahal, untuk mengetik kata kunci itu juga harus punya pemahaman terhadap konten yang dicari.
Makanya, literasi digital harus diajarkan di sekolah terintegrasi dalam mata pelajaran. Misalnya, guru mau memberikan literasi informasi, kemudian memberi tugas membuat membuat esai yang bersumber dari informasi di internet.
Nanti kelihatan bagaimana siswa mengidentifikasi ini. Dia mendapat informasi yang salah atau benar. Siswa harus dijelaskan bagaimana menetapkan kebutuhan informasi.
Dari penelitian saya bahkan bahayanya anak-anak itu sampai bisa membulliying temannya. Anak-anak SD punya grup Whatsapp untuk saling berlomba menyebarkan konten-konten video, dari konten unik hingga tips main gim. Mereka bisa saling mengolok-ngolok dari komentar atas konten karena filter dari itu memilah konten tidak punya.
Lalu di kalangan mahasiswa baru, begitu diberikan tugas, banyak yang masih tidak bisa mengambil sumber yang kredibel. Padahal, dosen mengharapkan mahasiswa menggunakan e-book, artikel jurnal sebagai referensi. Mereka hanya menggunakan referensi blog. Ketika saya
tanya, itu dilakukan berdasarkan pengalaman mereka di SMA dan SMP. Guru mereka mengatakan tidak apa referensi blog. Ini karena siswa tidak diajarkan bagaimana memilah sumber-sumber kredibel.
Kalau di masyarakat, akibatnya seperti apa jika tidak memahami literasi digital?
Bisa dilihat dari pengguna digital Indonesia yang mudah termakan hoaks. Informasi itu terus datang, baik di media sosial maupun di grup Whatsapp, padahal belum tentu informasi itu dibutuhkan, tapi mau tidak mau jadi harus membaca.
Lalu, sekarang di era media sosial, berita online, semua bisa menjadi jurnalis, netizen journalist. Semua bisa menulis apa pun. Itu harus diimbangi dengan literasi digital. Kita harus memulai dengan sadar informasi apa yang sebenarnya kita butuhkan dan mencari dari sumber kredibel. Tidak menelan mentah-mentah. Kita juga harus punya kesadaran dan kendali diri untuk tidak menyebarluaskan informasi yang belum valid dan berpotensi merugikan orang lain atau diri sendiri.
Solusi dari akademisi untuk mempersempit gap literasi digital bagaimana? Baik secara teknologi maupun secara kebijakan?
Baru sekarang terasa ketika ada covid- 19, semua aktivitas dilakukan di rumah. Orang akhirnya sadar akan literasi digital. Kami dari akademisi lebih menekankan pembelajaran literasi digital itu dilakukan di sekolah sejak usia dini. Seperti yang dilakukan negara-negara
maju.
Ketika internet mulai muncul, institusi pendidikan di negara maju sudah mempersiapkan kurikulum berbasis digital. Ketika ada media sosial, anakanak diajarkan literasi media. Ketika banjir informasi di dunia maya, anakanak diajarkan literasi informasi. Indonesia sebetulnya terlambat. Begitu ada masalah-masalah, baru kita sadar pentingnya literasi digital. Maka itu, akademisi lebih mendorong bagaimana pembelajaran literasi digital itu terintegrasi dalam kurikulum.
Untuk masyarakat yang sudah dewasa, caranya sebetulnya pemerintah itu bisa menggandeng unsur kelompok sosial masyarakat untuk menyosialisasikan literasi digital, literasi informasi, literasi media. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved