Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
PERSOALAN ini, bagi saya pribadi, sejatinya merupakan hal basi. Basi karena sudah tiga tahun ke belakang mencuat seiring dengan menjamurnya kafe dan kedai kopi. Akan tetapi, juga bagi saya pribadi, sepanjang tiga tahun itu pula hal basi itu bisa menjadi sajian yang hangat lagi setiap kali bersama keluarga atau rekan tengah menikmati menu-menu yang terhidang di meja kafe atau kedai kopi.
Ketika pandangan tertuju pada daftar menu plus harganya, saat itu pula hal basi itu hangat kembali. Apalagi jika ada sanak atau teman yang 'mengompori' dengan mengungkit kembali atau bertanya terkait dengan hal tersebut. Benar-benar susah untuk move on dari hal basi itu.
Ya, hal basi tersebut perihal penggunaan huruf k di belakang angka harga.
Memang sudah banyak yang memberi penjelasan terkait dengan penggunaan huruf k itu. Dipaparkan bahwa maksud huruf k di belakang angka harga ialah kilo, yang artinya ribu, atau penyingkatan untuk menghilangkan tiga angka nol (000) yang menyatakan ribu. Jadi, misalnya tertulis 6k, itu berarti 6.000; 8k maksudnya 8.000; 18k artinya 18.000, dan seterusnya.
Saya paham maksudnya, tetapi gagal paham dengan logikanya. Sepengetahuan saya, dalam khazanah bahasa Indonesia, penggunaan huruf k sebagai singkatan dari kilo selalu mengacu pada ukuran dalam berat, misalnya kilogram (1.000 gram) dan kiloton (1.000 ton), lalu pada penandaan jarak seperti kilometer (1.000 meter), isi (kiloliter = 1.000 liter), gelombang (kilohertz = 1.000 hertz), tegangan dan tenaga listrik (kilovolt = 1.000 volt, kilowatt = 1.000 watt).
Kalau tujuannya demi menghemat penggunaan huruf atau angka, mengapa tidak menggunakan singkatan yang tidak menjungkirbalikkan tatanan berbahasa yang sudah ada? Misalnya menyingkat ribu dengan R; juta dengan J; miliar dengan M; dan triliun dengan T, atau dengan mengambil dua kata, misalnya ribu menjadi Rb, juta menjadi Jt, miliar menjadi Ml, dan triliun menjadi Tr. Contohnya 6.000 menjadi 6 R atau 6 Rb, 10 juta menjadi 10 J atau 10 Jt, dan 5.000.000.000 menjadi 5 M atau 5 Ml. Toh, bentuk seperti itu juga tidak terlalu banyak memakan tempat.
Apalagi bila simbol mata uang kebanggaan kita rupiah, yakni Rp, tetap dilekatkan di depan angka harga itu. Misalnya pengelola kafe atau kedai kopi tetap menulis lengkap Rp18.000/Rp18 ribu, atau Rp18 R/Rp18 Rb di daftar menu. Selain lebih memudahkan pembeli memahamai, hal itu juga sebagai bentuk sikap positif terhadap bahasa Indonesia.
Suatu ketika, saya bersama beberapa rekan sempat makan di sebuah rumah makan berupa warung satai di bilangan Jakarta Timur.
Yang menarik, warung satai ini tidak menjual per tusuk atau per porsi, tetapi per kilogram daging yang akan dijadikan satai. Pada daftar menunya antara lain tertulis '1 k Rp120.000'. Penulisan 1 k di situ bermakna 1 kilogram daging yang akan dibikin satai.
Di saat kami tengah menunggu satai yang tengah kami pesan, tiba-tiba salah seorang teman berkata,"Nah, ini baru masuk logika," sembari menunjuk daftar menu yang ditempel di dinding. Lalu seorang teman lainnya menimpali, "Iya, bukan kibu seperti di kafe-kafe itu."
"Kibu?" Saya menyimpan pertanyaan itu dalam hati, dan terjawab ketika sang teman menyebutkan bahwa itu pelesetan dari kata ribu karena diawali huruf k. "Ah, dasar jago kibul!" seloroh saya, disambut gelak semua rekan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved