Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Mira Hoeng Warna-warni Kebahagiaan Mira

Fetry Wuryasti
14/12/2019 04:00
Mira Hoeng   Warna-warni Kebahagiaan Mira
Mira Hoeng(MI/FRANSISCO CAROLIO HUTAMA GANI)

SAAT belia, Mira Hoeng punya cita-cita ingin jadi pengusaha, ingin punya jenama di usia kepala tiga. Cita-citanya tersebut perlahan tersisih ketika ia menekuni karier sebagai pekerja di Walt Disney Indonesia. Apalagi, kariernya kian menjanjikan seiring kedudukannya sebagai Creative Manager di perusahaan tersebut.

Enam tahun ia berkutat sebagai pekerja kantoran, sebelum kemudian tiba di persimpangan.

"Ada jiwa yang tidak bisa dipenuhi. Rasanya ada yang kosong. Saya pikir tadinya mimpi saya telah terwujud, bekerja di Disney. Sebagai desainer, bisa kerja di Disney itu sudah goal kesuksesan tersendiri, tanpa saya tahu di sana kerjaannya seperti itu," cerita Mira saat berbincang dengan Media Indonesia di Jakarta, akhir November silam.

Stroke ialah titik persimpangannya. Beban pekerjaan yang terbilang masif, antara lain menangani 128 supplier pabrik Disney, membuat Mira terserang stroke pada 2015. Saat itu, usianya baru 28 tahun. Dokter kemudian memberi peringatan usia Mira bisa tidak mencapai 35 tahun, jika pola hidupnya yang bergelut dengan intensitas stres tinggi tidak berubah.

Selagi proses pemulihan pascastroke, Mira teringat cita-citanya kembali. Hitung-hitung, ia 'hanya' punya 2 tahun untuk merealisasikan impiannya itu. Pikiran tersebut membuat Mira tak semangat sekembali menjalani hari-harinya di kantor. Keinginan untuk melahirkan jenama sendiri semakin mengusiknya. Di sisi lain, beban pekerjaannya semakin bertambah.

Ia pun tersadar bahwa selama sibuk bekerja kantoran, ia berhenti menggambar, suatu hal yang ia lakoni sejak umur 2 tahun. Mira kemudian mencoba kembali menggambar. Pelan-pelan mengumpulkan lagi pernak-pernik peralatan menggambar yang tak lagi dia miliki. Ia mengakui, dirinya sempat khawatir saat memulai menggambar lagi. Tangannya kaku dan ia takut 'lupa' cara menggambar.

Namun, ternyata hanya butuh sebulan bagi Mira untuk mengeksplorasi gaya menggambarnya. Dalam proses itu pun ia jadi paham, goresan dan gambarnya berubah seiring kematangan jiwanya sebab menggambar ialah pekerjaan hati.

"Ketika hati kita lebih matang, penuangan ekspresi juga berubah. Waktu kuliah, warna saya pucat. Saya memang suka warna ngejreng, tapi tidak berani menggunakannya ketika saya menggambar lagi setelah bekerja di Disney. Dengan usia lebih matang serta lebih mengenal diri, saya lebih percaya diri menggunakan warna ngejreng. Akhirnya, menggambar menjadi medium pelampiasan ketika stres bekerja."

Rutinitas itu berlangsung selama tiga bulan. Pagi hingga sore hari Mira menjadi pekerja kantoran. Sepulangnya, ia menggambar di rumah, menjadikan menggambar sebagai terapi hingga dia merasa nyaman dan bahagia ketika menggambar.

Lalu, sang ibu yang merupakan penggemar nomor satu karya Mira memberi usul. Akan lebih bagus lagi jika gambar-gambar Mira diaplikasikan pada tekstil, menjadi scarf atau dress.

Di situ Mira tercenung. Dirinya ternyata memang 'harus' memiliki brand meski masih belum tahu arahnya. Namun, ia merasa jalan menuju mimpinya semakin jelas. Ia kemudian mencoba menerapkan gambarnya pada scarf sebagai permulaan.

Ziarah

Perjalanan ziarah Mira bersama keluarga ke India menjadi titik momentum dalam perubahan hidupnya. Sejak turun pesawat di Mumbai, berkali-kali dia diketuk hatinya mengenai keseriusan dan keberanian seniman lokal India untuk menekuni jalan hidup berkesenian. Pada 2015, bandara di Mumbai saat itu baru saja diperbarui dan dikonsepkan menjadi ruang pameran seni, dari lukisan hingga patung.

Ia teringat kekagumannya yang memuncak saat menatap dinding dan langit-langit Gua Ajanta dan Ellora. Di situ, terpampang lukisan berusia ribuan tahun yang menggambarkan isi kitab sang Buddha. Selama 12 hari ziarah, dia berkeliling tempat-tempat yang penuh dengan karya seni, termasuk Sanchi Stupa. Hal itu membukakan matanya akan kekuatan seni.

"Saya terinspirasi sekali. Lagi-lagi saya berpikir ada kok orang yang nekat menjadi seniman dan mendedikasikan hidupnya menggambar untuk seni di gua-gua dan bermanfaat seumur ribuan tahun. Sampai saya yang ribuan tahun kemudian datang ke tempat itu, masih bisa menerima cerita kebaikan sang Buddha. Karya seni dia bermanfaat sekali untuk generasi ke generasi," cerita Mira antusias.

Di situlah ia terilhami untuk memaksimalkan talenta menggambarnya agar memberi manfaat kepada orang lain. Dia langsung menyadari bahwa bakat melukis yang dititipkan kepadanya pasti memiliki manfaat bagi orang lain. Sejak saat itu dia bertekad kalau gambarnya harus menyebar kebaikan kepada orang lain.

"Sepulang dari India, saya mantap tahu jalan hidup saya. Saya ingin menjadi seniman seperti pemahat Sanchi Stupa atau yang menggambar di Gua Ajanta dan Ellora, atau juga seniman yang karyanya ada di bandara di Mumbai," tuturnya.

Pulang dari India, Mira kemudian mengajukan surat pengunduran diri ke kantornya. "Saya selesaikan pekerjaan selama 3 bulan sebelum keluar. Saya juga memantapkan motif syal saya agar ada penjelasan cerita yang menyebar kebaikan seperti yang saya lihat di India. Itu cikal bakal visi-misi Miwa,"

Selewat tiga bulan, Mira menanggalkan status karyawan, sudah punya jenama lengkap dengan logo dan kartu nama. Mereknya, Miwa, hadir dengan tagline Happiness in Pattern, artinya rasa bahagia dia ketika menggambar meski kala itu belum menghasilkan uang dari menggambar.

"Menggambar membuat saya jauh lebih bahagia jika dibandingkan dengan ketika saya bekerja kantoran. Karena saya menggambar pakai hati, ekspresi diri sendiri. Saya hanya ingin menyebarkan kebahagiaan yang saya rasakan melalui pattern saya," jelas Mira.

Motif yang berfilosofi

Saat ini, setiap produk fesyen yang dirilis Miwa menjadi sangat ekslusif karena hanya diproduksi 8 potong untuk tiap model. Tiap tiga bulan sekali, hadir koleksi baru.

Sementara itu, untuk pakaian bordir, Mira membuat desain berbeda setiap potongnya, baik dari model kerah, potongan lengan, maupun siluet. Setiap baju dibuat unik. Bisa saja hanya satu pembeli yang memiliki motif atau model tertentu.

"Semua produk Miwa printing ekslusif dengan core bisnis pada syal dan outer. Satu baju dan tas hanya ada 8 unit. Jadi bila telah terjual 8, saya berganti motif. Untuk sepatu lebih terbatas, hanya ada dua pasang untuk setiap ukuran, baik yang merupakan sepatu lukis maupun produksi," jelas Mira.

Meski koleksinya silih berganti, mereka semua memiliki benang merah. Desain yang digambar Mira selalu memiliki cerita dan filosofi. Umumnya pakaian tersebut didominasi alam bawah laut dan bunga-bunga. Banyak cerita bermanfaat yang ditunjukkan pada motif produk Miwa tersebut.

Desain awal Miwa acap menyuarakan soal dunia bawah laut lantaran Mira sangat menyukainya dan suka menonton film-film dokumenter tentang bawah laut.

Motif underwater midnight garden, misalnya. Menggambarkan ekosistem bawah laut yang didominasi warna biru tua dengan gambar koral berwarna-warni. "Saya banyak terinspirasi tentang koral sebagai salah satu sumber kehidupan di laut," terangnya.

Kemudian desainnya berkembang ke aneka bunga, lengkap dengan filosofinya. "Misal gambar tampilan bunga lotus dilihat dari atas. Filosofinya dia mekar di dalam lumpur. Artinya, seseorang masih bisa menjadi sesuatu yang positif, cantik, dan menginspirasi walaupun sekitar kamu negatif."

Belum lama ini, Miwa juga berkolaborasi dengan kartun My Little Pony yang berinduk perusahaan mainan Hasbro. Mira terpilih menjadi seniman pertama di Asia Tenggara untuk menggambar ulang karakter My Little Pony sesuai gambar tangan dan gaya Mira.

"Akhirnya saya gambar tanpa revisi dari mereka dan saya diterbangkan untuk launching di Shanghai. Yang saya suka dari My Little Pony adalah apresiasi antara satu kuda ke kuda lain. Saya kampanyekan bahwa apresiasi itu harus diekspresikan. Dengan adanya apresiasi, kita tahu apa yang kita lakukan itu benar."

Mayoritas busana Miwa printing yang dijual di mal dihargai sekitar Rp3,5 juta-4 juta per potong. Adapun untuk busana dengan bordiran tangan yang pengerjaan bisa sampai sebulan dijual mulai harga Rp8 jutaan hingga Rp15 juta, tergantung jenis materialnya.

"Pelanggan yang ingin pakaian dengan desain bordir biasanya datang ke rumah dan kita ukur ulang. Untuk pelanggan yang cinta Miwa, tapi ingin yang lebih terjangkau bisa membeli yang printing," imbuh Mira.

1.000 orang baik

Bisa bertahan hingga tiga tahun, kesuksesan terus menyuarakan kebaikan brand pakaian Miwa. Diakui Mira tidak lepas dari dukungan 1.000 orang baik di belakang dia, termasuk retailer, fotografer, videografer, dan animator untuk boneka brand ambassador Miwa, yaitu Miya, keluarga, hingga semua pegawai yang kerja di pabrik dan pekerja di rumah.

Visi-misi, doa, dan harapan Mira dijawab alam semesta yang maha kuasa sangat jauh lebih besar dari yang dia pikirkan. Cara alam semesta menjawab doa tidak hanya di produk jualan, tetapi juga membuka kesempatan Mira untuk berbuat baik banyak sekali melalui Miwa. Dirinya antara lain diberi kesempatan mengajar di lembaga pemasyarakatan wanita, juga mengajar pemberdayaan ekonomi di daerah.

Miwa menjadi saluran bahagia Mira untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar dia sukai. Tidak berekspektasi untung di awal, tapi kini malah secara penghasilan dia jauh lebih besar jika dibandingkan dengan saat menjadi pegawai kantoran.

"Bayangkan, sudah melakukan sesuatu yang bahagia, yang saya sangat suka, dan secara materi saya sangat dicukupkan. Ditambah lagi saya menjadi punya banyak kesempatan untuk berbuat baik."

Di usia ketiga Miwa, menurutnya, sudah begitu banyak proyek dan sponsorship dari berbagai jenama ternama. Kerja sama itu pun terpantik 'sekadar' lewat media sosial dan kabar mulut ke mulut.

Ia mengaku acap menolak jika ada pihak yang menawarkan kerja sama, tapi hanya untuk mengejar profit. Cita-cita menjadi kaya secara materi, menurutnya, cita-cita yang amat pendek. Bagi Mira, yang baru-baru ini berkolaborasi dengan Benih Baik untuk program sedekah mainan, manusia diciptakan di dunia bukan untuk itu. Dirinya percaya manusia diciptakan di dunia untuk membantu orang lain dan bermanfaat dengan potensi masing-masing.

"Hari ini seandainya saya chef atau ahli mesin, mungkin produknya bukan pakaian, melainkan mesin kopi atau mesin pembajak sawah. Karena saya terlahir dengan talenta menggambar, jadinya seperti ini. Saya di Disney di-training di product design, product development retail, dan event akhirnya jadi Miwa seperti ini." (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya