The Battle: Roar To Victory, Patriotisme Rasa Tanggung

Fathurrozak
09/9/2019 21:00
The Battle: Roar To Victory, Patriotisme Rasa Tanggung
Salah satu adegan dalam film The Battle: Roar to Victory (2019).(IMDB)

Upaya sutradara Won Shin-Yeon tampak mulia dengan mengangkat kisah heroik pejuang Korea dalam pertempuran di Fengwudong. Namun, merujuk pada penayangannya di negera asal pada pertengahan Agustus silam, yang bertepatan dengan hari kemerdekaan, film itu agaknya juga membonceng sentimen anti-Jepang yang tengah bergejolak di Negeri Ginseng.

Sejak perang dagang Korsel-Jepang, lalu berlanjut pada aksi boikot para warga Korea terhadap produk Jepang hingga Juli, film ini mungkin akan merunut sejak kapan kedua negara berseteru, sekaligus meromantisasi alasan hingga kini sentimen masih meninggi.

The Battle berkisah tentang perjuangan kemerdekaan Korea semasa pendudukan Jepang. Film ini berlatar di Manchuria, ketika pasukan militer Jepang memburu beberapa pejuang kemerdekaan Korea. Pemimpin kelompok pemberontakan yang masih muda Jang-ha (Ryu Jun-yeol), Hae-cheol (Yoo Hae-jin) yang mahir dengan keahlian pedangnya, dan penembak jitu Byeong-gu (Jo Woo-jin) menjadi tokoh-tokoh sentral dalam epos ini.

Pada beberapa irisan, film ini menyuguhkan dampak destruktif perang, juga sekaligus memberi visual lanskap pegunungan yang ditata dengan sinematografi ciamik.

Salah satu scene ketika para pejuang kemerdekaan tengah berada di gua, dan saling berbagi sangat amat sedikit kentang, lalu saling mendiskusikan nama daerah masing-masing untuk menyebut yang mereka makan. Ini tentu mengisyaratkan kepedihan sekaligus mengharukan, andai tidak dipecah dengan dialog patriotik pada pengujung perbincangan, dan diikuti debat komikal konyol di antara dua tokoh.

Agak disayangkan pula ketika Won Shin-Yeon memilih untuk tidak menampilkan konteks jugun ianfu, perempuan budak seks yang menjadi tawanan militer Jepang semasa pendudukan. Won, dalam berita yang dipublikasikan Korea Times memang menyebut film ini sebagai tribut bagi para pejuang yang tak tercatat.

Karakterisasi yang terbangun terkadang pun cukup disayangkan, mengingat film ini juga diperankan oleh aktor senior Yoo. Yoo tampak keteteran untuk mengangkat skrip yang kurang matang secara kedalaman gagasan penceritaan.

Sebenarnya, film sutradara Memoir of a Murderer (2017) tersebut ada potensi untuk digarap lebih intens pada sisi muatan unifikasi Korea, ketika para pejuang itu masih bersatu, saat Korea belum terbelah oleh Soviet dan Amerika. Walakin, sejumlah ide yang menjanjikan di film ini berujung pada eksekusi yang antiklimaks. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya