Headline

Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Jangan Serius Menyoal Garis

Galih Agus Saputra
14/9/2019 22:40
Jangan Serius Menyoal Garis
Suasana pembukaan pameran Bukan Satu Garis di Galeri Cipta II TIM.(MI/GALIH AGUS SAPUTRA)

PADA mulanya semua tampak polos: Kosong. Orang-orang melihat dan bergerak tanpa menyoal apa yang dilihat dan apa yang bergerak. Demikian petikan pengantar Tommy F Awuy, kurator Pameran Visual: Bukan Satu Garis.

Pameran yang berlangsung di Ga­leri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta, itu, menampilkan karya sejumlah seniman, seperti Iwan Fals, Kaka Slank, Tony Q, Sujiwo Tejo, Amien Kamil, Fauzan Moosad, dan Tyo Pakusadewo. Pameran dibuka untuk umum mulai 6 hingga 20 September mendatang.

Menurut Tommy, pameran ini ingin menceritakan pada dasarnya manusia tidak perlu berpikir serius soal ‘garis’. Sudah menjadi anggap­an dasar bahwa hidup seseorang itu tidak segaris, melainkan banyak pilihan dan tujuannya. Sekalipun mungkin semangatnya sama, yaitu berkreasi, sama-sama ingin menciptakan kedamaian di hidupnya, tapi sebenarnya latar belakang yang mendasari pemikiran mereka ialah garisnya sendiri.

“Pilihan serius dalam mengambil para kontributor atau pelukisnya itu kemudian didasari anggapan bahwa semua orang pada dasarnya bisa menjadi pelukis. Dan para pelukis itu hadir dengan nama-nama mereka yang sudah dikenal selama ini di dunia yang sebenarnya bukan dari dunia lukis, misalnya musik, sastra, dan lain-lain. Tujuan kita adalah memamerkan karya-karyanya, bukan orang-orangnya,” kata Tommy dalam sambutannya, Jumat (6/9),

Kemerdekaan memilih

Tommy selanjutnya menjelaskan Bukan Satu Garis mencoba mempersembahkan alasan yang sangat mendasar bahwa ekspresi itu tak lain ialah sebuah kemerdekaan memilih. Kondisi yang menyertai secara spontan di saat manusia mencari makna garis sekaligus menciptakannya. Kenyataannya juga jelas bahwa sejarah seni rupa sendiri, khususnya lukisan telah tampil dengan berbagai jenis dan model garis dalam beragam wujud aliran.

Seperti yang dapat dilihat dalam karya Iwan Fals, misalnya, kata Tommy, ia tampil dengan pilihan abstrak dan nonfiguratif. Ia mencoba membidik kompleksitas realitas yang penuh ritmik, fleksibel, dan amat gemerlap. Ruang dan waktu tampak demikian dinamis dan tak mudah untuk menangkap asal dan akhir dari segala yang ada. Namun demikian, pada akhirnya, terbesitlah anggapan di sana bahwa bagaimanapun manusia harus menerobos seberapa pun adanya yang didapat.

Lain halnya dengan Sujiwo Tejo, ia tampil dengan garis pilihannya, yaitu ekspresionistik dengan isian yang tak jauh dengan urusan ritme yang bisa terhitung maupun melampaui dari apa yang mampu dilakukan. Terkadang, lanjut Tommy, garis itu terlihat terbujur menjauh dan tinggal tersisa sebuah titik atau semata kege­lapan. Sejauh yang bisa dipahami bahwa, keseharian setiap manusia merupakan pergulatan dari apa yang diharapkan dengan apa yang tak terpahami.

Sementara itu, Tony Q menggeliat dengan figur besar kemanusiaan dan guru bangsa. Tommy memandangnya sebagai semangat menghadapi gejolak realitas sosial yang selalu membutuhkan sumbu, yang terus menyalakan optimisme ruang yang lebih mudah untuk keluar-masuk. Memang tak ada kondisi yang mudah dan mulus untuk mewujudkan keinginan, kecuali dengan berjuang secara terus-menerus. “Garis tak pernah istirahat lama dalam sebuah perhentian,” imbuhnya.

Goresan keriangan dalam dunia hiburan tampak dalam karya Tyo. Ia menciptakan ruang rekayasa, yang di mata Tommy, penuh gelak tawa, candaan, warna-warni, dan bunyi yang membuat penontonnya terentak dan melompat gesit. Tyo ingin membebaskan garis di tengah transaksi demi transaksi yang penuh intrik.

Sayangnya, malam itu, hadirin belum dapat menyaksikan karya Kaka. Karena satu dan lain hal, lukisan pelantun lagu Orkes Sakit Hati itu belum dapat dibawa ke Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. Meski demikian, Tommy dalam catatannya menjelaskan bahwa Kaka menggaris sebagaimana apa yang dia kehendaki. Menggaris tak ubahnya dengan liukan-liukan pengalaman indrawi Kaka sendiri lalu disertai dengan gagasan yang pada ujungnya simbolik juga.

“Jangan ambil jalan soliter jika kalian tak ingin segera selesai di ruang ini. Kita pun tegang dalam kediaman dan kebisingan,” imbuh Tommy.

Bukan Satu Garis pada akhirnya tak lain merupakan ekspresi dari kondisi yang disebut Tommy sebagai kaotik, dengan berbagai kemungkinan yang tersedia. “Garis adalah penemuan manusia dari pelajaran hidupnya yang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Kondisi kaotik yang identik dengan kepolosan anarkistik untuk kita isi dengan berbagai garis. Kondisi dari mana kemudian kita mengenalnya sebagai kreativitas manusia, yaitu seni,” tutup Tommy. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya