Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Indahnya Indonesia Timur dalam Lantunan Nonaria

MI
22/9/2019 01:50
Indahnya Indonesia Timur dalam Lantunan Nonaria
Penampilan Nonaria(MI/Abdillah M Marzuqi)

AWALNYA mungkin tidak terlalu mencolok ketika tiga perempuan berkebaya masuk area panggung. Tidak berbasa-basi terlalu panjang, mereka langsung memainkan lagu pembuka. Lagu daerah berjudul Goro Goro Ne asal Maluku menjadi sajian awal. Suasana masih normal-normal saja sampai lagu pertama usai.

Ternyata itu hanya awalan. Suasana langsung pecah saat kelompok musik itu menjeda lagu pertama. Dialog antarmusikus menjadi warna sangat menarik. Tiga perempuan itu membawakan nuansa dan warna baru.  Mereka secara aktif berkomunikasi dengan para penonton. Mereka juga berbagi cerita tentang latar, cerita, atau maksud di balik lagu-lagu daerah yang di­bawakan. Lagu daerah yang biasa didengar pun tersaji elok. Begitulah penampilan Nonaria di Galeri Indonesia Kaya, Sabtu (14/9).

“Kami mau memperkenalkan lagu-lagu daerah dari Indonesia Timur yang kami balut dengan ciri khas dari Nonaria yang jazzy,” ujar Nesia Ardi yang didapuk sebagai vokalis sekaligus pemain snare drum.

Nonaria merupakan grup musik jaz asal Indonesia yang beranggotakan Nesia Ardi (snare drum), Nanin Wardhani (akordeon/kibor), dan Yasintha Pattiasina (biola) itu dibentuk pada 2012. Mereka konsisten mengusung genre swing jazz yang beken di era 1950-an dan dipadu dengan konsep keindonesiaan.

Nama Nonaria berasal dari nona-nona dan ceria. Nonaria tumbuh besar di Komunitas Jazz Kebayoran. Formasi awal grup ini digawangi Nesia Ardi, Nanin Wardhani, dan Rieke Astari. Kemudian, Rieke keluar dari grup pada 2014. Setelah Rieke keluar, grup musik ini sempat vakum. Pada 2016, Yasintha bergabung dengan Nonaria.

Mereka sempat merilis album Eponim pada 2018. Saat itu, Nonaria menyajikan lagu daerah asal Indonesia Timur. Tidak hanya memiliki kekayaan alam yang indah, Indonesia Timur juga memiliki kebudayaan dan tradisi yang amat beragam. Lebih dari 1 jam tampil, Nonaria memba­wakan 10 lagu yang terdiri atas delapan lagu daerah dan dua lagu karya mereka.
Setiap jeda lagu, mereka menginformasikan arti dan makna dari lagu yang dibawakan sebelumnya. “Ini tentang rayuan,” ujar Yasintha saat jeda lagu Goro Goro Ne.

Lagu daerah berikutnya yang dibawakan ialah Waktu Hujan Sore-Sore (Maluku), Lembe-Lembe (Maluku), Si Patokaan (Sulawesi Utara), dan Sarinande (Maluku). “Jadi, ceritanya Sarinande ini putri, dia harus nyalain api, terus dia belum berhasil, makanya kena asap, nangis,” terang Yasintha.

Setelah lagu Sarinande, ­Nonaria menyelipkan satu lagu karya mereka berjudul Sebusur. Barulah dilanjut dengan lagu daerah asal Papua berjudul Yamko Rambe Yamko, lalu Bolelebo (NTT). “Mau ke mana pun merantau, tanah Timur lebih baik,” terang ­Yashinta lagi.

Sebelum lagu daerah penutup penampilan, Nonaria membawakan lagu karya mereka berjudul Hari Bahagia. Barulah disusul dengan lagu pemungkas berjudul Rasa Sayange asal Maluku.


Canda segar

Mereka punya gaya bermusik yang khas. Tidak cukup dengan musik, mereka menambahkan canda segar yang mampu mengundang tawa. Kejenakaan mereka menjadi ciri khas yang mungkin tidak didapati pada grup musik lain. Nonaria berhasil menyajikan lagu-lagu tradisi dari Indonesia Timur dan membawa audiensi ke tempo dulu dengan aransemen unik dan jenaka yang sudah menjadi ciri khas mereka. “Ya begini, volumenya enggak bisa turun lagi,” ujar Nesia Ardi, seusai penampilan.

Nonaria dikenal dengan gaya bermusik tempo dulu. Alasannya, mereka mengaku rupa musik itu tidak banyak dimainkan. Selain itu, para personel juga mengaku suka dengan rupa musik zaman lampau. “Karena keren, terus tidak banyak yang mainin,” terang Nesia. Nanin menim­pali, “Kita memang suka, dari awal memang mainnya ­begitu.”

Mereka lalu mencoba membawakan rupa musik itu dalam album maupun aksi panggung. Hasilnya, audiensi merespons positif. Mereka lalu mengukuhkan rupa musik lampau sebagai warna musik mereka. “Karena memang kiblat kita lagu-lagu Indonesia pada 1940-1950, yang musiknya kurang lebih seperti yang kami mainkan. Terus liriknya juga simpel, sederhana, tapi maknanya dalam. Lucu lagunya, terus menempel,” tambah Yashinta.

Menurut mereka, setiap orang punya koridor masing-masing dalam melestarikan musik, ada yang berkukuh pada keaslian dan pakem, ada pula yang mencoba mengembangkan dan mengawinkan dengan bentuk lain. Nonaria masuk pada kategori kelompok musik yang berteguh pada pakem.

“Bisa dibilang kita termasuk orang-orang itu sih. Awalnya memang karena suka, terus jadi peduli,” terang Nesia.
Satu-satunya personel yang berasal dari Indonesia Timur ialah Yashinta. Ia merasa tertantang untuk membawakan lagu daerah tempatnya berasal meski dia mengaku lahir dan tumbuh di Jakarta. Nonaria jadi kesempatannya untuk belajar tentang Indonesia Timur. “Ya, buat saya tantangan karena saya kalau dibilang orang Indonesia Timur, iya secara suku dan secara leluhur. Tapi saya lahir, besar, seumur hidup di Jakarta. Jadi, buat saya ini juga kesempatan bagus untuk belajar lagi. Sebenarnya ini lagu-lagu familier, tapi saya tidak pernah mengupas ini sebenarnya tentang apa lagunya.” (Zuq/M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya