Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Sarung sebagai Ekspresi Kesenian Betawi

Yahya Andi Saputra
17/5/2020 00:10
Sarung sebagai Ekspresi Kesenian Betawi
Penggunaan sarung pada berbagai jenis kesenian Betawi disesuaikan dengan sifat pertunjukannya.(Dok Yahya Andi Saputra)

MASYARAKAT Betawi mengenal kain sarung dalam berbagai ragam, bentuk, fungsi, dan sejarahnya.

Sarung bukan hanya sekadar penutup tubuh, melainkan juga bagian dari perkembangan sosial dan kultural masyarakat. Fungsi utama sarung memang menjadi pelengkap pakaian dan pelindung tubuh. Akan tetapi, fungsi-fungsi lain yang muncul belakangan tidak kalah pentingnya.

Dahulu, perempuan Betawi hanya berkemban (memakai sarung di atas dada) atau hanya menutup bagian vital, atau hanya menyisakan dua bola mata saja. Maka itu, jika melihat model dan gaya penampilan ‘perempuan sarungan’ seperti itu, janganlah ditafsirkan secara sempit. Penafsiran sarung dapat dilihat dalam konteks lokal dan fungsinya (perhiasan, status, identitas, dan simbolis).

Fungsi simbolis dari sarung berkaitan dengan kepercayaan. Ada beberapa sarung yang khusus dipergunakan sebagai pelengkap utama ritus. Pada umumnya, orang di luar etnik tidak memahami makna simbolis ini sehingga mereka memakainya pada situasi dankondisi yang tidak tepat. Ini menimbulkan gesekan yang mengganggu harmoni lingkungan.

Fungsi lain, yaitu identitas. Sarung sering dikaitkan dan didemonstrasikan sebagai identitas. Bagi masyarakat pemiliknya, pilihan sarung jelas identitasnya. Namun, bagi yang di luar pemiliknya, identitas itu dimanfaatkan untuk berbagai tujuan dalam dinamika interaksi sang pemakai.

Fungsi sarung yang berubah menimbulkan reaksi pada internal etnik bersangkutan. Jika simbol itu berkaitan dengan posisi dan situasi yang dianggap penting bagi tata nilai pemiliknya, akan sulit bagi sarung (dalam hal ini pelengkap utama pakaian) untuk dimodifikasi. 

Peran dan fungsi sarung ditentukan pemiliknya, terkait dengan ikatan emosional serta unsur lain dari kebudayaannya. Tentu, setiap sarung dapat berubah fungsi sesuai perubahan yang melatarbelakangi fungsi awalnya. Ada sarung yang awalnya berfungsi sakral, berubah menjadi profan. Ada yang berfungsi temporal (occasional) tiba-tiba berfungsi resmi (official).

Orang Betawi tidak akan mengizinkan sarung yang dipakai dalam busana jas tutup ujung serong, sadariah, jas kain srebet, dan pangsi, misalnya, diubrakabrik cara pemakaiannya. Dalam folklore dan kesenian Betawi pada umumnya, sarung dimanfaatkan dan dieksplorasi sedemikian rupa sehingga ia menjadi properti sangat penting dalam tiap pertunjukan. Folklore atau cerita rakyat Betawi menampilkan
tokoh protagonis maupun antagonis yang sangat akrab menggunakan sarung.

Tokoh-tokoh dalam cerita rakyat, seperti si Pitung, Jampang Jago Betawi, Mirah Singa Betina dari Marunda, Mutado Macan Kemayoran, Bang Naman dari Kali Pasir, si Angkri, si Gobang, Nyai Dasima, Pendekar Sambuk Wasiat, Bang Melong, Pancoran Pangeran, Ayub dari Teluk Naga, dan lain sebagainya, merupakan tokoh yang kesehariannya selalu berinteraksi dengan sarung.


Kalangan pesilat

Pitung dalam cerita si Pitung, misalnya, merupakan tokoh yang alim, gagah, dan pemberani yang dalam kesehariannya tidak lepas dari sarung. Pitung yang gagah diceritakan menggunakan baju pangsi. Baju (baju atas dan celana) yang biasanya berwarna dasar gelap ini (saat ini pilihan warnanya sangat beragam : hitam, merah, kuning, hijau, hijau lumut, ungu, putih, abuabu, merah bata, sesuai selera pemakai)
dipakai lelaki Betawi pada saat mereka melaksanakan kegiatan sehari-hari. Namun, pakaian ini lebih dikenal sebagai busana kebesaran kalangan pesilat atau pendekar.

Baju pangsi ini sebenarnya potongan atau model baju longgar tanpa leher terbelah pada bagian depannya, tidak berkancing dengan lengan lebar tidak sampai menutupi pergelangan tangan pemakainya, dan di bagian depan bawah diberi dua kantong tempel di kiri dan kanan. Celana komprang (longgar) yang ukuran panjang tiga perempat betis berwarna sama dengan baju dilengkapi tali kur sebagai pengikat.

Pitung memakai baju pangsi dengan memakai daleman kaus oblong polos (putih atau warna serasi lainnya). Memakai ikat pinggang yang disebut kopel atau gesper berwarna hijau (atau warna merah dan cokelat). Kelengkapan lain baju pangsi ini ialah kopiah hitam (sering juga warna merah) atau iket (selembar kain warna polos maupun bermotif batik) diikatkan sebagai penutup kepala dengan berbagai model iket (ada beberapa jenis iket, antara lain: jengger ayam, tendet, berarak semplak, dan seser tengah).

Biasanya, kopiah dan iket menjadi tanda bagi asal-usul pesilat atau pendekar yang memakainya. Jika memakai kopiah, berasal dari pesantren atau padepokan guru mengaji, dan jika memakai iket, mereka yang menuntut ilmu bela diri dari guru-guru di luar pesantren. Aksesori yang juga dipakai untuk melengkapi baju pangsi merupakan gelang akar bahar dan di beberapa jari tanganya memakai cincin bermata batu akik (panca warna, kecubung, pandan, pirus, dan lain-lain).

Kelengkapan lainnya ialah piso (pisau) raut atau golok berukuran sedang diselipkan di pinggang atau menggantung, selembar kain sarung diselempangkan di leher (dulu lubang sarungnya disandangkan di pundak kiri dan dibiarkan jatuh bebas ke bagian kanan atau sebaliknya). Ada pula terompah terbuka terbuat dari kulit alas kakinya.

Haji Naipin, dalam cerita si Pitung, menggunakan baju sadariah dan kadang dipakai juga jas kain srebet. Baju ini tidak lain merupakan model atau potongan baju koko berleher tertutup dengan bahan polos atau bordir kerancang dengan motif yang tidak feminin di depan dalam garis lurus dari bahu sampai ke ujung bawah depannya, termasuk ke dua kantong tempel di depan bawah baju yang warna dasarnya disesuaikan dengan sarung dan celana batiknya. 

Sarung yang dipakai atau diselempangkan digantungkan di leher ialah sarung pelekat (umumnya motif kotak-kotak). Fungsi sarung ini bermacam-macam. Ia berfungsi untuk sajadah di waktu salat, sebagai sarung jika celana bernajis, juga sebagai senjata jika menghadapi musuh.

Saat resmi, Haji Napin menggunakan pakaian jas kain srebet. Sesuai namanya, pakaian ini jelas menggunakan sarung sebagai salah satu pelengkap utamanya. Dalam cerita, Haji Napin bertindak sebagai guru mengaji dan di saat lain menjadi penghulu dalam pernikahan Pitung. Pernikahannya gagal karena Aisyah diculik Tuan Demang dan dinodai. Dalam cerita tersebut, Aisyah menghakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Dalam pertunjukan cerita rakyat yang dibawakan grup lenong Topeng Betawi, Jinong, Jipeng, dan Tonil Samrah, sarung tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap utama baju yang dipakai tokoh-tokoh cerita. Hampir semua personel pendukung pertunjukan yang tidak memerankan tokoh, yakni pemain musik gambang kromong, tukang tarik layar, pelayan pemain, dan orangorang panggung lain, menggunakan sarung untuk melawan embusan angin malam yang menusuk-nusuk sampai tulang. Sebagaimana diketahui, kebiasan pertunjukan kesenian tradisional selalu berdurasi semalam suntuk (hampir sembilan jam).

Maka itu, sarung digunakan untuk menghangatkan tubuh. Sudah tentu bagi para pendukung jenis kesenian Betawi lainnya pun, apabila mereka melakukan pertunjukan, seragam yang mereka pakai disesuaikan dengan sifat pertunjukannya. Jika mereka main dalam acara resmi, mereka memakai jas tutup ujung serong, tapi jika di ruang terbuka, seperti pada karnaval dan pawai, mereka memakai busana sadariah. Ini dapat kita lihat pada kesenian tanjidor, ondel-ondel, gambang kromong, orkes samrah, orkes gambus, rebana biang, rebana ketimpring, rebana hadroh, dan lain sebagainya. (M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya